ahmadnursanto

Minggu, 18 Oktober 2015

GURU BERMATA ELANG


Guru bermata Elang

Hari ini, senin 19 oktober 2015 ada yang berbeda dengan kegiatan belajar di sekolah. Ya, hari ini dimulainya pekan UTS (ulangan tengah semester) ganjil tahun 2015/2016. Seperti biasanya hari ini suasana sekolah begitu tenang dan  tak banyak cakap bercakap dan riuh ramai seperti saat yang lain.
Pun demikian suasana dalam kelas. Semua mata tertuju pada lembar soal jawab. Sesekali nampak raut kesusahan, pandangan mata menerawang nun jauh di sana, membuka memory tentang pelajaran yang telah ku ajarkan pada mereka. Terkadang senyum kecil nampak di antara berpuluh pucat basi. Menemukan soal yang mudah barangkali layaknya mendapat sebiji emas di antara ribuan pasir bertumpuk. Kecewa, rasa yang pantas ketika soal yang disajikan tak mudah ditebak jawabnya. Keringat dingin bercampur lelah menerawang kenangan pelajaran yang kemarin di dapatkan.
Sebagai guru, kita tentu hafal seluk beluk ujian dan pengalaman di dalamnya. Lebih dari 15 tahun di bangku sekolah sudah tak terhitung berapa kali berada dalam kondisi yang seperti pagi ini di sekolah. Kita (saya) paham betul bagaimana mencari akal guna menulis sebait jawaban di lembar ujian. Prinsip peserta ujian adalah harus menulis jawab apapun, bagaimanapun, di seperti apapun keadaannya.

Seperti biasa, di antara kebuntuan mengerjakan soal, ada saja ide, cara , upaya kreatif yang selalu tersaji dalam drama ujian sekolah. Sebagai pendampin anak-anak yang setiap hari bertemu mereka tentu saya paham betul apa yang sedang dipikirkan, direncanakan dan diupayakan untuk mencari jawaban. Lirik mata tidak bisa berbohong. Siapa yang berusaha mencari jawab secara “ilegal” pasti saya tahu.
Rasanya sebagai guru kita pasti marah, geram dengan hal itu. Bagaimana tidak, sudah maksimal upaya membimbing, menyajikan pengetahuan, menanamkan kebiasaan positif dan kepercayaan diri serta pengembangan kompetensi; masih saja ada cara ilegal dilakukan dalam mengerjakan soal yang sebenarnya sudah seringkali disampaikan bahkan tak jarang sampai berulang dijelaskan. Namun, kemarahan tidak harus diungkapkan, emosi tidak mesti diluapkan.
.
.
.
.
.
Beberapa tahun yang lalu,
Mataku sayu menghadapi “kenyataan” bahwa soal ujian di depanku begitu sulit kujawab. Memory otak sudah membeku sama sekali tak memberi peluang untuk mencairkan timbunan pengetahuan lalu. Bingung setengah mati, keringat mengucur, suhu badan naik, tensi darah meninggi, denyut jantung tak terkendali, aliran darah cepat mengalir dalam nadi terutama di sekitar dahi. Perlahan muncul optimisme ketika kulihat beberapa teman serentak bergerak, beraksi dengan koordinasi tubuh yang baik, kalem, lembut namun tepat sasaran. Beda cara satu tujuan “mencari jawaban”. Ada yang bertanya, berbisik, berkode, berisyarat, pun juga ada yang tetap diam sembari menatap ke bawah seolah khusyuk bermunajat pada ilahi (entah sedang apa dia :D ). Sebetulnya dlam hati sadar, ini tidak boleh, melanggar aturan, menyalahi prosedur dan ngerti konskuensinya. Tapi apa daya, keyakinan itu runtuh seketika saat suasanya kondusif untuk itu.
Kulihat guru yang menunggui kami tak memandang sedikitpun kepada kami. Yang terjadi pun ya sesuai harapan, bisa menjawab soal ujian. Meski begitu, suasana serasa mencekam, sedikit saja kesalahan bisa ketahuan dan pasti buruk akibatnya.
Suasana mulai sedikit riuh, terutama di sekitar teman yang “pelit”. Nada protes pada nya sampai ke telingaku. Yakin betul sebenarnya itu pasti juga sampai kepada guru yang nampak tersenyum saja ke arah kami.
Akhirnya keadaanpun pecah ketika suara guru bak petir menyambar mulai keluar dari bibir beliau.
“kerjakan sebisanya saja semampu kalian”
Sejuk rasanya suara itu, bukan seperti yang dibayangkan.
Tak seseram yang ditakutkan.
Memang mengenang kesabaran guru jaman sekolah dulu cukup menjadi motivasi manakala menghadapi anak didik yang “kreatif” dan “kaya ide”.
.
.
.
.
.
Kembali ke kini,
Sembari melirik beberapa anak yang gerakannya berbeda dengan yang lain, terkenang sosok  guru-guru masa silam yang beberapa sudah menghadap Penciptanya. Kesabaran, keuletan, ketlatenan dan keteladanan melekat pada guru2 senior dahulu. Rindu rasanya mengulang masa itu. Ingin merasakan sebentar saja kehangatan kasih sayang guru-guru kami dahulu.
Allohumaghfirlahum dzunubahum warhamhum wa’afihim wa’fu’anhum”
.
.
.
.
Satu pelajaran,

Kini setelah menjadi guru, barulah saya tahu bahwa sebenarnya mata guru setajam mata elang. Pandangan mata guru mampu menembus isi hati dan fikiran siswa. Namun kesabaran menjadi kunci ketaladanan.
Ada satu pelajaran berharga kenapa bukan makian dan luapan kemarahan ketika menghadapi kami yang sengaja “kurang ajar” kepada beliau para guru kami. Justru pelukan hangat kasih sayang menjadi campuk pengajaran kepada kami.
Tidak bisa dibayangkan seandainya kesabaran itu berganti hujatan, cacian, makian, luapan emosi yang keluar dari sosok guru kami. pasti kami tertekan, semakin sayu, layu bahkan mati sebelum berkembang. Kemi kehilangan kepercayaan, optimisme dan harapan seandainya bukan kasih sayang yang dinampakkan kepada kami.
Pendidikan adalah proses yang panjang, tidak bisa ajarkan hari ini, besuk diuji dan lusa dihakimi. Sekolah sebagai lembaga pemangku amanat pendidikan tidak boleh tergesa mengambil hasil yang sedang di proses. Roti tidak akan lunak dan enak manakala sebelum matang di keluarkan dari alat penggang. Sate tidak terasa gurih ketika  kipas dihentikan sedang daging belum matang terpanggang. Seperti itulah mendidik siswa, tidak bisa dihakimi hasilnya ketika proses berlangsung, perlu kesabaran jangka panjang melihat hasil pendidikan.
Motivasi dan sugesti positif lebih bermakna daripada hukuman dan caci maki. Tidak sedikit di antara guru yang hobinya mencerca, caci maki siswa yang tidak bisa, lebih lagi yang tingkat “kenakalan” akut. Menghukum ketika siswa bersalah seketika dapat meredam situasi tetapi bukan solusi apabila tidak dibarengi motifasi dan sugesti positif. Hukuman yang negatif dapat menghancurkan mental dan merusak psikologis siswa yang berdampak negatif sampai jangka panjang. Oleh karena itu, perlu kesabaran dan senyum kehangatan dari guru untuk membawa generasi muda menuju suasana pendidikan yang harmonis dan kondusif bagi pengembengan kompetensi terutama ruhani siswa.

Itulah mengapa Islam medahulukan dan mengutamakan sugesti positif dalam mendidik anak daripada memberikan hukuman walaupun bisa digunakan untk menyelesaikan masalah seketika itu juga. Diriwayatkn oleh Imam Muslim dalam shahihnya bagaimana Rasulullah Shalallohu Alaihi Wassalam begitu sabar dan kasih sayang dalam mendidik para sahabat dahulu sehingga terlahirlah generasi terbaik yang pernah ada di sepanjang jaman dan waktu.
Dari Anas bin Malik RA, dia berkata. "Ketika kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba seorang Arab Badui datang lalu kencing di masjid sambil berdiri. Maka para sahabat Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Mah, Mah!" Anas melanjutkan, Rasulullah berkata, "Janganlah kalian mengusirnya, biarkanlah dia." Para sahabatpun membiarkan orang tersebut sehingga ia meyelesaikan kencingnya. Lalu Rasulullah SAW memanggilnya sambil berkata kepadanya, "Sesungguhnya masjid ini tidak digunakan untuk kencing dan untuk kotoran, akan tetapi sesungguhnya masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur'an." Atau seperti itu sabda Rasulullah SAW. Anas berkata, "Kemudian Rasulullah menyuruh salah seorang untuk membawa timba berisi air dan kemudian menyiramkan pada tempat kencing tadi." {Muslim 1/163}
Dalam riwayat Imam Bukhari ada tambahan bahwa nabi bersabda : sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.
.
.
Subhanalloh inilah akhlaq muslim, mengutamakan kasih sayang dalam mendidik manusia.
.
.
Hikmah kasih sayang dan kesabaran dalam pendidikan adalah perubahan positif jangka panjang, berbeda dengan perubahan sementara yang terkesan positif tapi tidak berbekas.
Untuk itulah Para ulama salafus shalih lebih bersabar dalam mengajarkan kebenaran melalui majelis-majelis ilmu dalam mendidik umat dan lembut dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Kita dapati para ulama lebih banyak tulisan yang bersifat mencerdaskan dari pada menulis bantahan terhadap musuh-musuh agama. Lebih luwes dalam menghadapi kekurangan pemimpin dengan nasehat dan kalimat mulia serta doa di dalam shalat-shalat malamnya untuk kebaikan pemimpin ketimbang ikut berorasi membuka aib pemimpin di muka masyarakat.
.
.
.
Karena satu hal,
Kesabaran mendidik.

#Sendang, 19-10-15