REVIEW HASIL KAJIAN ISLAM
PENDEKATAN FILOLOGI / BAHASA
AHMAD NUR SANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Clifford Geertz pernah mengatakan bahwa Islam
membawa rasionalisme dan ilmu pengetahuan serta menegaskan suatu sistem
masyarakat yang berdasarkan orang-perorangan, keadilan, dan membentuk
kepribadian mulia.[1]
Semangat rasionalisme dan intelektualisme Islam itu menyebar luas di kalangan
elit kraton sampai rakyat kebanyakan. Semua ini dapat ditemukan dalam berbagai
naskah yang berisi falsafah dan metafisika yang khusus ditulis untuk keperluan
umum. Praktek mistik Budha, misalnya memperoleh nama-nama Arab seperti suluk,
raja-raja Hindhu yang mengalami perubahan gelar untuk menjadi sultan Islam, dan
masyarakat awam yang menyebut beberapa roh hutan dengan jin.
Sebagaimana terungkap dari pernyataan Geertz di
atas, disadari atau tidak, khazanah peninggalan berupa naskah merupakan bagian
penting dalam kajian suatu peradaban atau kebudayaan, tak terkecuali kajian
keislaman. Ribuan naskah yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan sangat
disayangkan jika tidak digali lebih lanjut sebagai sumber kajian dalam
mempelajari kebudayaan yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pengetahuan
tentang suatu kaum (peradaban) dapat dilihat dari karya yang dihasilkan oleh
kaum tersebut. Sebagaimana dikutip oleh Nabilah Lubis, Prof. Baroroh Barried
dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Bahasa Indonesia UGM
mengatakan bahwa studi filologi merupakan kunci pembuka khazanah kebudayaan
lama yang oleh karena itu perlu diperkenalkan pada masyarakat untuk menumbuhkan
minat masyarakat terhadap kebudayaan lama.
Filologi merupakan satu kajian yang bertugas
menelaah dan menyunting naskah untuk dapat mengetahui isinya. Cabang ilmu ini
memang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, terutama di kalangan
masyarakat Islam. Kekayaan dan warisan intelektual Islam menjadi terabai,
padahal warisan inteletual yang berupa karya tulis itu sedemikian banyaknya. Di
Indonesia saja, banyak peninggalan kitab klasik yang ditulis oleh ulama
nusantara. Misalnya Imam Nawawi al-Bantani yang telah menulis tidak kurang dari
seratus kitab berbahasa Arab dalam berbagai bidang keilmuan. Contoh lain, Syekh
Mahfudh at-Tarmasy yang menulis hingga 60 kitab meliputi tafsir, qiraah,
hadits, dan sebagainya. [2]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang
pendekatan filologi dalam studi Islam sebagai bentuk pengenalan cabang ilmu
filologi kepada komunitas Islam agar khazanah peninggalan berupa naskah-naskah
kuno dapat dipelajari dengan lebih maksimal.
B. Rumusan
Masalah
a. Bagaimanakah
Pengertian Filologi ?
b. Apa
Obyek kajian Filologi ?
c. Bagaimanakah
pendekatan filologi dalam studi Islam ?
d. Bagaimana
review kajian filologi terhadap Islam oleh Orientalis ?
C. Tujuan
a. Mengetahui
Pengertian Filologi.
b. Mengetahui
Obyek kajian Filologi.
c. Mengetahui
pendekatan filologi dalam studi Islam.
d. Mengetahui
review kajian filologi terhadap Islam oleh Orientalis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filologi
Sebuah
teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari
masa lampau, seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang
sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan
begini, naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas
seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah meneliti naskah-naskah ini,
membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini, dan menyunting teks yang ada
di dalamnya.
Ilmu
filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau
ilmu tentang tulisan pada masa lampau.[3]
Secara
etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos
yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi
membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley dalam
Baroroh-Baried, 1985: 1). Arti tersebut kemudian berkembang menjadi ‘senang
belajar’, dan ‘senang kasustraan atau senang kebudayaan’ (Baroroh-Baried, 1985:
1).[4]
Filologi selama
ini dikenal sebagai ilmu yang
berhubungan dengan karya masa
lampau yang berupa
tulisan. Studi terhadap
karya tulis masa
lampau dilakukan karena adanya
anggapan bahwa dalam
peninggalan aliran terkandung nilai-nilai yang
masih relevan dengan
kehidupan masa kini. Di bawah ini disimpulkan bahwa
lahirnya filologi dilator belakangi oleh
sejumlah faktor sebagai berikut
:
- Munculnya
informasi tentang masa lampau didalam sejumlah karya tulisan.
- Anggapan
adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau yang dipandang
masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.
- Kondisi fisik
yang substansi materi
informasi akibat rentang waktu
yang panjang.
- Faktor sosial
budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisanmasa lampau
yang tidak ada
lagi atau tidak
sama dengan latar
sosial budaya pembacanya
masa kini.
- Keperluan
untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.[5]
Sebagai
istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok
ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang
diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu
beratus-ratus tahun sebelumnya. Pada saat itu, perpustakaan Iskandariyah
mendapatkan banyak naskah berupa gulungan papyrus dari beberapa wilayah di
sekitarnya. Sebagian besar naskah tersebut sudah mengandung sejumlah bacaan
yang rusak dan korup, diantaranya adalah naskah-naskah Alkitab yang muncul
dalam beberapa versi.
Keadaan
ini mendorong para ilmuwan untuk mengadakan kajian untuk mengetahui firman
Tuhan yang dianggap paling asli. Mereka menyisihkan kekeliruan-kekeliruan yang
terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut. Jika naskah yang mereka hadapi
dalam jumlah besar atau lebih dari satu naskah, maka kajian juga dihadapkan
pada bacaan-bacaan (varian-varian) yang berbeda.
Dalam
perkembangan terakhirnya, filologi menitikberatkan pengkajiannya pada perbedaan
yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat
perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan ini
suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru) karena mencerminkan
perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan varian-varian yang ada
diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami,
menafsirkan, dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak tepat.
B. Obyek Kajian Filologi
Objek
penelitian filologi adalah naskah dan teks. Berikut ini naskah dan teks secara
berurut-urut diuraikan.
1. Naskah
Naskah adalah
karangan yang masih ditulis tangan. Pengertian lain tentang naskah, yaitu
naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan
perasaan sebagai hasil budaya suatu bangsa masa lampau.
2. Teks
Teks adalah (1) naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, (2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, (3) bahan tertulis untuk memberikan pelajaran, berpidato (KBBI, jilid 2; 1995: 1024). Teks juga berarti kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Teks adalah (1) naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, (2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, (3) bahan tertulis untuk memberikan pelajaran, berpidato (KBBI, jilid 2; 1995: 1024). Teks juga berarti kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Wahana penyampaian
teks dibagi menjadi 3 macam, yaitu: (1) teks lisan (tidak tertulis), (2) teks
naskah atau tulisan tangan, (3) teks cetakan.
Filologi berbicara mengenai bagaimana sebuah naskah
kuno yang bernilai atau mempunyai makna besar bagi kehidupan manusia itu dikaji
dengan cara seksama dan dengan ketelitian yang tinggi. Ketika hendak melakukan
prosesi penelitian naskah, kita sebagai seorang peneliti (filolog) akan
melakukan beberapa langkah standar yang telah digunakan dan disepakati oleh
para ahli untuk mencari atau menyunting sebuah naskah kuno agar selanjutnya
bias dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Adapun
macam-macam pengertian tentang
pengetahuan dalam sejarah perkembangannya antara lain :
1.
Filologi sebagai
ilmu tentang pengetahuan yang pernah ada.
Informasi
mengenai masa lampau
suatu masyarakat, yang
meliputi sebagai segi kehidupan
dapat diketahui oleh
masyarakat masa kini
melalui peninggalan-peninggalan
baik yang berupa
benda-benda budaya maupun
karya-karya tulisan. Karya
tulisan pada umumnya
menyimpan kandungan berita masa
lampau yang mampu memberikan informasi secara lebih terurai.
2.
Filologi sebagai
ilmu bahasa.
Sebagai hasil budaya
masa lampau, peninggalan tulisan perlu dipahami dalam konteks
masyarakat yang melahirkannya
pengetahuan tentang sebagai konvensi yang
hidup dalam masyarakat
yang melatarbelakangi penciptaanya mempunyai peran
yang besar bagi
dari karya tulisan
masa lampau berupa bahasa.
3.
Filologi sebagai
ilmu sastra tinggi.
Dalam
perkembangannya karya-karya tulisan
masa lampau yang didekati dengan
filologi berupa karya-karya
yang mempunyai nilai
yang tinggi di dalam
masyarakat. Karya itu
pada umumnya dipandang
sebagai karya-karya sastra ’adhiluhung’ misalnya
karya Homerus. Perkembangan sasaran kerja
ini kemudian melahirkan
pengertian tentang istilah
filologi sebagai study sastra atau ilmu sastra.
4.
Filologi sebagai
study teks.
Filologi
dipakai juga untuk
menyambut ilmu yang
berhubungan dengan study
teks, yaitu study yang
dilakukan dalam rangka
mengungkapkan hasil
budaya yang tersimpan didalamnya. Hal ini
bertujuan yaitu
mengungkapkan hasil budaya
masa lampau sebagaimana
yang terungkap dalam teks aslinya.
Adapun langkah-langkah atau metodologi dalam
penelitian filologi adalah sebagai berikut:[6]
- Inventarisasi
atau mengumpulkan naskah
- Deskripsi
naskah
- Pertimbangan
dan pengguguran
- Menentukan
kesalian sebuah naskah
- Membuat
ikhtisar isi dari naskah tersebut
- Transliterasi
atau pengalihan bahasa
- Menyunting
teks asli
- Membuat
glosari atau daftar kata-kata yang di anggap tidak umum, dan
- Mengomentari
teks
C. Pendekatan
Filologi dalan Studi Islam
Az-Zamakhsyari, sebagaimana dikutip Nabilah Lubis,[7]
mengungkapkan kegiatan filologi sebagai tahqiq al-kutub. Ungkapan itu secara
lengkap sebagai berikut:
حققت الأمر وأحققته: كنت على يقين
منه، وحققت الخبر فأنا أحقه .
وقفت على حقيقته. ويقول الرجل لأصحابه إذا بلغهم خبر فلم يستيقنوه: أنا أحق لكم هذا الخبر، أي أعلمه لكم وأعرف حقيقته.
وقفت على حقيقته. ويقول الرجل لأصحابه إذا بلغهم خبر فلم يستيقنوه: أنا أحق لكم هذا الخبر، أي أعلمه لكم وأعرف حقيقته.
Secara bahasa, tahqiq berarti tashhih
(membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara istilah, tahqiq
berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan pengarangnya, baik
bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa tahqiq
bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari kesalahan-kesalahan
dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks atau nash adalah
melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam teks tersebut.
Bangsa Arab pra-Islam dikenal dengan karya-karya
syair maupun sastra prosanya. Karya yang paling terkenal adalah “Muallaqat”
(berarti “yang tergantung), karya-karya yang berupa qasidah-qasidah panjang dan
bagus yang digantungkan pada dinding Ka’bah dengan tujuan agar dibaca
masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab telah lama dimulai, terlebih
pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai
dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin
teks-teks al-Quran ke dalam mushaf tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya
tertulis secara berserakan pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit
binatang, dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan
satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian
menyangkut orisinalitas wahyu ilahy yang harus senantiasa dijaga. [8]
Setelah Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol pada
abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu
pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa Arab kemudian kembali ke Eropa
dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya sastra Islam ini mengalami
kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis al-Ghazali, Fariduddin
Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju di wilayah Persia dan
dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi rujukan wajib
mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik pelajar di Eropa.
Dalam konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi
ke dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua,
manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa
Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab
tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton,
Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak
berkaitan dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin
ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak
sedikit pula yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis.
Misalnya Syeh Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada
pula Syeh Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah,
al-Badr al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian
karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa
tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal
umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di
Indonesia.
Menilik dari sangat banyaknya khazanah klasik yang
ada di Nusantara, merupakan sebuah pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab
peninggalan ulama klasik tersebut.
D. Review studi Islam oleh orientalis dengan pendekatan
Filologi
Dalam
kajian ini akan dejelaskan bagaimana kegiatan orientalis dalam studi hadist[9]
sebagai salah satu dari pendekatan filologi untuk memahami Islam yang
seringkali bersifat subyektif dan berlatar belakang kebencian terhadap Islam.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia
orientalisme adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran.
Sementara itu dalam buku " Pembahasan Tentang Misionarime dan
Orientalisme " karangan Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata
‘Orientalisme’ secara umum diberikan kepada orang-orang non-Arab yang
mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama,
sejarah, dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu disebut
Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab, China,
Persia dan India.
Dr. Hasan Abdul Rauf memberi batasan bahwa sebutan Orientalis
diberikan kepada setiap ilmuwan Barat yang mempelajari segala sesuatu tentang
ketimuran. Utamanya, istilah Orientalis diberikan kepada orang-orang Nasrani
yang ingin mempelajari ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Orientalisme yang pada awalnya adalah
salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki
tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari
kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan
kebudayaan percobaan bagi seluruh dunia.
Hal ini kemudian berkembang ,
antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa
yang mapan terhadap kebudayaan luar. Karena masyarakat merasa mereka lebih
berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh,
timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga
agama-agama masyarakat timur.
Di dalam salah satu
bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan
oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah
pekerjaan yang murni ilmiah tanpa mempunyai maksud, artinya mereka memiliki
tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara
lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan
dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling
tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata
memiliki persentase sangat kecil.
Mereka memilih hadis dalam upayanya
untuk menyerang umat islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam
kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al Qur'an
sekaligus juga sebagai penjelas dari Al Qur'an itu sendiri. Mereka lebih
memilih menyerang hadis ketimbang Al Qur'an, karena hadis hanyalah perkataan
manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya.
Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan Al Qur'an karena Al Qur'an adalah
sumber transendental dari Tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
Inilah dua tokoh
orientalis yang meragukan kesahihan hadis. Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher.
Ada tiga hal yang
sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu
tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian
hadis :
- Aspek Perawi. Para
orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak
meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para
sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang
banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar,
Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat
junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan
rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat
teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul
dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik,
Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul
dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah
Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan
Abdullah ibn Umar, Anas.
- Aspek Kepribadian Nabi Muhammad
SAW. Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi
Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga
sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang
kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan
beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi
baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis
keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan
hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang
Muhammad.
- Aspek Pengklasifikasian
hadis. Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka.
Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad
wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka,
membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal,
sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis
ternama saat ini: "Semua perkataan dan
perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan
semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan
secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui
ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya
dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis
tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa
memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis,
sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan
penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan
lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah
meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka
sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk
dari sebagian mereka.
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis
adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup
antara tahun1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil
penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang
berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu
hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan
orientalis.
Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht
memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang
meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad,
khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara
Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis.
tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang
luar biasa.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara
tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah
sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang
bersumber dari Nabi Muhammad, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam,
ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan
sebagai sumber ajaran Islam.
Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan
sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai
Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Anbi Muhammad. Setidaknya ada tiga
kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
- Mendistorsi teks-teks sejarah.
Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.).
menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga
mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri,
sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya
sebagai pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah
berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah
ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). kata
'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al"
(al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif
(ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan
Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn
Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadis-hadis yang
telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi
Muhammad.
- Membuat teori-teori rekayasa.
Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut
Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan
hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat
teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian
hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke
belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi
Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis
yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut
merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi.
Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa
pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada
dinasti bani Umayah.
- Ketiga melecehkan Ulama Hadis,
di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas
ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang
mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu
Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam
Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para
orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian
ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang
paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut
sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah
tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu
kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha
menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu
untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi
perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih
menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih.
Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa anda
bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180 % derajat. Sesuatu yang
haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar,
judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya,
jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena
haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para
orientalis.
Dalam hal
ini seorang pemuda asal India berhasil membalikkan pemikiran yang keliru dari
para orientalis yang mengkritisi hadis yakni Muhammad Mustafa Al A'zami dengan
desertasi " Studies in Early Hadith Literature" pada tahun 1966 di
Universitas Cambridge, Inggris. Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah
dan analisis desertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul
berasal dari Nabi Muhammad Saw. Bahkan sebelum kemunculan karya dari A'zami
tersebut telah ada karya dari Mustafa As Siba'i dalam bukunya " Assunnah
wakannatuha "
BAB III
KESIMPULAN
Filologi selama ini
dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau
yang berupa tulisan.
Studi terhadap karya
tulis masa lampau dilakukan karena
adanya anggapan bahwa
dalam peninggalan aliran
terkandung nilai-nilai yang masih
relevan dengan kehidupan
masa kini
Filologi berbicara
mengenai bagaimana sebuah naskah kuno yang bernilai atau mempunyai makna besar
bagi kehidupan manusia itu dikaji dengan cara seksama dan dengan ketelitian
yang tinggi. Ketika hendak melakukan prosesi penelitian naskah, kita sebagai
seorang peneliti (filolog) akan melakukan beberapa langkah standar yang telah
digunakan dan disepakati oleh para ahli untuk mencari atau menyunting sebuah
naskah kuno agar selanjutnya bias dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Pendekatan filologi
dipergunakan dalam kajian studi Islam dalam rangka memperoleh informasi dari
sebuah teks melalui penelitian terhadap berbagai naskah keislaman yang ada.
Mengingat banyaknya khazanah intelektual Islam, tentu membutuhkan banyak waktu
untuk melakukan penelitian terhadap berbagai turats tersebut. Pendekatan
filologi menjadi sangat penting sepenting kandungan teks itu sendiri.
Pendekatan ini memang
belum banyak digunakan, meskipun oleh pihak-pihak pengguna kitab-kitab klasik
itu sendiri, seperti pesantren-pesantren di Indonesia. Oleh karena itu perlu
adanya sosialisasi dan penyadaran terhadap pentingnya pendekatan filologi dalam
studi Islam.
Justru selama ini
kajian filologi terhadap Islam banyak dilakukan oleh para orientalis yang
seringkali tidak bersikap obyektif dan justru mengarah untuk melemahkan umat
islam melalui kajiannya. Memang sekilas kajian mereka Nampak ilmiah tetapi
sesungguhnya keilmiahan mereka tidak lebih besar dari latar belakang kebencian
terhadap Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. Abangan,
Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Lubis, Nabilah. Naskah, Teks,
dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra
Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996
http://ber-guru.blogspot.com/2012/04/pendekatan-filologi-dalam-studi-islam.html,
diakses 1 Juni 2012
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filologi&oldid=5283146,
diakses 1 Juni 2012
http://dodiilham.blogspot.com/,
diakses 2 Juni 2012
http://wadesig.wordpress.com/theartofphilology, diakses 2 Juni 2012
http://initialdastroboy.wordpress.com/,
diakses 3 Juli 2012
http://ber-guru.blogspot.com/2012/04/pendekatan-filologi-dalam-studi-islam.html,
diakses 1 Juni 2012
http://ansorialberawi.blogspot.com/2011/10/kajian-orientalis-dalam-studi-hadist.html,
diakses 4 Juni 2012
[1] Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hal. 5
[2] http://ber-guru.blogspot.com/2012/04/pendekatan-filologi-dalam-studi-islam.html,
diakses 1 Juni 2012
[3] "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Filologi&oldid=5283146",
diakses 1 Juni 2012
[4] http://dodiilham.blogspot.com/,
diakses 2 Juni 2012
[5] http://wadesig.wordpress.com/theartofphilology, diakses 2 Juni 2012
[6] http://initialdastroboy.wordpress.com/,
diakses 3 Juli 2012
[7] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan
Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), hal. 2
[8] http://ber-guru.blogspot.com/2012/04/pendekatan-filologi-dalam-studi-islam.html,
diakses 1 Juni 2012
[9] http://ansorialberawi.blogspot.com/2011/10/kajian-orientalis-dalam-studi-hadist.html,
diakses 4 Juni 2012