Guru bermata
Elang
Hari ini, senin
19 oktober 2015 ada yang berbeda dengan kegiatan belajar di sekolah. Ya, hari
ini dimulainya pekan UTS (ulangan tengah semester) ganjil tahun 2015/2016. Seperti
biasanya hari ini suasana sekolah begitu tenang dan tak banyak cakap bercakap dan riuh ramai
seperti saat yang lain.
Pun demikian
suasana dalam kelas. Semua mata tertuju pada lembar soal jawab. Sesekali nampak
raut kesusahan, pandangan mata menerawang nun jauh di sana, membuka memory
tentang pelajaran yang telah ku ajarkan pada mereka. Terkadang senyum kecil
nampak di antara berpuluh pucat basi. Menemukan soal yang mudah barangkali
layaknya mendapat sebiji emas di antara ribuan pasir bertumpuk. Kecewa, rasa
yang pantas ketika soal yang disajikan tak mudah ditebak jawabnya. Keringat dingin
bercampur lelah menerawang kenangan pelajaran yang kemarin di dapatkan.
Sebagai guru,
kita tentu hafal seluk beluk ujian dan pengalaman di dalamnya. Lebih dari 15
tahun di bangku sekolah sudah tak terhitung berapa kali berada dalam kondisi
yang seperti pagi ini di sekolah. Kita (saya) paham betul bagaimana mencari
akal guna menulis sebait jawaban di lembar ujian. Prinsip peserta ujian adalah
harus menulis jawab apapun, bagaimanapun, di seperti apapun keadaannya.
Seperti biasa, di
antara kebuntuan mengerjakan soal, ada saja ide, cara , upaya kreatif yang
selalu tersaji dalam drama ujian sekolah. Sebagai pendampin anak-anak yang
setiap hari bertemu mereka tentu saya paham betul apa yang sedang dipikirkan,
direncanakan dan diupayakan untuk mencari jawaban. Lirik mata tidak bisa
berbohong. Siapa yang berusaha mencari jawab secara “ilegal” pasti saya tahu.
Rasanya sebagai
guru kita pasti marah, geram dengan hal itu. Bagaimana tidak, sudah maksimal
upaya membimbing, menyajikan pengetahuan, menanamkan kebiasaan positif dan
kepercayaan diri serta pengembangan kompetensi; masih saja ada cara ilegal
dilakukan dalam mengerjakan soal yang sebenarnya sudah seringkali disampaikan
bahkan tak jarang sampai berulang dijelaskan. Namun, kemarahan tidak harus
diungkapkan, emosi tidak mesti diluapkan.
.
.
.
.
.
Beberapa tahun
yang lalu,
Mataku sayu menghadapi
“kenyataan” bahwa soal ujian di depanku begitu sulit kujawab. Memory otak sudah
membeku sama sekali tak memberi peluang untuk mencairkan timbunan pengetahuan
lalu. Bingung setengah mati, keringat mengucur, suhu badan naik, tensi darah
meninggi, denyut jantung tak terkendali, aliran darah cepat mengalir dalam nadi
terutama di sekitar dahi. Perlahan muncul optimisme ketika kulihat beberapa
teman serentak bergerak, beraksi dengan koordinasi tubuh yang baik, kalem,
lembut namun tepat sasaran. Beda cara satu tujuan “mencari jawaban”. Ada yang
bertanya, berbisik, berkode, berisyarat, pun juga ada yang tetap diam sembari
menatap ke bawah seolah khusyuk bermunajat pada ilahi (entah sedang apa dia :D ).
Sebetulnya dlam hati sadar, ini tidak boleh, melanggar aturan, menyalahi
prosedur dan ngerti konskuensinya. Tapi apa daya, keyakinan itu runtuh seketika
saat suasanya kondusif untuk itu.
Kulihat guru yang
menunggui kami tak memandang sedikitpun kepada kami. Yang terjadi pun ya sesuai
harapan, bisa menjawab soal ujian. Meski begitu, suasana serasa mencekam,
sedikit saja kesalahan bisa ketahuan dan pasti buruk akibatnya.
Suasana mulai
sedikit riuh, terutama di sekitar teman yang “pelit”. Nada protes pada nya
sampai ke telingaku. Yakin betul sebenarnya itu pasti juga sampai kepada guru
yang nampak tersenyum saja ke arah kami.
Akhirnya keadaanpun
pecah ketika suara guru bak petir menyambar mulai keluar dari bibir beliau.
“kerjakan
sebisanya saja semampu kalian”
Sejuk rasanya
suara itu, bukan seperti yang dibayangkan.
Tak seseram yang
ditakutkan.
Memang mengenang
kesabaran guru jaman sekolah dulu cukup menjadi motivasi manakala menghadapi
anak didik yang “kreatif” dan “kaya ide”.
.
.
.
.
.
Kembali ke kini,
Sembari melirik
beberapa anak yang gerakannya berbeda dengan yang lain, terkenang sosok guru-guru masa silam yang beberapa sudah
menghadap Penciptanya. Kesabaran, keuletan, ketlatenan dan keteladanan melekat
pada guru2 senior dahulu. Rindu rasanya mengulang masa itu. Ingin merasakan
sebentar saja kehangatan kasih sayang guru-guru kami dahulu.
“Allohumaghfirlahum
dzunubahum warhamhum wa’afihim wa’fu’anhum”
.
.
.
.
Satu pelajaran,
Kini setelah
menjadi guru, barulah saya tahu bahwa sebenarnya mata guru setajam mata elang. Pandangan
mata guru mampu menembus isi hati dan fikiran siswa. Namun kesabaran menjadi
kunci ketaladanan.
Ada satu
pelajaran berharga kenapa bukan makian dan luapan kemarahan ketika menghadapi
kami yang sengaja “kurang ajar” kepada beliau para guru kami. Justru pelukan
hangat kasih sayang menjadi campuk pengajaran kepada kami.
Tidak bisa
dibayangkan seandainya kesabaran itu berganti hujatan, cacian, makian, luapan
emosi yang keluar dari sosok guru kami. pasti kami tertekan, semakin sayu, layu
bahkan mati sebelum berkembang. Kemi kehilangan kepercayaan, optimisme dan
harapan seandainya bukan kasih sayang yang dinampakkan kepada kami.
Pendidikan adalah
proses yang panjang, tidak bisa ajarkan hari ini, besuk diuji dan lusa
dihakimi. Sekolah sebagai lembaga pemangku amanat pendidikan tidak boleh
tergesa mengambil hasil yang sedang di proses. Roti tidak akan lunak dan enak
manakala sebelum matang di keluarkan dari alat penggang. Sate tidak terasa
gurih ketika kipas dihentikan sedang
daging belum matang terpanggang. Seperti itulah mendidik siswa, tidak bisa
dihakimi hasilnya ketika proses berlangsung, perlu kesabaran jangka panjang
melihat hasil pendidikan.
Motivasi dan
sugesti positif lebih bermakna daripada hukuman dan caci maki. Tidak sedikit di
antara guru yang hobinya mencerca, caci maki siswa yang tidak bisa, lebih lagi
yang tingkat “kenakalan” akut. Menghukum ketika siswa bersalah seketika dapat
meredam situasi tetapi bukan solusi apabila tidak dibarengi motifasi dan
sugesti positif. Hukuman yang negatif dapat menghancurkan mental dan merusak
psikologis siswa yang berdampak negatif sampai jangka panjang. Oleh karena itu,
perlu kesabaran dan senyum kehangatan dari guru untuk membawa generasi muda
menuju suasana pendidikan yang harmonis dan kondusif bagi pengembengan
kompetensi terutama ruhani siswa.
Itulah mengapa
Islam medahulukan dan mengutamakan sugesti positif dalam mendidik anak daripada
memberikan hukuman walaupun bisa digunakan untk menyelesaikan masalah seketika
itu juga. Diriwayatkn oleh Imam Muslim dalam shahihnya bagaimana Rasulullah
Shalallohu Alaihi Wassalam begitu sabar dan kasih sayang dalam mendidik para
sahabat dahulu sehingga terlahirlah generasi terbaik yang pernah ada di
sepanjang jaman dan waktu.
Dari Anas bin Malik RA, dia berkata. "Ketika kami
sedang berada di masjid bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba seorang Arab Badui datang lalu kencing di masjid sambil berdiri. Maka para sahabat Rasulullah
SAW berkata kepadanya, "Mah, Mah!" Anas melanjutkan, Rasulullah
berkata, "Janganlah kalian mengusirnya, biarkanlah dia." Para
sahabatpun membiarkan orang tersebut sehingga ia meyelesaikan kencingnya. Lalu
Rasulullah SAW memanggilnya sambil berkata kepadanya, "Sesungguhnya
masjid ini tidak digunakan untuk kencing
dan untuk kotoran, akan tetapi sesungguhnya masjid hanyalah untuk berzikir
kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur'an." Atau seperti itu sabda
Rasulullah SAW. Anas berkata, "Kemudian Rasulullah menyuruh salah seorang
untuk membawa timba berisi air dan kemudian menyiramkan pada tempat kencing tadi." {Muslim 1/163}
Dalam riwayat Imam
Bukhari ada tambahan bahwa nabi bersabda : sesungguhnya kalian diutus untuk memberi
kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.
.
.
Subhanalloh
inilah akhlaq muslim, mengutamakan kasih sayang dalam mendidik manusia.
.
.
Hikmah kasih
sayang dan kesabaran dalam pendidikan adalah perubahan positif jangka panjang,
berbeda dengan perubahan sementara yang terkesan positif tapi tidak berbekas.
Untuk itulah
Para ulama salafus shalih lebih bersabar dalam mengajarkan kebenaran melalui
majelis-majelis ilmu dalam mendidik umat dan lembut dalam beramar ma’ruf nahi
munkar. Kita dapati para ulama lebih banyak tulisan yang bersifat mencerdaskan
dari pada menulis bantahan terhadap musuh-musuh agama. Lebih luwes dalam
menghadapi kekurangan pemimpin dengan nasehat dan kalimat mulia serta doa di
dalam shalat-shalat malamnya untuk kebaikan pemimpin ketimbang ikut berorasi membuka
aib pemimpin di muka masyarakat.
.
.
.
Karena satu
hal,
Kesabaran
mendidik.
#Sendang,
19-10-15