WAHYU DAN AL QURAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Al
Qur’an yang telah diturunnkan beberapa
abad yang lalu, tepatnya pada tahun ke-40 dari lahirnya nabi Muhammad SAW
ternyata masih menimbulkan banyak kontroversi. Masih relevankah Al Qur’an?.
Pertanyaan seperti ini masih sering didengarkan sebagai wujud keraguan yang
mulai muncul sehubungan dengan relevansinya Al Qur’an pada zaman sekarang.
Muncul pula pemikiran-pemikiran sesat yang berusaha mempertanyakan keotentikan
alquran sebagai kalam Ilahi yang diturunkan kepada Muhamad saw.
Kalau
dahulu di jaman Rasaulullah saw, pertanyaan seperti itu muncul karena mereka
tidak percaya bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada Muhammad saw dan pertanyaan
tentang keotentikan al Quran hanya diucapkan oleh orang-orang kafir saja.
Tetapi sekarang ini justru pertanyaan tentang relevansi dan otentitas al Quran
mulai banyak bermunculan dari golongan tertentu yang seringkali berlabel kaum
cendekiawan muslim. Ironis memang jika seseorang yang bergelar seperti itu
justru mempertanyakan keabsahan kitab sucinya sendiri. Padahal disisi lain
banyak orang non muslim yang menjadi mu’alaf justru karena terpesona dengan
keagungan al Quran.
Namun
Allah, sebagai ashabul qoil berfirman di awal surat al Baqoroh :
$O!9#
ÇÊÈ y7Ï9ºs
Ü=»tGÅ6ø9$#
w
|=÷u
¡
ÏmÏù
¡
Wèd
z`É)FßJù=Ïj9
ÇËÈ
“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa,”
Ayat di
atas menunjukkan bahwa tiada keraguan di
dalam Al Qur’an yang telah diturunkan beberapa abad yang lalu. Dari ayat di
atas dapat diketahui bahwa orang-orang yang ragu akan kebenaran Al Qur’an
berarti salah satu syarat taqwa belum tercapai.
Al Quran
adalah wahyu yang benar-benar diturunkan oleh Allah swt kepada NabiNya Muhammad
saw. Karena itu pembahasan tentang wahyu dan al Quran tidak pernah usang,
sebaliknya selalu menjadi kajian hangat untuk menjawab setiap orang yang ragu
akan kebenaran al quran.
Bahkan
Allah swt menantang siapapun yang ragu kepada al Quran:
bÎ)ur
öNçFZà2
Îû
5=÷u
$£JÏiB
$uZø9¨tR
4n?tã
$tRÏö7tã
(#qè?ù'sù
;ouqÝ¡Î/
`ÏiB
¾Ï&Î#÷VÏiB
(#qãã÷$#ur
Nä.uä!#yygä©
`ÏiB
Èbrß
«!$#
cÎ)
öNçFZä.
tûüÏ%Ï»|¹
ÇËÌÈ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja)
yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika
kamu orang-orang yang benar. (QS. Al Baqarah [2]: 23)
Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan
tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan
semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
Jika
dicoba untuk mensinkronkan kedua hal di atas, maka dapat ditarik benang merah,
yaitu sebagai seorang muslim diwajibkan untuk mempercayai kebenaran Al Qur’an,
karena Al Qur’an memang benar dan dapat dibuktikan kebenarannya. Namun untuk
membuktikan kebenaran memerlukan ilmu-ilmu pendukung, di antarnya adalah nasikh
mansukh, asbabun nuzul dan lain sebagainya yang terkumpul dalam ulum Al Qur’an.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pengertian wahyu ?
2. Bagaimana kedudukan wahyu ?
3. Bagaimana pengertian al Quran ?
4. Bagaimana garis-garis besar isi
kandungan Al Qur’an ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian wahyu.
2. Mengetahui kedudukan wahyu.
3. Mengetahui pengertian al Quran
4. Mengetahui garis-garis besar isi
kandungan al Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wahyu
Al-Quran
berbicara lebih banyak tentang wahyu, yang menurunkan dan yang membawanya, dan
bahkan tentang kualitas wahyu, daripada kitab-kitab samawi yang lain seperti
Taurat dan Injil. Sehingga di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang
membicarakan tentang pewahyuan itu sendiri. Mengenai wahyu Al-Quran, mayoritas
kaum Muslimin mempercayai bahwa AlQuran dengan lafalnya adalah firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan perantaraan seorang malaikat
yang dekat dengan-Nya. Malaikat yang menjadi perantara itu, yang disebut
Jibril dan ar-Ruhul Amin, datang membawa firman Allah kepada Rasulullah dalam
berbagai waktu yang berbeda selama dua puluh tiga tahun. Rasul pun membacakan
ayat-ayat itu kepada manusia, dan memberitahukan makna-maknanya kepada mereka,
serta mengajak mereka untuk menerima akidah, tata sosial, hukum-hukum dan
tugas-tugas perseorangan yang terungkap dalam Al-Quran.[1]
Allah
swt berfirman dalam Al Qur’an surat al Syuuro (42) ayat 51 sebagai berikut:
* $tBur tb%x. A|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ã ª!$# wÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& @Åöã Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOÅ6ym ÇÎÊÈ
“Dan
tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”
Kalau
dipahami lebih dalam, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah berkomunikasi dengan
manusia melalui tiga cara, yaitu dengan perantaraan wahyu, langsung bertemu
dengan utusannya sebagaimana ketika nabi Muhammad SAW isra’ mi’ raj, mengirim
utusan sebagaimana ketika nabi Muhammad ketika menerima wahyu yang pertama
kali.
pengertian wahyu jika
dilihat dari beberapa ayat Al
Qur’an adalah :[2]
1.
Isyarat
yltsmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍkös9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia
memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan
petang(QS Maryam : 11)
Ayat
di atas menceritakan tentang nabi Zakariya yang banyak menghabiskan waktunya di
dalam mihrab untuk beribadah. Pada suatu saat beliau keluar dari mihrob untuk
mewahyukan kepada kaumnya agar mereka bertasbih di waktu pagi dan petang.
Menururt
Prof. Dr. Abd al Mun’im Al Namr kata فَأَوْحَى di
atas diartikan sebagai isyarat, karena tidak mungkin nabi Zakariya member wahyu
kepada umatnya sebagaimana Allah kepada hambanya.
2.
Bisikan
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqã öNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4
öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù (
öNèdöxsù $tBur crçtIøÿt ÇÊÊËÈ
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi
itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka
ada-adakan.”( Al An’am : 112)
Dari
ayat di atas, bila diartikan sebagai mewahyukan maka tidak mungkin, karena
impossible jika setan memberikan wahyu. Maka wahyu di atas diartikan sebagai
bisiskan.
3.
Insting
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉϪB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷èt ÇÏÑÈ
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia". ( QS. Al Nahl : 68)
Dari
ayat di atas, dappat dipahami bahwa tidak mungkin lebah menerima wahyu dari
allah, karena kehidupan lebah yang mengambil tanah dari pegunungan untuk
dijadikan rumah-rumah itu adalah instink dari Allah.
4.
Ilham
!$uZøym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ( #sÎ*sù ÏMøÿÅz Ïmøn=tã ÏmÉ)ø9r'sù Îû ÉdOuø9$# wur Îû$srB wur þÎTtøtrB ( $¯RÎ) çnr!#u Å7øs9Î) çnqè=Ïæ%y`ur ÆÏB úüÎ=yößJø9$# ÇÐÈ
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah
Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai
(Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah
seorang) dari Para rasul. (Al Qoshos: 7)
Kata
auha di atas tidak dapat diartikan bahwa allah memeberikan wahyu kepada ibu
Musa, karena bukan sorang nabi, sehingga dapat diartikan sebagai ilham.
Dari
berbagai ayat di atas dapat diambil benang merah bahwa wahyu adalah isyarat,
bisikan, insting, ilham dari Allah terhadap hamba yang telah dipilihnya yang
selanjutnya disebut sebagai Nabi atau Rosul.
B. Macam –
macam wahyu
Wahyu oleh
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang sangat
besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah Allah
memberikan titahNya kepada manusia terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthalib.
Wahyu,
secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara
syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para
rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka,
baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih
khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya,
sasarannya maupun isinya.
Ada
bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan
berikut. [3]
1. Taklimullah (Allah Azza wa Jalla
berbicara langsung) kepada Nabi-Nya dari belakang hijab.
Yaitu Allah SWT menyampaikan apa
yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan
tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan
terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan
Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :
WxßzN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
Dan Allah telah berbicara kepada Musa
dengan langsung" (an Nisaa`[4] : 164).
Adapun contoh ketika dalam keadaan
tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu'adz
bin Jabal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “Aku
didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman :
"Wahai, Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik wa
sa'daika." Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para
malaikat itu?" Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu,"
lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di
dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan
barat. Allah Azza wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!" Aku
menjawab,"Labbaik wa sa'daika!" Dia berfirman,"Apa yang
diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku
menjawab,"………".
Dalam hal wahyu ini, para ulama
salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa
Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah
mendengar kalamullah al azaliy al qadim, yang merupakan salah satu sifat di
antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang
dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau
suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.
2. Allah Azza wa Jalla menyampaikan
risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara,
yaitu :
a.
Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara
seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat
Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa
vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini
disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dimi'rajkan.
b.
Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud
seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang
tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali
tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua
sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi
mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam
hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan
ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits
ini, 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu menceritakan:
“Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian
sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat tanda-tanda melakukan
perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara kami yang
mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu
'anhu :
"Wahai, 'Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang
bertanya tadi?" Aku menjawab,"Allah dan RasulNya yang lebih
mengetahui," (kemudian) Rasulullah bersabda,"Dia itu adalah Malaikat
Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian din (agama)
kalian."
Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
c.
Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui
kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti
suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima
wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah.
Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berubah secara mendadak.
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur"
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur"
3. Wahyu disampaikan dengan cara
dibisikkan ke dalam kalbu.
Yaitu
Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak
disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai
pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah,
serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril)
meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah
Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada
Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki
membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada
Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa
diraih, kecuali dengan mentaatiNya".
4.
Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk
ilham.
Yaitu
Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau
berijtihad pada suatu masalah.
5.
Wahyu diturunkan melalui mimpi.
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang
memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh,
yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih
anaknya.
Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang
diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu
ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima
tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa,
apalagi tipu daya setan.
C. Perbedaan
Wahyu, Ilham, dan Ta’lim
Ketiga istilah
ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang
bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi
orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul;
sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat
sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah
“menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya
mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah
agama”. Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalamKitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan,
bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara
pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya
seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.
Dalam pengertian ini hampir sama
dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola
tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu;
tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan
khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi
atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud
menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan
instink Kematian (Tahanatos)”.
Dua macam instink (ilham) yang
terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan
Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams[91]: 8
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Artinya : “Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya.”
Dua macam instink yang disebutkan
dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur)
dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua
macam ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi
untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka
aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk
mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia
memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur),
maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah
dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian
pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/ diaktualkan, maka
jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan
Allah.
Dari pengertian ini dapat
disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim)
terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas
kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui
usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli
tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.[4]
D.
Pengertian Al Qur’an
1. Etimologi
Nama Al
Qur’an muncul bukan hasil dari pemikiran manusia, namun nama Al Qur’an sendiri
itu muncul di dalam kitab itu sendiri. Berawal dari pemikiran itulah muncul
sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an bukanlah hasil definisi dari
sebuah kata, namun Al Qur’an adalah sebuah isim alam yang diiberikan Allah
kepada kitab suci ini. Diantaranya adalah pendapat dari imam Syafi’i yang
merasa tidak perlu mengupas asal usul pemberian nama ini, karena Allahlah yang
memang memberi nama demikian, sama saja ketika Allah member nama Taurat dan
Injil kepada nabi Musa dan nabi Isa AS.[5]
Namun,
beda ulama beda pendapat, beberapa ulama juga ada yang mengartikan bahwa Al
Qur’an adalah hasil dari definisi sebuah kata, mereka berusaha menggali makna
dan asal usul kata Al Qur’an, diantaranya adalah:
Al-zarkasi
dalam kitab Al-Burhan fi Ulumil Quran berpendapat ahwa yang mengatakan Al
Qur’an berasal dari kata “al qoryu” yang berarti “al-jam’u” atau “kumpulan”.
Pengertian ini diangkat dari kebiasaan orang arab yang sering biasa mengucapkan
kalimat “aku mengumpulkan air dalam kolam”. Alasannya, menurut al Roghib,
karena Al Qur’an merupakan kumpulan buah kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya. Alasan lainnya, karena Al Qur’an menghimpun berbgai macam ilmu. Ini
berarti, sejalan dengan keterangan Allah di dalam surah Al An’am ayat 38 yang
mengatakan
4 $¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
“Tiadalah
kami tidak mengalpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab”.
Golongan
Mutaakhirin, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”
yang berarti dan yang bila diindonesiakan menjadi tampak, jelas atau gambling.
Alasannya, karena orang yang membaca Al Qur’an berarti ia menampakkan dan
mengeluarkan Al Qur’an.
Al
Qurthuby, ,menurut beliau kitab suci agam Islam ini disbbut Qur’an (tanpa
hamzah). Karena diangkat dari kata qoro’in yang berarti partner. Alasannya
antara satu ayat dan ayat lainnya merupakan partner yang saling mendukung dan
saling membenarkan.
2. Terminology
Definisi
secara terminology juga banyak pendapat yang mendefinisikannya, salah satu
pendapat yang disepakati ulama dari ahi ushul adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW, penutup para nabi dan Rasul dengan perantaraan malaikat
Jibril AS dimulai dengan surat al Fatihah dan diskhhiri dengan surat Al Nash
dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir
serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6]
Dari
pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Al Qur’an merupakan sebuah
metode penurunan wahyu yang lafal dan maknanya berasal dari Allah, karena
ketika malaikat Jibril memberikan sebuah ayat Al Qur’an sudah dalam bentuk
kata-kata sebagaimana yang disampaikan oleh para sahabatnya.
E.
Nama-nama Al Qur’an
Selain
nama al Quran yang sering disebutkan dalam kitab tersebut sebagaimana yang
sering dikenal oleh mayoritas muslim, masih ada beberapa nama yang juga
dirujukkan kepada al quran. Menurut Al Qodhi Abu al Ma’aly ‘Aziziy bin Abdul
Malik mengatakan Al Quran memiliki 55 buah nama, diantaranya adalah:
1. Al-Kitab ( الْكِتَابُ)
Sebagaimana surat
Al-Dukhon ayat 1 dan 2 yang berbunyi
الْمُبِينِ وَالْكِتَابِ
“Demi kitab (AlQuran) yang menjelaskan”
2. Al Qur’an (الْقُرْآنِ )
وَحْيُهُ إِلَيْكَ يُقْضَى أَنْ قَبْلِ مِنْ
الْقُرْآنِبِتَعْجَلْ وَلا
عِلْمً زِدْنِي رَبِّ وَقُلْ
“Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al
Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
3. Kalam (هاللَّكَلامَ )
يَسْمَعَ حَتَّى فَأَجِرْهُ اسْتَجَارَكَ
الْمُشْرِكِينَ مِنَ حَدٌ أَ وَإِنْ
يَعْلَمُونَ ال قَوْمٌ بِأَنَّهُمْ ذَلِكَ
مَأْمَنَهُ أَبْلِغْهُ ثُمَّ هاللَّكَلامَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang
musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia
sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”
4. Al Furqon ( الْفُرْقَانَ )
نَذِيرًا لِلْعَالَمِينَ لِيَكُونَ عَبْدِهِ عَلَى
الْفُرْقَانَ نَزَّلَ لَّذِي ا تَبَارَكَ
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam,”
5. Al Dzikro (ذِكْرٌ )
مُنْكِرُونَ لَهُ أَفَأَنْتُمْ أَنْزَلْنَاهُ
مُبَارَكٌ ذِكْرٌ وَهَذَا
“Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab
(peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah
kamu mengingkarinya?” [7]
F. Garis-garis besar isi kandungan Al Qur’an
Secara
garis besar, kandungan ayat-ayat al Quran dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu
1.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan keimanan, baik
iman kepada Allah, malaikat, kitab kitab Allah, rosul-rosul Allah dan hari
akhir. Atau dapat dikatakan kandungan yang pertama adalah pembahasan ilmu kalam
(tauhid) dan ushul Al –dien.
2.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan
pekerjaan-pekerjaan hati, seperti mengnajurkan bberakhlak mulia. Atau dapat
dikatakan kandungan yang kedua adalah pembahasan akhlak.
3.
Ayat-ayat yang berhubungnan dengan pekerjaan
anggota badan seperti perintah-perintah, larangan-larangan, pilihan-pilihan.
Atau dapat dikatakan kandungan yang ketiga adalah pembahasan fiqih. [8]
G. Posisi
al Quran
Muhammad Husain
Thabathaba'i [9]
menyebutkan tiga posisi al Quran yaitu sebagai undang-undang paling utama dalam
kehidupan, menentukan jalan hidup manusia, dan sebagai sandaran kenabian.
Berikut ini penjelasannya.
1.
Al Quran sebagai undang-undang paling utama dalam kehidupan
Agama Islam, yang
mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang
menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui
dasardasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber
utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang
mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan
perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah
berfirman,
"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada
jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)
"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)
Adalah amat
jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok
akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan.
Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup
luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang
pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas
kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.
Pertama, dalam hidupnya
manusia hanya menuju kepada kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian
cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara
warnawama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia
berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan dan lain-lain.
Jarang kita
lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari
kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan
menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan
berpaling dari dunia, dan perbuatanperbuatan lain yang menyebabkan seseorang
kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah,
(hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya
komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh,
seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian
bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian.
Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan
mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat
bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan
demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan
yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.
Memang, jalan
yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh
jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat,
sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam
belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenaran.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa
berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan
suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat
begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang
mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya
itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain,
ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya
tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua
perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang
lain.
Sesungguhnya
makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua
perbuatan ini dan perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada
beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang
lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat baginya pada suatu saat,
dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu
bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan
yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.
Seseorang,
dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menyerupai suatu pemerintahan
lengkap, yang memiliki hukum, kebiasaan dan tata caranya sendiri. Kekuatan
aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang
perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat.
Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu masyarakat menyerupai
perbuatan individual, sehingga padanya berlaku seperangkat hukum dan tata cara
yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka
anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.
Memang, corak
masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya,
berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya
berlaku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak
bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan
masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu
liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan
hukumhukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan
oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.
Kalau begitu,
maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus
memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia
harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu
yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri
menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,
"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya
sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam
kebaikan." (QS 2: 148)
Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan
Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir -
sampaisampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun – pasti memiliki
suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukumhukum tertentu dalam
perbuatan-perbuatannya, dan hukumhukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu,
atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama
Allah, Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang menghalangi
manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok.
" (QS 7:45)1)
Ketiga, jalan hidup
terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan
berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.
Apabila kita
mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki
tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu
melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk
mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang
bernyawa maupun yang tidak.
Sebagai contoh
adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletakkan dalam tanah, ia berjalan
dalam proses penyempurnaan. Menghijau dan tumbuh sampai terbentuknya
bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan
sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam
proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam
tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar tertentu: Lalu ia merekah,
menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk
yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir
terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di
bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan
yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan
kita ketahui bahwa pohon itu juga berjalan menuju suatu tujuan tertentu sejak
hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat
tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam
perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditempuh olch gandum,
sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses
sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu
mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk
selama-lamanya.
Semua yang
kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak
ada bukti pasti bahwa manusia menyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan
alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk
mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti
terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan
tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan
sarana-sarana untuk mencapainya.
Jadi, fitrah
manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya -
menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum
terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah berfirman:
"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat
yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk'." (QS 20:50)
"Yang menciptakan dan menyempurnakan
(penciptaan)Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)
"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian
Allah memberitahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang
menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)
"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)
"Sesungguhnya agama yang diterima Allah
adalah lslam. (QS 3:19)
"Barangsiapa rnencari agarna selain
lslarn, maka tidak akan diterima. " (QS 3:85)
Kesimpulan
dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang berkandungan sama, yang tidak kami
sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya -
termasuk manusia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan
diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya.
Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manusia harus terikat dengan hukum-hukum
individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara
membuta mengikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya.
Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh
menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus
dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang
ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang
lain.
Selanjutnya
manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh
tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu
pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar
bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa
nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari
kebenaran dan kemaslahatan umum.
Pembahasan di
atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum
hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum
dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menunjukkan bahwa
jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupannya adalah
yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh
sebab-sebab dan faktor-faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini
berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak
Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab
dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.
Kadang-kadang,
sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi
suatu proses, seperti peristiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari.
Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah
takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas
dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal
ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah
tasyri'iah). Allah berfirman:
"Tidak ada hukum selain milik
Allah." (QS 12:40 dan
67)
2.
Al quran menentukan jalan hidup manusia
Setelah tiga
premis di atas jelas, maka harus diketahui pula bahwa Al-Quran - di sampinq
memperhatikan tiga premis tersebut, yaitu manusia mempunyai tujuan yang harus
dicapainya dalam perjalanan hidupnya dengan usaha dan perbuatannya, dan dia
tidak mungkin mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu kecuali dengan mengikuti
hukum-hukum dan tata cara tertentu serta keharusan mempelajari hukum-hukum dan
tata cata itu dari buku fitrah dan penciptaan, yakni ajatan Allah - juga
menentukan jalan hidup bagi manusia sebagai berikut:
AI-Quran
mendasarkan jalan itu pada keimanan akan keesaan-Nya sebagai dasar pertama
agama; Al-Quran menjadikan keimanan kepada akhirat dan Hari Kiamat, yaitu hari
ketika orang yang baik dibalas karena kebaikannya dan yang jahat dibalas karena
kejahatannya, sebagai dasar-kedua agama. Hal ini pada gilirannya membawa
kepada keimanan kepada kenabian, karena perbuatan-perbuatan bisa dibalas
setelah si pelakunya mengetahui ketaatan dan maksiat, yang baik dan yang buruk.
Pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh kecuali melalui wahyu dan kenabian -
sebagaimana akan kami rinci nanti. Al-Quran menjadikan keimanan kepada
kenabian ini sebagai dasar ketiga agama.
Al-Quran
memandang ketiga dasar ini: keimanan kepada keesaan Allah, kenabian dan akhirat
sebagai dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, Al-Quran menjelaskan pokok-pokok
akhlak yang diridhai dan sifat-sifat baik yang sesuai dengan ketiga dasar
tersebut, dan setiap orang beriman harus menghiasi diri dengannya. Kemudian
AI-Quran menetapkan hukum-hukum perbuatan yang menjamin kebahagiaan hakiki
manusia dan menyuburkan akhlak yang utama dan faktor-faktor yang
mengantarkannya kepada akidah yang benar dan prinsip-prinsip pokok.
Tidak logis
bila kita beranggapan bahwa orang yang bergelimang dalam seks yang diharamkan,
mencuri, berkhianat dan curang, adalah suci. Begitu pula, tidak logis bila kita
beranggapan bahwa orang yang keterlaluan dalam mencintai harta, mengumpulkan
dan menyimpannya, dan tidak mau memenuhi hak-hak orang lain, adalah suci. Tidak
logis pula bila kita menganggap orang yang tidak menyembah Allah dan mengingat-Nya
siang dan malam, sebagai beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Dengan
demikian, akhlak yang baik maujud kuena adanya perbuatan-perbuatan baik,
sebagaimana akhlak yang baik itu ada karena akidah yang benar.
Seseorang yang
terbelenggu kesombongan, kebanggaan dan kecintaan kepada diri sendiri, tidak
mungkin mempercayai Allah dan mengakui keagungan-Nya. Dan orang yang selama
hidupnya tidak mengetahui makna keadilan, keperwiraan dan welas-asih terhadap
yang lemah, tidak akan masuk ke dalam hatinya intan kepada Hari Kiamat,
perhitungan dan balasan di akhirat. Tentang hubungan antara akidah yang benar
dengan akhlak yang diridhai, Allah berfirntan:
"Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan
yang baik, dan amal yang baik dinaikkan-Nya. " (QS 85:10)
Dan tentang
hubungan antara akidah dengan perbuatan, Allah berfirman:
"Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah azab yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayatayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS 90:10)
Kesimpulan
dari pembicaraan di atas adalah bahwa Al-Quran mengandung sumber-sumber ketiga
dasar Islam, yaitu:
a. Dasar-dasar
akidah. Ini terbagi menjadi tiga dasar agama: tauhid, kenabian dan akhirat, dan
akidah-akidah yang merupakan cabang darinya, seperti lauh mahfudh, qalam, qadha' dan qadar, malaikat, menghadap Allah, kursi, penciptaan langit
dan bumi dan lain-lain.
b. Akhlak yang
diridhai.
c. Hukum-bukum
syara' dan perbuatan yang dasar-dasarnya telah dijelaskan Al-Quran, sedangkan
penjelasan terincinya diserahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dan Nabi
menjadikan penjelasan Ahlul Bait (keluarga)-nya sama dengan penjelasan beliau,
sebagaimana diketahui dari hadits
tsaqalain yang secara mutawatir diriwayatkan baik oleh kalangan
Ahlus Sunnah maupun Syi'ah
3.
Al quran sebagai sandaran kenabian
4.
Al-Quran menegaskan di beberapa tempat bahwa ia adalah
fiirman Allah Yang Mahaagung, yang diwahyukan-Nya kepada Nabi dalam bentuk
kata-kata yang kita baca dari Al-Quran. Untuk membuktikan bahwa ia adalah
firman Allah, bukan hasil ciptaan manusia, dalam beberapa ayat, AI-Quran
menantang semua manusia untuk mendatangkan apa pun yang menyamai Al-Quran
walaupun satu ayat. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu berkekuatan mukjizati,
yang tak seorangpun sanggup mendatangkan yang semisalnya. Allah berfirman:
"Atau
mereka mengatakan: 'Muhammad membuat-buatnya.' Sesungguhnya mereka tidak
beriman." (QS 52:33)
"Atau
mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membuat-buatnya? Katakanlah:
'Datangkanlah sebuah surat yang menyamai Al-Quran. “ (QS 10:38)
"Apabila
kamu meragukan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka
datangkanlah sebuah surat yang menyamainya." (QS 2:23)
Untuk menantang mereka tentang tiadanya pertentangan
dalam Al-Quran, Allah berfirman:
"Tidakkah
mereka itu memikirkan Al-Quran? Seandainya AlQuran itu tidak dari Allah, maka
mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)
Dengan
tantangan-tantangannya ini Al-Quran menegaskan bahwa ia merupakan firman Allah, dan
menjelaskan dalam banyak ayatnya bahwa Muhammad adalah seorang Rasul dan Nabi
yang diutus Allah. Dengan demikian, Al-Quran merupakan sandaran bagi kenabian
dan menopang pernyataan Nabi. Dari itu, Nabi diperintahkan untuk bertumpu pada
kesaksian Allah tentang hal itu, yakni penegasan AI-Quran terhadap kenabiannya.
Al-Quran mengatakan:
Katakanlah: "Cukuplah Allah yang menjadi saksi antara aku dan kamu. “ (QS 13:43)
Di tempat lain
Al-Quran mengungkapkan kesaksian malaikat, selain kesaksian Allah, tentang
kenabiannya itu. Ia mengatakan:
"Tetapi
Allah menyaksikan apa yang diturunkan-Nya kepadamu. Dia menurunkannya dengan
ilmu-Nya, dan para malaikat menyaksikan. Cukuplah Allah yang menjadi
saksi." (QS 4:166)
BAB III
KESIMPULAN
1.
Wahyu adalah isyarat, bisikan, insting, ilham
dari Allah terhadap hamba yang telah dipilihnya yang selanjutnya disebut
sebagai Nabi atau Rosul.
2.
Macam-macam wahyu berdasarkan cara turunnya :
a. Taklimulloh
b. Malaikat Jibril
c. Bisikan dalam hati
d. Ilham
e. Mimpi
3. Perbedaan antara wahyu, ilham dan
ta’lim. Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama
menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah,
wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah,
yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh
Allah kepada semua manusia.
4. Al Qur’an merupakan sebuah metode
penurunan wahyu yang lafal dan maknanya berasal dari Allah, karena ketika
malaikat Jibril memberikan sebuah ayat Al Qur’an sudah dalam bentuk kata-kata
sebagaimana yang disampaikan oleh para sahabatnya.
5. Selain nama al Quran yang sering
disebutkan dalam kitab tersebut sebagaimana yang sering dikenal oleh mayoritas
muslim, masih ada beberapa nama yang juga dirujukkan kepada al quran. Menurut
Al Qodhi Abu al Ma’aly ‘Aziziy bin Abdul Malik mengatakan Al Quran memiliki 55
buah nama, diantaranya adalah: al kitab, quran, kalam, adzikro, al furqan.
6.
tiga posisi al
Quran yaitu sebagai undang-undang paling utama dalam kehidupan, menentukan
jalan hidup manusia, dan sebagai sandaran kenabian.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuuny Muhammad ali, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung : CV
Pustaka Setia
Badruddin Imam, m. Abdullah al
zarkasy, Al Burhan fi Ulum Al Quran, Lebanon
: Dar Al Ma’rifah. Jilid 1,
Djalal, Abdul H.A, Ulumul Qur’an,(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Kad Muhammad ali Ash-Shabuuny, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung : CV
Pustaka Setia.
Khallaf Abd. Al Wahab, Ilmu Ushul fiqih, Semarang : Dina Utama,1994.
Marzuki Kamaluddin, Ulumul Quran, Bandung : PT Remaja Rosda
Karya, 1994
Thabathaba'i, Muhammad Husain, Al-Qur'an fi
Al-Islam, terj. Malik Madaniy Bandung: Mizan, 1997
[1] Muhammad Husain Thabathaba'i, Al-Qur'an fi Al-Islam, terj. Malik Madaniy
(Bandung: Mizan, 1997). 56
[2] Kamaluddin Marzuki, Ulumul Quran, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1994). 12-17
[3]
Djalal, Abdul H.A,
Ulumul Qur’an,(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000). 30-35
[4]
http://himitsuqalbu.wordpress.com/alqurandanwahyu,
diakses 18 Oktober 2012
[5] Marzuki, Ulumul …... 12
[7] Imam badruddin, m. Abdullah al zarkasy, Al Burhan fi Ulum Al Quran,( Lebanon :
Dar Al Ma’rifah. Jilid )1, 273
[9]
Thabathaba'i, Al-Qur'an...... 4 - 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar