ahmadnursanto

Kamis, 26 November 2015

CAMPUR RACUN

“Sampurasun” yang dipelesetkan menjadi “campur racun” terus menjadi perdebatan yang semakin memanas. Pernyataan Habib Rizieq tersebut dianggap memunculkan persepsi negatif terhadap tradisi masyarakat Sunda. Hingga saat ini tak kurang dari 16 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat (AMSM) melaporkan ketua FPI tersebut dalam ranah hukum Polda Jawa Barat.

Kontroversi tersebut bermula ketika tersebar potongan video Habib Rizieq sedang berceramah di Purwakarta 13 November 2015. Sebagian pihak langsung menunjukkan amarah dan langsung menghujani kritik tajam disertai hinaan. Kesantunan yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat nusantara (juga tentunya masyarakat Sunda) terlihat mulai memudar di tengah  modernitas masyarakat indonesia.

Bila dirunut lebih jauh, kita bisa memahami mengapa “sampurasun” menjadi “campur racun” yang langsung menjadi bomerang bagi Habib Rizieq. pernyataan “panas” tersebut sebetulnya hanya cuplikan akhir dari pernyataan yang panjang ketika mengulas tentang Syariat Islam dan adat budaya dalam masyarakat.

Hari ini umat memang menjadi sasaran empuk fitnah dan caci maki. Orang yang benci (tidak suka) dengan perkembangan penerapan syariat Islam (baik non muslim ataupun kalangan islam  yang “aneh) mulai gusar dan serampangan mencari kesalahan dari umat islam sebagai sasaran fitnah dan perpecahan. Artinya orang-orang yang tidak suka dengan Islam dalam praktis mulai berani menampakkan diri, tidak lagi lempar batu sembunyi tangan, bahkan terang terangan berkoar menimbulkan syubhat di depan media. Mereka yang mengaku muslim tetapi benci Islam sejatinya adalah munafiqun di tengah umat. Terlebih muncul gagasan baru di tengah umat untuk mereduksi penerapan Islam dari “kaffah” menjadi sebatas teoritis dan terbatas. Teoritis dalam artian Islam sebagai agama normatif yang memiliki nilai ajaran pokok yang berlaku bagi individu muslimyang dalam hal ini Islam dipandang sebagai ajaran teori yang bersifat keilmuan dan pengetahuan belaka sehingga bersifat terbatas. Ketika berbenturan dengan budaya lokal, maka Islam yang sejatinya bersifat teoriritis dan praktis harus merelakan sebagian ajaran praktisnya untuk disesuaikan dengan budaya lokal yang dalam beberapa hal malah bertentangan dengan nilai teoritis Islam. 

Lazim terdengar di telinga kita istilah “islam nusantara” yang kurang lebih membawa konsep tersebut. Secara istilah, kehadiran islam nusantara membawa perdebatan panjang mengingat Islam adalah satu agama “sempurna” yang dibawa Rasul Muhammad Shalallohu alaihi wassalam yang mana tanpa perlu dikotakkan menjadi merk islam “apa”. Tanpa melihat “isi”nya pun, term islam nusantara sebagai produk keislaman khas nusantara sudah patut menimbulkan kontroversi. Orang sudah dapat mengira islam yang nusantara akan menjadikan kebudayaan lokal atau sitilah lainnya kearifan lokal (local wisdom) sebagai acuan dalam menilai ajaran islam. Mana ajaran yang dipandang cocok maka akan dipakai dan mana yang dipandang tak seesuai dengan praktek budaya lokal maka perlu dikritisi. Pada akhirnya akan memunculkan sikap pro dan kontra yang cenderung memecah persatuan kaum muslim indonesia. Selain pasti akan ditolak para ulama, juga akan menjadi pertentangan sesama muslim karena tidak mungkin islam nusantara meng”cover”, mewadahi seluruh islam yang ada di indonesia berdasarkan ke khas an masing masing. islam nusantara yang selama ini didengungkan pun lebih berupa “islam jawa” yang mewadahi unsur kejawen (jawa kuno), hindu budha dan animisme (agama di jawa sebelumnya) dan agama Islam yang pastinya tidak akan mungkin mencampur ketiganya karena perbedaan yang banyak bertentangan. Pada gilirannya akan menimbulkan fanatisme kelompok yang dilarang oleh Islam.

Menyandingkan Islam dan budaya lokal adalah mungkin. Tetapi menyatukan ataupun meleburkan keduanya tidak mungkin sebab budaya adalah proses kreasi manusia yang tidak selalu sesuai dengan ajaran Islam. Budaya letaknya di bawah Agama. Percobaan untuk meracik Islam dan budaya menjadi satu ramuan tidak akan menghasilkan ramuan yang menyehatkan, sebaliknya justru bisa menjadi “racun” yang menghancurkan. Memang budaya tak selamanya bertentangan dengan Agama, namun tak seharusnya Agama dikemas dalam model budaya dimana unsur Agama harus rela dipreteli. Agama harus menjadi acuan dalam membentuk budaya. Agama harus menjadi semangat untuk memperbaiki budaya yang menyimpang.  Intinya, budaya harus “dikalahkan” ketika disandingkan dengan Agama. Budaya baru yang beragama harus menggantikan budaya lama yang belum sesuai agama, bukan sebaliknya.

Contoh sederhananya. Budaya jawa memakai “kemben” bagi wanita jawa, yakni berupa baju setinggi dada dengan bawahan jarit sepanjang kaki. Sedang Islam menghendaki wanita berbusana lengkap yang menutup seluruh tubuh kecualli wajah dan telapak tangan.

Dalam kasus sederhana seperti inipun, tidak mungkin dirumuskan satu kesepakatan antara budaya dan Agama dengan hak yang setara. Tidak mungkin menyuruh wanita nusantara memakai kerudung dengan baju setinggi dada dan bawah memakai rok panjang. Sangat mustahil meminta wanita nusantara untuk memakai “kemben” dengan legalitas Agama Islam, jelas ndak mungkin. Yang ada hanya satu penyelesaian: menyuruh wanita jawa memakai jilbab yang menutup seluruh aurat dengan spirit ketika memakai pakaian jawa. Artinya budaya harus tetap dikalahkan yang dalam hal ini tidak mungkin tercipta “Islam ……”. Islam ya satu yang dibawa Nabi Muhammad shalallohu alaihi wassalam.

Permasalahan yang seperti inilah yang pada akhirnya menimbulkan reaksi dan aksi pada da’I untuk “menyelamatkan” Islam di indonesia. Berbagai ceramah ditujukan untuk menguatkan semangat umat dalam menjalankan Ajaran Islam yang sesungguhnya melalui berbagai media yang akhirnya masyarakat muslim mulai “melek” terhadap ajaran islam yang sesungguhnya.

Inilah yang tidak diingini oleh mereka yang terlalu “bangga” dan “kolot” menja;ankan budaya lokal. Tidak rela jika umat islam cerdas beragama sehingga perlu untuk membantah sampai memfitnah para da’I yang mengajak pada Islam yang “kaffah”. Hingga akhirnya muncul “pengkotakan” terhadap da’I yang didukung media menjadi dai Arab dan dai Nusantara.

Sekarang yang berdakwah dengan materi dan metode Islam sunnah dijuluki “Wahabbi” dan dicap aliran keras , ekstrimis, fundamentalis (walaupun tiga istilah tersebut tak selalu bermakna negatif). Mereka dicap sebagai orang yang sok Arab dan anti nusantara. Mereka adalah virus yang harus disingkirkan dari indonesia dan tuduhan lainnya. Melalui media umat diajak untuk menentang dan memusuhi dakwah Islam yang Sunnah tersebut. Semoga Alloh menolong penyeru dakwah Islam Sunnah.

# Peristiwa ini layak menjadi perhatian kita semua. Sudah saatnya kita berdiri tegap untuk menyongsong era penuh fitnah akhir jaman. Sudah waktunya kita kritis dan memilih mana yang terbaik bagi kita. Fitnah-fitnah zaman yang seperti ini sudah disabdakan oleh Nabi Shalallohu alaihi wassalam dan hanya disuruh pada satu hal : “memegang erat ajaran Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Nabi”. Tidak ada jalan selamat kecuali satu itu. Tidak perlu menangis meratapi perubahan jaman, tetaplah tegap dan bangga memegang prinsip yang kita pilih.

Sendang sebelum jumatan 27/11/15

……. Bersambung………