Eksistensi lembaga pendidikan silam di Indonesia terutama dalam bentuk
pesantren telah cukup tua, seiring dengan keberadaan para penyebar Islam.
Lebaga tersebut mengalami berbagai perkembangan dengan berdirinya madrasah,
sekolah umum, perguruan tinggi, dan lembaga kursus serta pelayanan umat.[1]
Masing-masing lembaga tersebut semakin berkembang, setidaknya secara kuantitatif. Jumlah
lembaga-lembaga itu senantiasa bertambah dari tahun ke tahun dan tersebar di
seluruh Indonesia. Sayangnya, secara kualitatif masih menghadapi berbagai
problem yang serius walaupun sedang berusaha untuk diatasi, baik problem yang
bersifat internal maupun eksternal.
Pada dasarnya pendidikan Islam dalam berbagai tingkatannya, mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Kedudukan ini
semakin mantap setelah disyahkan dan diberlakukannya Undang-Undang RI nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nsional pada tanggal 11 juni 2003. Dengan
Undang-Undang tersebut posisi pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan
nasional semakin mantap, baik pada lembaga pendidikan umum maupun keagamaan.[2]
Diberlakukannya Undang-Undang tersebut membawa harapan tersendiri bagi
peningkatan kualitas pendidikan Islam. Undang-undang tersebut membuka peluang
yang sangat luas bagi pengembangan pendidikan Islam menjadi lebih maju yang
secara konseptual merupakan titik baik pencerahan dalam mengembangkan,
memberdayakan serta meningkatkan sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Tetapi pada kenyataannya, pendidikan Islam di Indonesia selalu menempati
posisi yang tidak menggembirakan. Ia menjadi pilihan kedua setelah lembaga
pendidikan lain, sehingga kualitas input yang masuk ke lembaga pendidikan Islam
tidak sangat tinggi. penyebab rendahnya kualitas pendidikan Islam tentu sangat
kompleks. Rendahnya kualitas input menyebabkan kualitas pendidikan menjadi
rendah, sebaliknya rendahnya kualitas pendidikan Islam menyebabkan animo
masyarakat rendah. Rendahnya animo masyarakat menyebabkan kualitas input
rendah, karena rasio pendaftar dan yang diterima juga rendah.
Saat ini, tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang masih jauh tertinggal. Indikasi seperti ini dapat
ditelaah dari penuturan Abd. Rahman Assegaf yang menyatakan bahwa realitas
pendidikan Islam saat ini dapat dibilang telah mengalami intellectual
dedalock. Adapun indikasi-indikasi gejala tersebut di antaranya adalah, pertama,
minimnya upaya pembaharuan dan kalau ada masih jauh tertinggal oleh
perubahan sosial, politik, dan kemajuan iptek. Hal ini terbukti dari
ketidakberdayaan kurikulum yang digunakan lembaga pendidikan Islam dalam
mengantisipasi perubahan global.
Kedua, praktik pendidikan Islam
selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak bayak melakukan pemikiran
kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual sehinggga ilmu-ilmu yang
dipelajari dalam pendidikan Islam berupa ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu
modern nyaris tak tersentuh sama sekali. Ketiga, model pembelajaran yang
masih menekankan pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegasikan
pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dengan
murid. Keempat, orientasi pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada
pembentukan manusia sebagai hamba Allah dari pada fitrah manusia sebagai
khalifah di bumi. Konsekuensinya, pendidikan Islam lebih berperan dalam peningkatan
daya spiritual atau teo-sentris semata. Oleh karena itu, ilmu – ilmu
yang dikembangkan sebatas religion sciences, atau kalau menurut al
–Faruqi menyebutnya sebagai relevaled knowledge (ilmu-ilmu yang
diwahukan). Sementara itu ilmi-ilmu modern yang termasuk dalam aquired
knowledge (ilmu-ilmu yang diperoleh), seperti natural sciences, social
sciences dan humaniora dikesampingkan atau kalaupun dikembangkan berakhir
dengan dikotomi ilmu.[3]
Menurut Tilaar, pendidikan Islam belum responsif terhadap tuntutan hidup
manusia dan masih mengalami masalah-masalah yang kompleks. Hal ini dapat
dilihat dari ketertinggalannya dengan pendidikan lainnya, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif yang belum meraih keunggulan kompetitif, sehingga
cenderung dilabelkan sebagai pendidikan “kelas dua”.[4]
Persoalan kompleks yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia disebabkan oleh
berbagai hal yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Seperti jeleknya
kualitas pengajaran guru di kelas, ternyata disebabkan rendahnya anggaran
pendidikan, sedangkan rendahnya anggaran pendidikan, ternyata disebabkan
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting sebuah proses pendidikan
bagi perkembangan kehidupan suatu bangsa, dan hal inipun disebabkan ketiadaan
niat politik para elit untuk memperjuangkan peningkatan pendidikan Islam,
sehingga pada gilirannya perhatian pemerintah yang dicurahkan terhadap
pendidikan Islam sangat kecil porsinya.[5]
Demikian halnya dengan kurang baiknya implementasi pendidikan Islam di
sekolah serta beratnya kurikulum pengajaran, ternyata disebabkan oleh tidak
dipetakannya secara jelas apa yang menjadi kebutuhan peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat. Hal ini berkaitan dengan
ketidak jelasan visi, misi, tujuan dan strategi pendidikan Islam yang
diterapkan.[6]
Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya
masyarakat menimbulkan tuntutan yang semakin tinggi terhadap standar
pendidikan. Apalagi ketika disadari bahwa pendidikan merupakan faktor penentu
bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan bangsa, membuat kelemahan yang ada pada
pendidikan Islam semakin terasa sekali dan tentunya harus segera diselesaikan
dan diatasi bersama-sama.
Untuk memenuhi tututan yang semakin tinggi itu, seringkali para pengelola
lembaga pendidikan Islam tidak teiliki cukup kemampuan, baik kemampuan yang
menyangkut sumber daya mausia maupun kemampuan finansialnya. Dalam kodisi yang
demikian itu, kualitas dan eksistensi lembaga pendidikan Islam sangat terancam.
Ancaman - ancaman tersebut dapat memutus
harapan-harapan mereka di tengah perjalanan.
Secara umum, lembaga pendidikan Islam masih tertinggal. Kita harus
menerima kenyataan pahit bahwa posisi pendidikan Islam di Indonesia menempati
“kelas ekonomi” walaupun tetap memiliki komitmen untuk menjadikanya sebagai
baha pertimbangan dalam membangun kembali di masa depan. Psisi ini melekat pada
lemaga pendidikan Islam setelah bersanding dengan lembaga pendidikan Katolik
dan lembagapendidikan umum negeri. Ternyata, kedua lembaga pendidikan tersebut
leih maju dan auh meniggalkan pendidikan Islam.
Tempaknya, minat masyarakat muslim terhadap lembaga pendidikan Islam
belakangan ini telah bergeser dari pertimbangan ideologis menuju pertimbagnan
rasional. Artinya, mereka tidak bisa serta-merta memasukkan putra-putrinya ke
madrasah atau sekolah Islam hanya karena kesamaan identitas keIslaman. Akan
tetapi, mereka melakukan seleksi. Jika ternyata lembaga pendidikan tersebut
benar-benar maju mereka sangat tertarik untuk menjadikannya sebagai pilihan.
Bahkan, jika lembaga pendidikan Islam dikelola dengan benar-benar profesional
dan mampu membuktikan kemajuannya baik dari segi akademik maupun non akademik,
maka akan menjadi momentum terbaik untuk era sekarang ini. Sebab, kebutuhan
masyarakat muslim kelas menengah ke atas sekarang ini adalah terjaminnya mutu
akademik dan kepribadian, terutama dalam menghadapi era globalisasi.
Jadi permasalahannnya bukan karena masyarakat muslim tidak lagi memiliki
komitmen terhadap agamanya yang diwujudkan dengan memilih lembaga pendidikan Islam
bagi putra-putrinya. Akan tetapi, lebih karena tuntutan yang semakin tinggi. A.
Malik Fajar dalam Qomar[7]
menegaskan bahwa kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga
pendidikan Islam sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai-nilai
ikatan keagamaan yang semakin memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga
pendidikan Islam itu kurang menjanjikan dan kurang responsif terhadap tuntutan
dan permintaan saat ini maupun mendatang.
Apabila faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lembaga
pendidikan diidentifikasi, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan
masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan, yaitu cita-cita atau
gambaran hidup masa depan, nilai-nlai (agama) dan status sosial.
Faktor-fakrot tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai agama hanya menjadi
salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan. Hal itu
pun pertimbangan kedua dan tampaknya hanya dilakukan oleh masyarakat yang
memiliki dasar agama cukup kuat dan kepedulian terhadap nilai-nilai agama untuk
mewarnai pendidikan. Peran nilai-nilai agama tersebut dimaksudkan untuk
menffantikan budi pekerti guna membendung dekadensi moralterutama di kalangan
anak muda.
Adapun pertimbangan pertama, berupa cita-cita atau gambaran hidup masa
depan, menunjukkan adanya kesadaran masyarakat bahwa kehidupan masa depan
memberikan tuntutan yang jauh lebih berat dan lebih kompleks dari pada masa
sekarang. Untuk menghadapi tantangan tersebut, sumber daya putra-putri mereka
harus digembleng. Dan sekolah yang bisa dipercaya menggembleng mereka hanyalah
lembega-lembaga pendidikan yang maju/ karenanya, para orang tua cenderung
memilih lembaga pendidikan yang maju atau bonafid yang diyakini bisa menjamin
kualitas akademik dan kepribadian para siswanya.
Oleh karena itu, para pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu
“membaca” selera masyarakat tersebut. Caranya adalah dengan memiliki orietasi
yang jelas dan melakukan pembenahan-pembenahan melalui strategi – strategi baru
untuk meingkatkan kemajuan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang
menjanjikan masa depan, baik jaminan keiluan, kepribadian, maupun ketrampilan.
Dan karena itulah, lembaga pendidikan sangat perlu untuk mengembangkan diri
baik secara kualitas dan kuantitas.[8]
[1]
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2007), 43.
[2] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos Wacana ilmu, 2002), 57.
[3]
Khozin, Jejak-jejak….., 265-266.
[4]
H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), 147.
[5]
Bakar, Fungsi Ganda……, 4.
[6]
Ibid.
[7]
Qomar, Manajemen Pendidikan…., 46.
[8]
Ibid, 47.