ahmadnursanto

Kamis, 19 November 2015

Eksistensi Lembaga Pendidikan Islam

           Eksistensi lembaga pendidikan silam di Indonesia terutama dalam bentuk pesantren telah cukup tua, seiring dengan keberadaan para penyebar Islam. Lebaga tersebut mengalami berbagai perkembangan dengan berdirinya madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi, dan lembaga kursus serta pelayanan umat.[1]
Masing-masing lembaga tersebut semakin berkembang,  setidaknya secara kuantitatif. Jumlah lembaga-lembaga itu senantiasa bertambah dari tahun ke tahun dan tersebar di seluruh Indonesia. Sayangnya, secara kualitatif masih menghadapi berbagai problem yang serius walaupun sedang berusaha untuk diatasi, baik problem yang bersifat internal maupun eksternal.
Pada dasarnya pendidikan Islam dalam berbagai tingkatannya, mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Kedudukan ini semakin mantap setelah disyahkan dan diberlakukannya Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nsional pada tanggal 11 juni 2003. Dengan Undang-Undang tersebut posisi pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional semakin mantap, baik pada lembaga pendidikan umum maupun keagamaan.[2] Diberlakukannya Undang-Undang tersebut membawa harapan tersendiri bagi peningkatan kualitas pendidikan Islam. Undang-undang tersebut membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan pendidikan Islam menjadi lebih maju yang secara konseptual merupakan titik baik pencerahan dalam mengembangkan, memberdayakan serta meningkatkan sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Tetapi pada kenyataannya, pendidikan Islam di Indonesia selalu menempati posisi yang tidak menggembirakan. Ia menjadi pilihan kedua setelah lembaga pendidikan lain, sehingga kualitas input yang masuk ke lembaga pendidikan Islam tidak sangat tinggi. penyebab rendahnya kualitas pendidikan Islam tentu sangat kompleks. Rendahnya kualitas input menyebabkan kualitas pendidikan menjadi rendah, sebaliknya rendahnya kualitas pendidikan Islam menyebabkan animo masyarakat rendah. Rendahnya animo masyarakat menyebabkan kualitas input rendah, karena rasio pendaftar dan yang diterima juga rendah.
Saat ini, tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang masih jauh tertinggal. Indikasi seperti ini dapat ditelaah dari penuturan Abd. Rahman Assegaf yang menyatakan bahwa realitas pendidikan Islam saat ini dapat dibilang telah mengalami intellectual dedalock. Adapun indikasi-indikasi gejala tersebut di antaranya adalah, pertama, minimnya upaya pembaharuan dan kalau ada masih jauh tertinggal oleh perubahan sosial, politik, dan kemajuan iptek. Hal ini terbukti dari ketidakberdayaan kurikulum yang digunakan lembaga pendidikan Islam dalam mengantisipasi perubahan global.
Kedua,  praktik pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak bayak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual sehinggga ilmu-ilmu yang dipelajari dalam pendidikan Islam berupa ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tak tersentuh sama sekali. Ketiga, model pembelajaran yang masih menekankan pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dengan murid. Keempat, orientasi pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan manusia sebagai hamba Allah dari pada fitrah manusia sebagai khalifah di bumi. Konsekuensinya, pendidikan Islam lebih berperan dalam peningkatan daya spiritual atau teo-sentris semata. Oleh karena itu, ilmu – ilmu yang dikembangkan sebatas religion sciences, atau kalau menurut al –Faruqi menyebutnya sebagai relevaled knowledge (ilmu-ilmu yang diwahukan). Sementara itu ilmi-ilmu modern yang termasuk dalam aquired knowledge (ilmu-ilmu yang diperoleh), seperti natural sciences, social sciences dan humaniora dikesampingkan atau kalaupun dikembangkan berakhir dengan dikotomi ilmu.[3]
Menurut Tilaar, pendidikan Islam belum responsif terhadap tuntutan hidup manusia dan masih mengalami masalah-masalah yang kompleks. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalannya dengan pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang belum meraih keunggulan kompetitif, sehingga cenderung dilabelkan sebagai pendidikan “kelas dua”.[4] Persoalan kompleks yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia disebabkan oleh berbagai hal yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Seperti jeleknya kualitas pengajaran guru di kelas, ternyata disebabkan rendahnya anggaran pendidikan, sedangkan rendahnya anggaran pendidikan, ternyata disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting sebuah proses pendidikan bagi perkembangan kehidupan suatu bangsa, dan hal inipun disebabkan ketiadaan niat politik para elit untuk memperjuangkan peningkatan pendidikan Islam, sehingga pada gilirannya perhatian pemerintah yang dicurahkan terhadap pendidikan Islam sangat kecil porsinya.[5]
Demikian halnya dengan kurang baiknya implementasi pendidikan Islam di sekolah serta beratnya kurikulum pengajaran, ternyata disebabkan oleh tidak dipetakannya secara jelas apa yang menjadi kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat. Hal ini berkaitan dengan ketidak jelasan visi, misi, tujuan dan strategi pendidikan Islam yang diterapkan.[6]
Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya masyarakat menimbulkan tuntutan yang semakin tinggi terhadap standar pendidikan. Apalagi ketika disadari bahwa pendidikan merupakan faktor penentu bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan bangsa, membuat kelemahan yang ada pada pendidikan Islam semakin terasa sekali dan tentunya harus segera diselesaikan dan diatasi bersama-sama.
Untuk memenuhi tututan yang semakin tinggi itu, seringkali para pengelola lembaga pendidikan Islam tidak teiliki cukup kemampuan, baik kemampuan yang menyangkut sumber daya mausia maupun kemampuan finansialnya. Dalam kodisi yang demikian itu, kualitas dan eksistensi lembaga pendidikan Islam sangat terancam. Ancaman -  ancaman tersebut dapat memutus harapan-harapan mereka di tengah perjalanan.
Secara umum, lembaga pendidikan Islam masih tertinggal. Kita harus menerima kenyataan pahit bahwa posisi pendidikan Islam di Indonesia menempati “kelas ekonomi” walaupun tetap memiliki komitmen untuk menjadikanya sebagai baha pertimbangan dalam membangun kembali di masa depan. Psisi ini melekat pada lemaga pendidikan Islam setelah bersanding dengan lembaga pendidikan Katolik dan lembagapendidikan umum negeri. Ternyata, kedua lembaga pendidikan tersebut leih maju dan auh meniggalkan pendidikan Islam.
Tempaknya, minat masyarakat muslim terhadap lembaga pendidikan Islam belakangan ini telah bergeser dari pertimbangan ideologis menuju pertimbagnan rasional. Artinya, mereka tidak bisa serta-merta memasukkan putra-putrinya ke madrasah atau sekolah Islam hanya karena kesamaan identitas keIslaman. Akan tetapi, mereka melakukan seleksi. Jika ternyata lembaga pendidikan tersebut benar-benar maju mereka sangat tertarik untuk menjadikannya sebagai pilihan. Bahkan, jika lembaga pendidikan Islam dikelola dengan benar-benar profesional dan mampu membuktikan kemajuannya baik dari segi akademik maupun non akademik, maka akan menjadi momentum terbaik untuk era sekarang ini. Sebab, kebutuhan masyarakat muslim kelas menengah ke atas sekarang ini adalah terjaminnya mutu akademik dan kepribadian, terutama dalam menghadapi era globalisasi.
Jadi permasalahannnya bukan karena masyarakat muslim tidak lagi memiliki komitmen terhadap agamanya yang diwujudkan dengan memilih lembaga pendidikan Islam bagi putra-putrinya. Akan tetapi, lebih karena tuntutan yang semakin tinggi. A. Malik Fajar dalam Qomar[7] menegaskan bahwa kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai-nilai ikatan keagamaan yang semakin memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga pendidikan Islam itu kurang menjanjikan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan permintaan saat ini maupun mendatang.
Apabila faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan diidentifikasi, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan, yaitu cita-cita atau gambaran hidup masa depan, nilai-nlai (agama) dan status sosial.
Faktor-fakrot tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai agama hanya menjadi salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan. Hal itu pun pertimbangan kedua dan tampaknya hanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki dasar agama cukup kuat dan kepedulian terhadap nilai-nilai agama untuk mewarnai pendidikan. Peran nilai-nilai agama tersebut dimaksudkan untuk menffantikan budi pekerti guna membendung dekadensi moralterutama di kalangan anak muda.
Adapun pertimbangan pertama, berupa cita-cita atau gambaran hidup masa depan, menunjukkan adanya kesadaran masyarakat bahwa kehidupan masa depan memberikan tuntutan yang jauh lebih berat dan lebih kompleks dari pada masa sekarang. Untuk menghadapi tantangan tersebut, sumber daya putra-putri mereka harus digembleng. Dan sekolah yang bisa dipercaya menggembleng mereka hanyalah lembega-lembaga pendidikan yang maju/ karenanya, para orang tua cenderung memilih lembaga pendidikan yang maju atau bonafid yang diyakini bisa menjamin kualitas akademik dan kepribadian para siswanya.
Oleh karena itu, para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu “membaca” selera masyarakat tersebut. Caranya adalah dengan memiliki orietasi yang jelas dan melakukan pembenahan-pembenahan melalui strategi – strategi baru untuk meingkatkan kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang menjanjikan masa depan, baik jaminan keiluan, kepribadian, maupun ketrampilan. Dan karena itulah, lembaga pendidikan sangat perlu untuk mengembangkan diri baik secara kualitas dan kuantitas.[8]



[1] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2007), 43.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 2002), 57.
[3] Khozin, Jejak-jejak….., 265-266.
[4] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 147.
[5] Bakar, Fungsi Ganda……, 4.
[6] Ibid.
[7] Qomar, Manajemen Pendidikan…., 46.
[8] Ibid, 47.