ahmadnursanto

Senin, 18 Februari 2013

REVIEW HASIL KAJIAN ISLAM PENDEKATAN FILOLOGI / BAHASA


REVIEW HASIL KAJIAN ISLAM PENDEKATAN FILOLOGI / BAHASA
AHMAD NUR SANTO



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Clifford Geertz pernah mengatakan bahwa Islam membawa rasionalisme dan ilmu pengetahuan serta menegaskan suatu sistem masyarakat yang berdasarkan orang-perorangan, keadilan, dan membentuk kepribadian mulia.[1] Semangat rasionalisme dan intelektualisme Islam itu menyebar luas di kalangan elit kraton sampai rakyat kebanyakan. Semua ini dapat ditemukan dalam berbagai naskah yang berisi falsafah dan metafisika yang khusus ditulis untuk keperluan umum. Praktek mistik Budha, misalnya memperoleh nama-nama Arab seperti suluk, raja-raja Hindhu yang mengalami perubahan gelar untuk menjadi sultan Islam, dan masyarakat awam yang menyebut beberapa roh hutan dengan jin.
Sebagaimana terungkap dari pernyataan Geertz di atas, disadari atau tidak, khazanah peninggalan berupa naskah merupakan bagian penting dalam kajian suatu peradaban atau kebudayaan, tak terkecuali kajian keislaman. Ribuan naskah yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan sangat disayangkan jika tidak digali lebih lanjut sebagai sumber kajian dalam mempelajari kebudayaan yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pengetahuan tentang suatu kaum (peradaban) dapat dilihat dari karya yang dihasilkan oleh kaum tersebut. Sebagaimana dikutip oleh Nabilah Lubis, Prof. Baroroh Barried dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Bahasa Indonesia UGM mengatakan bahwa studi filologi merupakan kunci pembuka khazanah kebudayaan lama yang oleh karena itu perlu diperkenalkan pada masyarakat untuk menumbuhkan minat masyarakat terhadap kebudayaan lama.
Filologi merupakan satu kajian yang bertugas menelaah dan menyunting naskah untuk dapat mengetahui isinya. Cabang ilmu ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, terutama di kalangan masyarakat Islam. Kekayaan dan warisan intelektual Islam menjadi terabai, padahal warisan inteletual yang berupa karya tulis itu sedemikian banyaknya. Di Indonesia saja, banyak peninggalan kitab klasik yang ditulis oleh ulama nusantara. Misalnya Imam Nawawi al-Bantani yang telah menulis tidak kurang dari seratus kitab berbahasa Arab dalam berbagai bidang keilmuan. Contoh lain, Syekh Mahfudh at-Tarmasy yang menulis hingga 60 kitab meliputi tafsir, qiraah, hadits, dan sebagainya. [2]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pendekatan filologi dalam studi Islam sebagai bentuk pengenalan cabang ilmu filologi kepada komunitas Islam agar khazanah peninggalan berupa naskah-naskah kuno dapat dipelajari dengan lebih maksimal.
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah Pengertian Filologi ?
b.      Apa Obyek kajian Filologi ?
c.       Bagaimanakah pendekatan filologi dalam studi Islam ?
d.      Bagaimana review kajian filologi terhadap Islam oleh Orientalis ?
C.     Tujuan
a.       Mengetahui Pengertian Filologi.
b.      Mengetahui Obyek kajian Filologi.
c.       Mengetahui pendekatan filologi dalam studi Islam.
d.      Mengetahui review kajian filologi terhadap Islam oleh Orientalis.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filologi
Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau, seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini, naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah meneliti naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini, dan menyunting teks yang ada di dalamnya.
Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.[3]
Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley dalam Baroroh-Baried, 1985: 1). Arti tersebut kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, dan ‘senang kasustraan atau senang kebudayaan’ (Baroroh-Baried, 1985: 1).[4]
Filologi selama  ini  dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa   lampau   yang   berupa   tulisan.   Studi   terhadap   karya   tulis   masa   lampau dilakukan  karena  adanya  anggapan  bahwa  dalam  peninggalan  aliran  terkandung nilai-nilai   yang   masih   relevan   dengan   kehidupan   masa   kini. Di bawah   ini disimpulkan   bahwa   lahirnya   filologi   dilator belakangi   oleh   sejumlah   faktor sebagai berikut :
  1. Munculnya informasi tentang masa lampau didalam sejumlah karya tulisan.
  2. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan   tulisan masa lampau yang dipandang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.
  3. Kondisi   fisik   yang   substansi   materi   informasi   akibat   rentang   waktu   yang panjang.
  4. Faktor  sosial  budaya   yang  melatarbelakangi  penciptaan  karya-karya  tulisanmasa  lampau  yang  tidak  ada  lagi  atau  tidak  sama  dengan  latar  sosial  budaya pembacanya masa kini.
  5. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.[5]
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. Pada saat itu, perpustakaan Iskandariyah mendapatkan banyak naskah berupa gulungan papyrus dari beberapa wilayah di sekitarnya. Sebagian besar naskah tersebut sudah mengandung sejumlah bacaan yang rusak dan korup, diantaranya adalah naskah-naskah Alkitab yang muncul dalam beberapa versi.
Keadaan ini mendorong para ilmuwan untuk mengadakan kajian untuk mengetahui firman Tuhan yang dianggap paling asli. Mereka menyisihkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut. Jika naskah yang mereka hadapi dalam jumlah besar atau lebih dari satu naskah, maka kajian juga dihadapkan pada bacaan-bacaan (varian-varian) yang berbeda.
Dalam perkembangan terakhirnya, filologi menitikberatkan pengkajiannya pada perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru) karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan varian-varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak tepat.

B.     Obyek Kajian Filologi
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Berikut ini naskah dan teks secara berurut-urut diuraikan.
1.      Naskah
Naskah adalah karangan yang masih ditulis tangan. Pengertian lain tentang naskah, yaitu naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya suatu bangsa masa lampau.
2.      Teks
Teks adalah (1) naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, (2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, (3) bahan tertulis untuk memberikan pelajaran, berpidato (KBBI, jilid 2; 1995: 1024). Teks juga berarti kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Wahana penyampaian teks dibagi menjadi 3 macam, yaitu: (1) teks lisan (tidak tertulis), (2) teks naskah atau tulisan tangan, (3) teks cetakan.
Filologi berbicara mengenai bagaimana sebuah naskah kuno yang bernilai atau mempunyai makna besar bagi kehidupan manusia itu dikaji dengan cara seksama dan dengan ketelitian yang tinggi. Ketika hendak melakukan prosesi penelitian naskah, kita sebagai seorang peneliti (filolog) akan melakukan beberapa langkah standar yang telah digunakan dan disepakati oleh para ahli untuk mencari atau menyunting sebuah naskah kuno agar selanjutnya bias dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Adapun   macam-macam   pengertian   tentang   pengetahuan   dalam   sejarah perkembangannya antara lain :
1.        Filologi sebagai ilmu tentang pengetahuan yang pernah ada.
Informasi   mengenai   masa   lampau   suatu   masyarakat,   yang   meliputi sebagai  segi  kehidupan  dapat  diketahui  oleh  masyarakat   masa  kini   melalui peninggalan-peninggalan   baik   yang   berupa   benda-benda   budaya maupun karya-karya   tulisan.   Karya   tulisan   pada   umumnya   menyimpan   kandungan berita masa lampau yang mampu memberikan informasi secara lebih terurai.
2.        Filologi sebagai ilmu bahasa.
Sebagai hasil budaya  masa  lampau,  peninggalan tulisan perlu dipahami dalam  konteks  masyarakat  yang  melahirkannya  pengetahuan  tentang  sebagai konvensi  yang  hidup  dalam  masyarakat  yang  melatarbelakangi  penciptaanya mempunyai   peran  yang  besar   bagi   dari  karya   tulisan  masa   lampau  berupa bahasa.
3.        Filologi sebagai ilmu sastra tinggi.
Dalam    perkembangannya  karya-karya   tulisan    masa    lampau   yang didekati   dengan   filologi   berupa   karya-karya   yang   mempunyai   nilai   yang tinggi   di   dalam   masyarakat.   Karya   itu   pada   umumnya   dipandang   sebagai karya-karya   sastra   ’adhiluhung’   misalnya   karya   Homerus.   Perkembangan sasaran   kerja   ini   kemudian   melahirkan   pengertian  tentang   istilah   filologi sebagai study sastra atau ilmu sastra.
4.        Filologi sebagai study teks.
Filologi    dipakai   juga   untuk   menyambut  ilmu   yang   berhubungan dengan  study teks,  yaitu study  yang  dilakukan dalam rangka  mengungkapkan hasil     budaya    yang     tersimpan    didalamnya.    Hal     ini     bertujuan    yaitu mengungkapkan   hasil   budaya   masa   lampau   sebagaimana   yang   terungkap dalam teks aslinya.
Adapun langkah-langkah atau metodologi dalam penelitian filologi adalah sebagai berikut:[6]
  1. Inventarisasi atau mengumpulkan naskah
  2. Deskripsi naskah
  3. Pertimbangan dan pengguguran
  4. Menentukan kesalian sebuah naskah
  5. Membuat ikhtisar isi dari naskah tersebut
  6. Transliterasi atau pengalihan bahasa
  7. Menyunting teks asli
  8. Membuat glosari atau daftar kata-kata yang di anggap tidak umum, dan
  9. Mengomentari teks
  10.  
C.     Pendekatan Filologi dalan Studi Islam
Az-Zamakhsyari, sebagaimana dikutip Nabilah Lubis,[7] mengungkapkan kegiatan filologi sebagai tahqiq al-kutub. Ungkapan itu secara lengkap sebagai berikut:
حققت الأمر وأحققته: كنت على يقين منه، وحققت الخبر فأنا أحقه .
وقفت على حقيقته. ويقول الرجل لأصحابه إذا بلغهم خبر فلم يستيقنوه: أنا أحق لكم هذا الخبر، أي أعلمه لكم وأعرف حقيقته.
Secara bahasa, tahqiq berarti tashhih (membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara istilah, tahqiq berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan pengarangnya, baik bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa tahqiq bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari kesalahan-kesalahan dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks atau nash adalah melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam teks tersebut.
Bangsa Arab pra-Islam dikenal dengan karya-karya syair maupun sastra prosanya. Karya yang paling terkenal adalah “Muallaqat” (berarti “yang tergantung), karya-karya yang berupa qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan pada dinding Ka’bah dengan tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy yang harus senantiasa dijaga. [8]
Setelah Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol pada abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa Arab kemudian kembali ke Eropa dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis al-Ghazali, Fariduddin Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju di wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik pelajar di Eropa.
Dalam konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di Indonesia.
Menilik dari sangat banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara, merupakan sebuah pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan ulama klasik tersebut.

D.    Review studi Islam oleh orientalis dengan pendekatan Filologi
Dalam kajian ini akan dejelaskan bagaimana kegiatan orientalis dalam studi hadist[9] sebagai salah satu dari pendekatan filologi untuk memahami Islam yang seringkali bersifat subyektif dan berlatar belakang kebencian terhadap Islam.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia orientalisme adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Sementara itu dalam buku " Pembahasan Tentang Misionarime dan Orientalisme " karangan Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata ‘Orientalisme’ secara umum diberikan kepada orang-orang non-Arab yang mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu disebut Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab, China, Persia dan India. 
Dr. Hasan Abdul Rauf memberi batasan bahwa sebutan Orientalis diberikan kepada setiap ilmuwan Barat yang mempelajari segala sesuatu tentang ketimuran. Utamanya, istilah Orientalis diberikan kepada orang-orang Nasrani yang ingin mempelajari ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan percobaan bagi seluruh dunia.
Hal ini kemudian berkembang , antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa yang mapan terhadap kebudayaan luar. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang murni ilmiah tanpa mempunyai maksud, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil.
Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al Qur'an sekaligus juga sebagai penjelas dari Al Qur'an itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang Al Qur'an, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan Al Qur'an karena Al Qur'an adalah sumber transendental dari Tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
Inilah dua tokoh orientalis yang meragukan kesahihan hadis. Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadis :
  1. Aspek Perawi. Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
  2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW. Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
  3. Aspek Pengklasifikasian hadis. Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini: "Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.
Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam.  
Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Anbi Muhammad. Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
  1. Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad.
  2. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir  dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
  3. Ketiga melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih.
Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa anda bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180 % derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. 
Dalam hal ini seorang pemuda asal India berhasil membalikkan pemikiran yang keliru dari para orientalis yang mengkritisi hadis yakni Muhammad Mustafa Al A'zami dengan desertasi " Studies in Early Hadith Literature" pada tahun 1966 di Universitas Cambridge, Inggris. Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis desertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul berasal dari Nabi Muhammad Saw. Bahkan sebelum kemunculan karya dari A'zami tersebut telah ada karya dari Mustafa As Siba'i dalam bukunya " Assunnah wakannatuha "





BAB III
KESIMPULAN

Filologi selama  ini  dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa   lampau   yang   berupa   tulisan.   Studi   terhadap   karya   tulis   masa   lampau dilakukan  karena  adanya  anggapan  bahwa  dalam  peninggalan  aliran  terkandung nilai-nilai   yang   masih   relevan   dengan   kehidupan   masa   kini
Filologi berbicara mengenai bagaimana sebuah naskah kuno yang bernilai atau mempunyai makna besar bagi kehidupan manusia itu dikaji dengan cara seksama dan dengan ketelitian yang tinggi. Ketika hendak melakukan prosesi penelitian naskah, kita sebagai seorang peneliti (filolog) akan melakukan beberapa langkah standar yang telah digunakan dan disepakati oleh para ahli untuk mencari atau menyunting sebuah naskah kuno agar selanjutnya bias dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Pendekatan filologi dipergunakan dalam kajian studi Islam dalam rangka memperoleh informasi dari sebuah teks melalui penelitian terhadap berbagai naskah keislaman yang ada. Mengingat banyaknya khazanah intelektual Islam, tentu membutuhkan banyak waktu untuk melakukan penelitian terhadap berbagai turats tersebut. Pendekatan filologi menjadi sangat penting sepenting kandungan teks itu sendiri.
Pendekatan ini memang belum banyak digunakan, meskipun oleh pihak-pihak pengguna kitab-kitab klasik itu sendiri, seperti pesantren-pesantren di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi dan penyadaran terhadap pentingnya pendekatan filologi dalam studi Islam.
Justru selama ini kajian filologi terhadap Islam banyak dilakukan oleh para orientalis yang seringkali tidak bersikap obyektif dan justru mengarah untuk melemahkan umat islam melalui kajiannya. Memang sekilas kajian mereka Nampak ilmiah tetapi sesungguhnya keilmiahan mereka tidak lebih besar dari latar belakang kebencian terhadap Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996
http://dodiilham.blogspot.com/, diakses 2 Juni 2012



[1] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hal. 5
[4] http://dodiilham.blogspot.com/, diakses 2 Juni 2012
[7] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), hal. 2

PERMASALAHAN DALAM PENELITIAN


PERMASALAHAN DALAM PENELITIAN
MAKALAH (REVISI)

   Ahmad Nur Santo  (2841114002)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu diperhadapkan dengan berbagai persoalan atau permasalahan, baik yang bersifat awam maupun masalah yang menuntut pemecahan secara sistematik. Masalah-masalah tersebut pemecahannya sering dengan cara sederhana saja dan bersifat segera dan tidak membutuhkan data-data pendukung.
Disamping masalah-masalah awam, ada masalah-masalah yang bersifat kompleks atau rumit yang pemecahannya menuntut dan memerlukan pengumpulan sejumlah data pendukung yang dipergunakan untuk membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Masalah yang seperti inilah yang menjadi perhatian kita, khususnya dalam dunia pendidikan. Masalah seperti ini menuntut metode ilmiah untuk penyelesaiannya, yaitu melalui langkah-langkah tertentu dalam usaha memecahkan masalah yang dijumpai.
Kedudukan masalah dalam alur prosedur penelitian sangatlah penting, bahkan lebih penting dari solusi atau jawaban yang akan diperoleh/dicari, karena masalah yang dipilih dapat menentukan perumusan masalah, tujuan, hipotesis, kajian pustaka yang akan digunakan bahkan juga untuk menentukan metodologi yang tepat untuk memecahkannya.[1]
Dalam dunia pendidikan banyak fenomena-fenomena dari suatu masalah yang kompleks dan kait-mengkait yang mengganjal yang perlu dipecahkan dalam suatu penelitian. Namun tidak semua masalah itu harus dipecahkan secara ilmiah. Olehnya itu makalah ini akan membahas masalah-masalah dalam dunia pendidikan yang dapat diselesaikan dengan suatu penelitian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud masalah dalam penelitian ?
2.      Bagaimana Kriteria masalah penelitian yang baik ?
3.      Bagaimana mengidentifikasi masalah penelitian ?
4.      Bagaimana menganalisis masalah penelitian ?
5.      Apa saja sumber-sumber masalah penelitian ?
6.      Bagaimana tahapan mencari masalah penelitian ?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian masalah dalam penelitian.
2.      Mengetahui bagaimana criteria masalah penelitian yang baik.
3.      Mengetahui bagaimana  mengidentifikasi masalah penelitian
4.      Mengetahui bagaimana menganalisis masalah penelitian
5.      Mengetahui Apa saja sumber-sumber masalah penelitian
6.      Mengetahui bagaimana  tahapan mencari masalah penelitian

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Masalah dalam Penelitian
Seorang peneliti sebelum menentukan bagaimana penelitian bisa dilakukan, terlebih dahulu harus menentukan masalah apa saja yang bisa diteliti. Masalah penelitian bisa didefinisikan sebagai pernyataan yang mempermasalahkan suatu variabel atau hubungan antara variabel pada suatu fenomena. Sedangkan variabel didefinisikan sebagai pembeda antara sesuatu dengan yang lain.
Masalah penelitian ini akan menentukan kwalitas penelitian yang akan dilakukan. Baik buruknya penelitian seseorang tergantung bagaimana seorang peneliti tersebut dapat mengidentifikasikan penelitian sebaik-baiknya. Menentukan masalah peneltian terkadang sulit, hal itu dikarenakan kurang faham akan permasalahan tersebut. Untuk menentukan permasalahan penelitian terlebih dahulu harus memahami sumber masalah. Sumber masalah tersebut bisa berasal dari manusia, program, dan fenomena di sekitar.
Terkadang kesalahan yang terjadi dalam penelitian adalah berangkat dari paradigm yang salah. Penelitian yang yang benar adalah dimulai dengan mencari dan mengidentifikasi permasalahan yang ada. Barulah setelah mendapatkan masalah yang jelas, penelitian di lakukan. Banyak di antara kita –terutama mahasiswa- ketika melakukan penelitian ilmiah, memulai dengan cara yang salah, yaitu menentukan judul baru kemudian menentukan permasalahan. Sebenarnya hal itni bukan permasalahan pokok, tetapi paradigm seperti ini perlu dibenarkan.
Apakah permasalahan dalam penelitian? John Dewey dan Kerlinger mendefinisikan bahwa permasalahan adalah kesulitan yang dirasakan oleh orang awam maupun para peneliti; permasalahan dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang menghalangi tercapainya tujuan.[2]
 Secara umum,  permasalahan adalah kesenjangan antara harapan/ideal/das sein dengan kenyataan/realitas/das sollen.[3] Masalah penelitian berbeda dengan masalah-masalah  lainnya. Tidak semua masalah kehidupan dapat menjadi masalah penelitian. Masalah penelitian terjadi jika ada kesenjangan (gap) antara yang seharusnya dengan kenyataan yang ada, antara apa yang diperlukan dengan yang tersedia antara harapan dan kenyataan. Kriteria permasalahan yang dimulai dari adanya kesenjangan ini biasanya  berbentuk penelitiandengan pendekatan kuantitatif.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif, permasalahan diperoleh dari adanya ketertarikan terhadap hal-hal yang unik dan memiliki nilai lebih yang pantas untuk diteliti.
B.     Kriteria Masalah Penelitian
Masalah yang telah dipilih sebaiknya dianalisis terlebih dahulu, agar hasil penelitian dapat dilakukan dengan baik, dari segi proses ataupun tujuannya. Analisis itu dapat dilihat dalam perspektif substansi, teori dan metode juga proses penelitian dan manfaat penelitian. Disamping itu, agar hasil penelitian benar-benar berarti dan bermakna (fungsional) sesuai dengan jenis dan tujuan penelitian itu sendiri.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih masalah penelitian.[4]
a.                                                                                                        Memiliki nilai penelitian
Masalah yang akan dipecahkan akan berguna atau bermanfaat yang positif. Terutama jika bermanfaat bagi masyarakat dan kepentingan bersama.
b.                                                                                                        Memiliki fisibilitas
Fisibilitas artinya masalah tersebut dapat dipecahkan atau dijawab.
Faktor yang perlu diperhatikan, antara lain:
1.        Adanya data dan metode untuk memecahkan masalah tersebut,
2.        batas-batas masalah yang jelas,
3.        adanya alat atau instrumen untuk memecahkannya,
4.        adanya biaya yang diperlukan, dan
5.        tidak bertentangan dengan hukum.
c.                                                                                                         Sesuai dengan kualitas peneliti
Sesuai dengan kualitas peneliti artinya tingkat kesulitan masalah disesuaikan dengan tingkat kemampuan peneliti.[5]
d.                                                                                                        Actual
Aktual atau Up to date, artinya permasalahan yang akan diteliti adalah fakta perilaku yang sedang “hangat” terjadi di tengah masyarakat. Tentu saja aktualitas sebuah fakta perilaku akan selalu dinamis dan berubah setiap periode waktu tertentu. Permasalahan perilaku seks bebas remaja saat ini terasa lebih aktual dibandingkan perilaku agresif.
e.                                                                                                         Urgen
Urgen, artinya permasalahan yang diteliti haruslah sesuatu yang “mendesak” untuk diteliti. Dengan kata lain jika tidak segera ditemukan “jawabannya” akan dapat menimbulkan dampak-dampak negatif yang dapat merugikan kehidupan manusia. Perilaku rendahnya kepatuhan membayar pajak jika tidak segera diteliti akan menimbulkan dampak yang negatif, misalnya menurunnya penerimaan kas negara yang berakibat pada berkurangnya APBN untuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan dan lain-lain.[6]
Rumusan masalah penelitian yang baik, antara lain:
a.    Bersifat orisinil, belum ada atau belum banyak orang lain yang meneliti masalah tersebut.
b.    Dapat berguna bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan terhadap masyarakat.
c.    Dapat diperoleh dengan cara-cara ilmiah.
d.    Jelas dan padat, jangan ada penafsiran yang lain terhadap masalah tersebut.
e.    Dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya.
f.     Bersifat etis, artinya tidak bertentangan atau menyinggung adat istiadat, ideologi, dan kepercayaan agama.
Supaya masalah penelitian yang kita pilih benar-benar tepat, biasanya masalah perlu dievaluasi. Evaluasi masalah penelitian harus berdasarkan beberapa parameter yaitu : (1) Menarik, (2) Bermanfaat, (3) Hal Yang Baru, (4) Dapat Diuji (Diukur), (5) Dapat   Dilaksanakan, (6)Merupakan Masalah Yang Penting, (7)Tidak Melanggar Etika.
C.    Identifikasi Masalah Penelitian
        Mengidentifikasi masalah bukan hal yang mudah dan bahkan mungkin dapat dianggap sebagai sesuatu pekerjaan yang paling sulit dalam suatu proses penelitian. Kesulitan tersebut masih bertambah karena tidak adanya formulasi yang pasti dalam hal bagaimana mencari permasalahan penelitian. Olehnya itu biasanya para peneliti selalu berkonsultasi dengan pembimbing atau sesama peneliti. Kesulitan mencari permasalahan biasanya juga tergantung pada ketajaman para peneliti itu sendiri dalam menyeleksi dan merasakan sesuatu yang dapat dimasukkan sebagai permasalahan.
Mengidentifikasi masalah-masalah penelitian bukan sekedar mendaftar sejumlah masalah, tetapi kegiatan ini lebih daripada itu karena masalah yang telah dipilih hendaknya memiliki signifikansi untuk dipecahkan. Berdasarkan identifikasi terhadap masalah-masalah, maka peneliti menentukan skala prioritas yaitu menentukan masalah-masalah mana yang perlu segera dilakukan pemecahan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa identifikasi masalah merupakan upaya untuk mengelompokkan, mengurutkan sekaligus memetakkan masalah-masalah tersebut secara sistematis berdasarkan keahlian bidang peneliti. Bila daftar pertanyaan telah dibuat dan disusun sesuai urutan yang paling mendasar, maka perlu dipilih dan ditemukan (identifikasi) masalah yang laik untuk dilakukan penelitian dan dicari jawabannya. Laik tidaknya suatu masalah yang diteliti tergantung ketajaman dan kemandirian ( kepekaan, kesiapan dan ketekunan) peneliti yang bersangkutan. Identifikasi masalah perlu memperhatikan apakah masalah/ fokus yang dipilih cukup: (1) esensial/ menduduki urutan paling penting diantara masalah-masalah yang ada, (2) urgen/mendesak untuk dipecahkan, (3) bermanfaat bila dipecahkan.
Dalam dunia pendidikan masalah yang ditemukan/teridentifikasi dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu: proses pembelajaran, siswa, guru, hasil belajar (output) dan hasil belajar jangka panjang (outcome). Walaupun dari proses identikasi masalah telah berhasil ditemukan satu masalah, ternyata masih perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk menjadikannya sebagai fokus penelitian. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah minat/motivasi/dorongan peneliti, kemampuan peneliti, lokasi penelitian, sumber data (populasi dan sampel), waktu, pendekatan/metode yang digunakan, buku sumber yang tersedia, etika dan birokrasi. Bila kesemua hal tersebut telah terpenuhi maka suatu fokus masalah dapat dijadikan sebagai masalah penelitian untuk dicari jawabannya.[7]
D.    Analisis Masalah Penelitian
Secara garis besar, ada beberapa bentuk analisis yang perlu diperhatikan :[8]
1. Analisis Substansi Masalah
Analisis substansi masalah itu sendiri. Masalah yang dipilih memiliki relevansi akademik dalam arti termasuk bidang keilmuan apa; misalnya sosiologi, antropologi, filologi, manajemen, teologi dan sebagainya. Dengan mengetahui kedudukan masalah dalam konteks keilmuan yang ada, peneliti dapat menelusuri dan mendalami permasalahan itu dan menempatkannya dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan bidang ilmu tersebut. Dengan cara ini peneliti dengan mantap memiliki pangkal tolak dan sudut pandang keilmuan yang ada.
2. Analisis Teori Dan Metode
Peneliti hendaknya senantiasa menyadari bahwa perumusan masalah dalam penelitiannya didasarkan atas upaya menemukan teori dari dasar sebagai acuan utama. Oleh karena itu, setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Maka, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan digunakan.
Uraian dalam menganalisis teori merupakan hasil berpikir rasional yang dituangkan secara tertulis meliputi aspek-aspek yang terdapat di dalam masalah atau sub masalah yang akan diteliti. Masalah yang diteliti hendaknya dapat dicari rujukan kepustakaan, perspektif teoritik dan metodenya. Dengan pertimbangan ini dapat ditelusuri kajian kepustakaan baik berupa buku jurnal maupun hasil penelitian terdahulu, penelitian semakin tajam dan terarah dalam memfokuskan penelitiannya. Perspektif teoritik bermanfaat bagi peneliti agar penelitian yang dilakukan memiliki starting point dan point of view yang jelas sehingga peneliti akan semakin peka dan kritis dalam mencermati setiap fenomena.
3. Analis Institusional
Jenis, bobot dan tujuan penelitian hendaknya disesuaikan dengan institusi mana peneliti memperpersembahkan penelitiannya. Penelitian untuk persyaratan memperoleh gelar akademik tentu berbeda dengan penelitian pesanan atau penelitian tindakan (action research). Penelitian untuk skripsi tentu memiliki kulalifikasi yang berbeda dengan tesis atau disertasi. Perbedaan bisa terletak pada substansinya, seperti kedalaman, keluasan, keaslian, kejelasan, keutuhan masalah yang diangkat; atau pada metodologinya seperti perspektif teoritik dan analisisnya; maupun pada teknik penulisan atau pelaporannya.
4. Analisis Metodologis
Masalah yang diangkat hendaknya terjangkau, baik dari aspek metode pengumpulan data maupun datanya itu sendiri. Penelitian yang melibatkan para elite biasanya lebih sulit dilakukan daripada masyarakat awam, maupun agama, lebih sedikit jumlahnya. Penelitian tentang keuangan biasanya juga lebih sedikit karena datanya sulit dicari.

E.     Sumber Masalah Penelitian
Sumber masalah penelitian, antara lain: Buku bacaan atau laporan hasil penelitian, Pengamatan sepintas, Pernyataan pemegang otoritas, Perasaan intuisi, Diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a.        Fenomena pendidikan di ruang-ruang kuliah, di sekolah, dan di masyarakat.
Di ruang-ruang kuliah, di sekolah, dan di masyarakat sebetulnya banyak fenomena kependidikan yang tepat diangkat menjadi masalah penelitian. Itulah gudang sumber masalah, tentu saja bagi mereka yang jeli, penuh imajinasi, serta kuat rasa ingin tahunya. Masalah-masalah yang menarik dan  menggoda, misalnya : Dalam keadaan bagaimanakah sesuatu metode mengajar itu efektif ?. Bagaimana pendapat para guru mengenai model satuan pelajaran? Bagaimanakah cara belajar siswa aktif di sekolah? Bagaimanakah pendapat orang tua mengenai pendidikan seks? Faktor-faktor luar manakah yang mempengaruhi tingkah laku belajar pelajar mahasiswa?.
Dari contoh-contoh tadi, nyata sekali bahwa ada banyak masalah menarik yang bisa diangkat dari pengalaman dan lingkungan terdekat mahasiswa itu sendiri. Bagi para pemula di kerja penelitian, barangkali lebih baik memilih masalah-masalah yang lebih dekat dengan pengalaman dan lingkungannya, dari pada memilih masalah-masalah yang relatif jauh dari jangkauannya.
b.        Perubahan teknologi dan pengembangan kurikulum
Perkembangan teknologi dan juga perkembangan kurikulum perndidikan selalu membawa berbagai problem baru  dan  kesempatan baru bagi suatu kerja penelitian. Sekarang ini, lebih dari sebelumnya, inovasi-inovasi pendidikan telah ikut memajukan pengelolaan kelas, bahan dan prosedur belajar, dan penggunaan alat-alat dan perlengkapan teknik. Inovasi-inovasi tadi, seperti pengajaran melalui TV, pengajaran berprograma, pendidikan melalui permainan, konsep-konsep dan pendekatan baru dari sesuatu mata pelajaran, penggunaan jadwal yang fleksibel, pelaksanaan sistem kredit, dan sebagainya, kesemuanya perlu dievaluasi secara teliti melalui penelitian (Proses penelitian).
c.        Pengalaman-pengalaman akademis itu sendiri
 Pengalaman seharusnya bisa menstimulir sikap bertanya terhadap berbagai praktek pendidikan yang berlaku luas di masyarakat. Sikap bertanya dimaksud, juga seharusnya efektif di dalam pengembangan pengenalan terhadap masalah.
d.       Konsultasi
Berkonsultasi dengan dosen-dosen pengajar, dosen-dosen penasehat, atau seseorang guru besar, juga berguna dan juga merupakan sumber pula di dalam rangka menemukan masalah penelitian.[9]

F.      Tahapan mencari masalah penelitian
Berdasarkan topik atau masalah penelitian yang telah ditemukan maka dapat dilakukan tahapan-tahapan penelitian berikutnya. Studi Pendahuluan dan Merumuskan Masalah.[10]



a.        Studi Pendahuluan
Setelah calon peneliti memilih dan menemukan masalah, langkah selanjutnya adalah melakukan studi pendahuluan yang bertujuan untuk mendalami permasalahan sehingga calon peneliti benar-benar dapat mempersiapkan perencanaan selanjutnya.
Studi pendahuluan ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1)       Agar peneliti tidak mengulang hasil penelitian orang lain.
2)       Mengetahui dengan pasti apa yang diteliti.
3)       Mengetahui di mana atau kepada siapa data atau informasi dapat diperoleh.
4)       Memahami bagaimana teknik atau cara memperoleh data atau informasinya.
5)       Dapat menentukan metode yang tepat untuk menganalisis data atau informasi tersebut.
6)       Memahami bagaimana harus mengambil kesimpulan dan cara memanfaatkan hasilnya
7)       Studi pendahuluan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a)      Studi kepustakaan, yaitu membaca artikel, paper, buku-buku  teori yang terkait, hasil penelitian sebelumnya, dan sebagainya.
b)      Bertanya, berkonsultasi dengan seseorang yang dianggap ahli atau narasumber.
c)      Kunjungan ke lokasi atau ke daerah di mana masalah penelitian itu bersumber.
b.        Perumusan Masalah
Perumusan  masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan  masalah atau  research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
Mengingat demikian pentingnya kedudukan perumusan masalah di dalam kegiatan penelitian, sampai-sampai memunculkan suatu anggapan yang menyatakan bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah, merupakan kegiatan separuh dari penelitian itu sendiri.
Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat, meliputi perumusan masalah deskriptif, apabila tidak menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris, apabila rumusannya menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena.
Perumusan  masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu Fungsi pertama adalah sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Perumusan masalah ini tidak berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan berubah setelah peneliti sampai di lapangan. Fungsi ketiga dari perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Keputusan memilih data mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan peneliti, karena melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu mengenai data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana yang tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya. Sedangkan fungsi keempat dari suatu perumusan masalah adalah dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.
Ada setidak-tidaknya tiga kriteria yang diharapkan dapat dipenuhi dalam perumusan masalah penelitian yaitu kriteria pertama dari suatu perumusan masalah adalah berwujud kalimat tanya atau yang bersifat kalimat interogatif, baik pertanyaan yang memerlukan jawaban deskriptif, maupun pertanyaan yang memerlukan jawaban eksplanatoris, yaitu yang menghubungkan dua atau lebih fenomena atau gejala di dalam kehidupan manusaia.
Kriteria Kedua dari suatu masalah penelitian adalah bermanfaat atau berhubungan dengan upaya pembentukan dan perkembangan teori, dalam arti pemecahannya secara jelas, diharapkan akan dapat memberikan sumbangan teoritik yang berarti, baik sebagai pencipta teori-teori baru maupun sebagai pengembangan teori-teori yang sudah ada.
Kriteria ketiga, adalah bahwa suatu perumusan masalah yang baik, juga hendaknya dirumuskan di dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang aktual, sehingga pemecahannya menawarkan implikasi kebijakan yang relevan pula, dan dapat diterapkan secara nyata bagi proses pemecahan masalah bagi kehidupan manusia.
Berkenaan dengan penempatan rumusan masalah penelitian, didapati beberapa variasi, antara lain (1) Ada yang menempatkannya di bagian paling awal dari suatu sistematika peneliti, (2) Ada yang menempatkan setelah latar belakang atau bersama-sama dengan latar belakang penelitian dan (3) Ada pula yang menempatkannya setelah tujuan penelitian.
Di manapun rumusan masalah penelitian ditempatkan, sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak akan mengganggu kegiatan penelitian yang bersangkutan, karena yang penting adalah bagaimana kegiatan penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan masalah sebagai pengarah dari kegiatan penelitiannya. Artinya, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang konsisten dengan judul dan perumusan masalah yang ada. Kesimpulan yang didapat dari suatu kegiatan penelitian, hendaknya kembali mengacu pada judul dan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.
Salah satu cara untuk membuat perumusan masalah yang baik ialah dengan melakukan proses penyempitan masalah dari yang sangat umum menjadi lebih khusus dan pada akhirnya menjadi masalah yang spesifik dan siap untuk diteliti. Perlu juga adanya pertimbangan dalam penentuan masalah, diantaranya sebagai berikut:[11]
1)      Dapat Dilaksanakan.
Jika kita memilih masalah tertentu, maka pertanyaan-pertanyaan di bawah ini bermanfaat bagi kita untuk mengecek apakah kita dapat atau tidak melakukan penelitian dengan masalah yang kita tentukan: 1) apakah masalah tersebut dalam jangkauan kita? 2)apakah kita mempunyai cukup waktu untuk melakukan penelitian dengan persoalan tersebut? 3)apakah kita akan mendapatkan akses untuk memperoleh sample yang akan kita gunakan sebagai responden sebagai sarana pemerolehan data dan informasi.? 4)apakah kita mempunyai alasan khusus sehingga kita percaya akan dapat memperoleh jawaban dari masalah yang kita rumuskan? 5)apakah metode yang diperlukan sudah kita kuasai?
2)       Jangkauan Penelitiannya.
Apakah masalahnya cukup memadai untuk diteliti? Apakah jumlah variabelnya sudah cukup? Apakah jumlah datanya cukup untuk dilaporkan secara tertulis?
3)      Keterkaitan.
Apakah kita tertarik dengan masalah tersebut dan cara pemecahannya? Apakah masalah yang kita teliti berkaitan dengan latar belakang pengetahuan atau pekerjaan kita? Jika kita melakukan penelitian dengan masalah tersebut apakah kita akan mendapatkan nilai tambah bagi pengembangan diri kita?
4)      Nilai Teoritis.
Apakah masalah yang akan diteliti akan mengurangi adanya kesenjangan teori yang ada? Apakah pihak-pihak lain , seperti pembaca atau pemberi dana akan mengakui kepentingan studi ini? Apakah hasil penelitiannya nanti akan memberikan sumbangan pengetahuan terhadap ilmu yang kita pelajari? Apakah hasil penelitiannya layak dipublikasikan?
5)      Nilai Praktis.
Apakah hasil penelitiannya nantinya akan ada nilai-nilai praktis bagi para praktisi di bidang yang sesuai dengan masalah yang akan diteliti? Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan nilai praktis ini sebagai berikut:
a)      Apakah pemecahan masalah dalam penelitian itu dapat meningkatkan praktik atau pelaksanaan pendidikan?
b)      Apakah para praktisi pendidikan itu nanti akan tertarik dengan hasil penelitian yang Anda lakukan?
c)      Apakah hasil penelitian itu nanti bisa mengubah sistem pendidikan?
d)      Apakah dengan hasil penelitian itu nanti akan mengubah cara-cara Anda dalam melaksanakan praktik pendidikan?
Secara singkat, cara perumusan masalah yang baik adalah sebagai berikut :
1.      Menguraikan masalah utama sesuai dengan latar belakang penelitian dan judul penelitian. Alangkah baiknya apabila peneliti mampu membuat definisi atau rumusan masalah.
2.      Menyusun masalah yang akan diteliti yang dijadikan fokus atau pokok-pokok penelitian sesuai dengan urutan judul penelitian.
3.      Setiap pokok penelitian erat hubungannya dengan variabel yang diteliti, serta kaitan antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya secara rasional dan proporsional.
4.      Pokok-pokok yang akan diteliti diungkapkan berbentuk kalimat tanya.
5.      Setiap pokok penelitian merupakan definisi operasional variabel.
6.      Setiap variabel yang diteliti harus jelas menggambarkan objek yang diteliti.
7.      Dari setiap indikator yang diteliti harus disesuaikan dengan jenis instrumen penelitian yang bisa mengungkap masalah yang dicari jawabannya.
8.      Jawaban penelitian sesuai dengan jenis penelitian apakah penelitian kualitatif atau penelitian kuantitatif.
c.         Hipotesis
1.      Pengertian Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan sementara tentang suatu hal yang bersifat sementara dan belum dibuktikan kebenarannya secara empiris dan ilmiah.
2.      Fungsi Hipotesis
Secara singkat hipotesis berfungsi sebagai berikut.
a.       Untuk merumuskan jawaban sementara terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul sehubungan dengan peristiwa yang terjadi
b.      Untuk menguji kebenaran suatu teori, pendapat, atau pernyataan.
c.       Untuk memberi ide dalam mengembangkan suatu teori atau pendapat.
d.      Untuk memperluas dan menjuruskan pengetahuan dan pengertian kita terhadap gejala-gejala yang akan diteliti.
3.      Merumuskan Hipotesis
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan hipotesis adalah sebagai berikut.
a.         Hipotesis harus bertalian dengan teori tertentu, maksudnya hipotesis itu harus didasarkan pada teori-teori yang telah ada dalam literatur atau buku-buku ilmu pengetahuan.
b.          Hipotesis harus dapat diuji dengan data-data empiris, maksudnya hipotesis itu harus dapat dites berdasarkan hasil data-data penelitian yang terkumpul. Itulah sebabnya hipotesis tidak boleh mengandung unsur-unsur moral, sikap, atau nilai-nilai.
c.         Kemampuan menentukan anggapan dasar dalam penelitian,  dapat digali melalui:
1)       Banyak membaca buku, surat kabar, dan sebagainya.
2)       Banyak mendengar berita, ceramah, dan pembicaraan.
3)        Banyak berkunjung ke tempat-tempat tertentu yang berhubungan dengan penelitian.
4)        Mengadakan   praduga,   mengabstraksi berdasarkan perbendaharaan pengetahuannya.
4.      Jenis-jenis Hipotesis
Berdasarkan bentuknya, hipotesis ada tiga macam, yaitu:
a)        Hipotesis kerja
Hipotesis kerja juga disebut hipotesis alternative (Ha).
Hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y atau adanya perbedaan antara dua kelompok tertentu
1.        Jika … maka …
Contoh: Jika program KB terlaksana, maka laju pertumbuhan penduduk Indonesia dapat dikendalikan.
2.        Ada perbedaan antara … dan …
Contoh: Ada perbedaan antara penduduk kota dan penduduk desa dalam berperilaku.
3.         Ada pengaruh … terhadap …
Contoh: Ada pengaruh dari adanya listrik masuk desa terhadap perubahan pola kehidupan masyarakat desa.
b)       Hipotesis nol (nullhypotheses)
Hipotesis nol sering disebut hipotesis statistik karena biasa dipakai dalam penelitian yang bersifat statistik, yaitu diuji dengan perhitungan statistik. Hipotesis nol menyatakan tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y. Rumusan hipotesis nol sebagai berikut.
1.        Tidak ada perbedaan antara … dengan …
Contoh: Tidak ada perbedaan antara siswa kelas I dengan siswa kelas III dalam disiplin belajar.
2.        Tidak ada pengaruh …dengan …
Contoh: Tidak ada pengaruh antara jarak rumah ke sekolah dengan mengikuti pelajarandi sekolah.
c)        Hipotesis statistic
Hipotesis statistik, yaitu hipotesis yang menyatakan hasil observasi tentang populasi (manusia atau benda) dalam bentuk kualitatif.
d.        Menguji Hipotesis
Suatu hipotesis harus diuji atau dites berdasarkan data empiris. Berdasarkan data penelitian yang terkumpul, hipotesis harus kita uji kebenarannya.

KESIMPULAN

  1. permasalahan adalah kesulitan yang dirasakan oleh orang awam maupun para peneliti; permasalahan dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang menghalangi tercapainya tujuan
  2. Masalah dalam penelitian pendidikan dapat diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan bidang pendidikan antara lain dari: 1) kepustakaan: laporan penelitian pendidikan sebelumnya, 2) forum pertemuan ilmiah: seminar kependidikan baik bersifat nasional maupun internasional, 3) sumber pengalaman praktek: pengalaman mengajar di kelas, pengamatan terhadap lingkungan sekitar.
  3. Dalam dunia pendidikan masalah yang ditemukan/teridentifikasi dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu: proses pembelajaran, siswa, guru, hasil belajar (output) dan hasil belajar jangka panjang (outcome). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam identifikasi masalah adalah minat/motivasi/dorongan peneliti, kemampuan peneliti, lokasi penelitian, sumber data (populasi dan sampel), waktu, pendekatan/metode yang digunakan, buku sumber yang tersedia, etika dan birokrasi.
  4. Suatu masalah yang dipilih dalam perumusannya harus memiliki ciri-ciri khusus (karakteristik) sebagai berikut: 1) masalah menanyakan hubungan antara dua atau lebih variabel; 2) masalah dinyatakan atau dirumuskan secara jelas dan tidak ambigius; 3) masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan; 4) masalah itu dapat diuji melalui metode empiris, artinya adanya kemungkinan pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan; dan 5) masalah tidak menyangkut moral dan etika.
  5. Agar dapat membatasi ruang lingkup permasalahan yang menarik minat dan keterampilan peneliti, alangkah bijaksanya apabila peneliti itu dapat mempersempit cakupan ruang lingkup masalah penelitiannya. Untuk maksud ini dapat dipakai skema klasifikasi masalah. Berkenaan dengan penelitian di timgkat kelas atau sekolah, maka pertimbangan-pertimbangan khusus perlu diambil oleh seorang peneliti. Pertimbangan-pertimbangan khusus adalah sebagai berikut, yaitu: 1) dapat dilaksanakan; 2) berguna untuk kepentingan luas; 3) menarik minat; 4) nilai teoritis; 5) nilai praktis.
  6. Berdasarkan topik atau masalah penelitian yang telah ditemukan maka dapat dilakukan tahapan-tahapan penelitian berikutnya. Studi Pendahuluan dan Merumuskan Masalah.

DAFTAR ISI

Nawawi, Hadari,  Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998
Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Wasero, Mulyadi G. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional, 1982.


[2] Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktikny,.( Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 21
[3] Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 53
[4] Sukarji, Metodologi…, hlm. 22-24
[8] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 35-36
[9] Mulyadi G Wasero, Metodologi Penelitian Pendidikan. (Surabaya : Usaha Nasional, 1982), hlm. 25
[11] Setyosari, Punaji. Metode…, hlm. 66-68