“Sampurasun” yang dipelesetkan menjadi “campur racun” terus
menjadi perdebatan yang semakin memanas. Pernyataan Habib Rizieq tersebut
dianggap memunculkan persepsi negatif terhadap tradisi masyarakat Sunda. Hingga
saat ini tak kurang dari 16 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Sunda Menggugat (AMSM) melaporkan ketua FPI tersebut dalam ranah hukum Polda
Jawa Barat.
Kontroversi tersebut bermula ketika tersebar potongan video
Habib Rizieq sedang berceramah di Purwakarta 13 November 2015. Sebagian pihak
langsung menunjukkan amarah dan langsung menghujani kritik tajam disertai
hinaan. Kesantunan yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat nusantara (juga
tentunya masyarakat Sunda) terlihat mulai memudar di tengah modernitas masyarakat indonesia.
Bila dirunut lebih jauh, kita bisa memahami mengapa “sampurasun”
menjadi “campur racun” yang langsung menjadi bomerang bagi Habib Rizieq. pernyataan “panas” tersebut sebetulnya hanya
cuplikan akhir dari pernyataan yang panjang ketika mengulas tentang Syariat Islam
dan adat budaya dalam masyarakat.
Hari ini umat memang menjadi sasaran empuk fitnah dan caci
maki. Orang yang benci (tidak suka) dengan perkembangan penerapan syariat Islam
(baik non muslim ataupun kalangan islam
yang “aneh) mulai gusar dan serampangan mencari kesalahan dari umat
islam sebagai sasaran fitnah dan perpecahan. Artinya orang-orang yang tidak
suka dengan Islam dalam praktis mulai berani menampakkan diri, tidak lagi
lempar batu sembunyi tangan, bahkan terang terangan berkoar menimbulkan syubhat
di depan media. Mereka yang mengaku muslim tetapi benci Islam sejatinya adalah
munafiqun di tengah umat. Terlebih muncul gagasan baru di tengah umat untuk
mereduksi penerapan Islam dari “kaffah” menjadi sebatas teoritis dan terbatas. Teoritis
dalam artian Islam sebagai agama normatif yang memiliki nilai ajaran pokok yang
berlaku bagi individu muslimyang dalam hal ini Islam dipandang sebagai ajaran
teori yang bersifat keilmuan dan pengetahuan belaka sehingga bersifat terbatas.
Ketika berbenturan dengan budaya lokal, maka Islam yang sejatinya bersifat
teoriritis dan praktis harus merelakan sebagian ajaran praktisnya untuk disesuaikan
dengan budaya lokal yang dalam beberapa hal malah bertentangan dengan nilai
teoritis Islam.
Lazim terdengar di telinga kita istilah “islam nusantara”
yang kurang lebih membawa konsep tersebut. Secara istilah, kehadiran islam
nusantara membawa perdebatan panjang mengingat Islam adalah satu agama “sempurna”
yang dibawa Rasul Muhammad Shalallohu alaihi wassalam yang mana tanpa perlu
dikotakkan menjadi merk islam “apa”. Tanpa melihat “isi”nya pun, term islam
nusantara sebagai produk keislaman khas nusantara sudah patut menimbulkan
kontroversi. Orang sudah dapat mengira islam yang nusantara akan menjadikan
kebudayaan lokal atau sitilah lainnya kearifan lokal (local wisdom) sebagai
acuan dalam menilai ajaran islam. Mana ajaran yang dipandang cocok maka akan
dipakai dan mana yang dipandang tak seesuai dengan praktek budaya lokal maka
perlu dikritisi. Pada akhirnya akan memunculkan sikap pro dan kontra yang
cenderung memecah persatuan kaum muslim indonesia. Selain pasti akan ditolak para
ulama, juga akan menjadi pertentangan sesama muslim karena tidak mungkin islam
nusantara meng”cover”, mewadahi seluruh islam yang ada di indonesia berdasarkan
ke khas an masing masing. islam nusantara yang selama ini didengungkan pun
lebih berupa “islam jawa” yang mewadahi unsur kejawen (jawa kuno), hindu budha
dan animisme (agama di jawa sebelumnya) dan agama Islam yang pastinya tidak
akan mungkin mencampur ketiganya karena perbedaan yang banyak bertentangan. Pada
gilirannya akan menimbulkan fanatisme kelompok yang dilarang oleh Islam.
Menyandingkan Islam dan budaya lokal adalah mungkin. Tetapi menyatukan
ataupun meleburkan keduanya tidak mungkin sebab budaya adalah proses kreasi
manusia yang tidak selalu sesuai dengan ajaran Islam. Budaya letaknya di bawah
Agama. Percobaan untuk meracik Islam dan budaya menjadi satu ramuan tidak akan
menghasilkan ramuan yang menyehatkan, sebaliknya justru bisa menjadi “racun”
yang menghancurkan. Memang budaya tak selamanya bertentangan dengan Agama,
namun tak seharusnya Agama dikemas dalam model budaya dimana unsur Agama harus
rela dipreteli. Agama harus menjadi acuan dalam membentuk budaya. Agama harus
menjadi semangat untuk memperbaiki budaya yang menyimpang. Intinya, budaya harus “dikalahkan” ketika disandingkan
dengan Agama. Budaya baru yang beragama harus menggantikan budaya lama yang
belum sesuai agama, bukan sebaliknya.
Contoh sederhananya. Budaya jawa memakai “kemben” bagi
wanita jawa, yakni berupa baju setinggi dada dengan bawahan jarit sepanjang
kaki. Sedang Islam menghendaki wanita berbusana lengkap yang menutup seluruh
tubuh kecualli wajah dan telapak tangan.
Dalam kasus sederhana seperti inipun, tidak mungkin
dirumuskan satu kesepakatan antara budaya dan Agama dengan hak yang setara. Tidak
mungkin menyuruh wanita nusantara memakai kerudung dengan baju setinggi dada dan
bawah memakai rok panjang. Sangat mustahil meminta wanita nusantara untuk
memakai “kemben” dengan legalitas Agama Islam, jelas ndak mungkin. Yang ada hanya satu penyelesaian:
menyuruh wanita jawa memakai jilbab yang menutup seluruh aurat dengan spirit
ketika memakai pakaian jawa. Artinya budaya harus tetap dikalahkan yang dalam
hal ini tidak mungkin tercipta “Islam ……”. Islam ya satu yang dibawa Nabi
Muhammad shalallohu alaihi wassalam.
Permasalahan yang seperti inilah yang pada akhirnya
menimbulkan reaksi dan aksi pada da’I untuk “menyelamatkan” Islam di indonesia.
Berbagai ceramah ditujukan untuk menguatkan semangat umat dalam menjalankan
Ajaran Islam yang sesungguhnya melalui berbagai media yang akhirnya masyarakat
muslim mulai “melek” terhadap ajaran islam yang sesungguhnya.
Inilah yang tidak diingini oleh mereka yang terlalu “bangga”
dan “kolot” menja;ankan budaya lokal. Tidak rela jika umat islam cerdas
beragama sehingga perlu untuk membantah sampai memfitnah para da’I yang
mengajak pada Islam yang “kaffah”. Hingga akhirnya muncul “pengkotakan”
terhadap da’I yang didukung media menjadi dai Arab dan dai Nusantara.
Sekarang yang berdakwah dengan materi dan metode Islam
sunnah dijuluki “Wahabbi” dan dicap aliran keras , ekstrimis, fundamentalis
(walaupun tiga istilah tersebut tak selalu bermakna negatif). Mereka dicap
sebagai orang yang sok Arab dan anti nusantara. Mereka adalah virus yang harus
disingkirkan dari indonesia dan tuduhan lainnya. Melalui media umat diajak
untuk menentang dan memusuhi dakwah Islam yang Sunnah tersebut. Semoga Alloh
menolong penyeru dakwah Islam Sunnah.
# Peristiwa ini layak menjadi perhatian kita semua. Sudah saatnya
kita berdiri tegap untuk menyongsong era penuh fitnah akhir jaman. Sudah waktunya
kita kritis dan memilih mana yang terbaik bagi kita. Fitnah-fitnah zaman yang
seperti ini sudah disabdakan oleh Nabi Shalallohu alaihi wassalam dan hanya
disuruh pada satu hal : “memegang erat ajaran Islam yang sesuai dengan Al Quran
dan Sunnah Nabi”. Tidak ada jalan selamat kecuali satu itu. Tidak perlu
menangis meratapi perubahan jaman, tetaplah tegap dan bangga memegang prinsip
yang kita pilih.
Sendang sebelum jumatan 27/11/15
……. Bersambung………