ahmadnursanto

Kamis, 13 Juni 2013

wahyu dan al Quran

WAHYU DAN AL QURAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Al Qur’an  yang telah diturunnkan beberapa abad yang lalu, tepatnya pada tahun ke-40 dari lahirnya nabi Muhammad SAW ternyata masih menimbulkan banyak kontroversi. Masih relevankah Al Qur’an?. Pertanyaan seperti ini masih sering didengarkan sebagai wujud keraguan yang mulai muncul sehubungan dengan relevansinya Al Qur’an pada zaman sekarang. Muncul pula pemikiran-pemikiran sesat yang berusaha mempertanyakan keotentikan alquran sebagai kalam Ilahi yang diturunkan kepada Muhamad saw.
Kalau dahulu di jaman Rasaulullah saw, pertanyaan seperti itu muncul karena mereka tidak percaya bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada Muhammad saw dan pertanyaan tentang keotentikan al Quran hanya diucapkan oleh orang-orang kafir saja. Tetapi sekarang ini justru pertanyaan tentang relevansi dan otentitas al Quran mulai banyak bermunculan dari golongan tertentu yang seringkali berlabel kaum cendekiawan muslim. Ironis memang jika seseorang yang bergelar seperti itu justru mempertanyakan keabsahan kitab sucinya sendiri. Padahal disisi lain banyak orang non muslim yang menjadi mu’alaf justru karena terpesona dengan keagungan al Quran.
Namun Allah, sebagai ashabul qoil berfirman di awal surat al Baqoroh :
$O!9# ÇÊÈ   y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
 “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,”
Ayat di atas menunjukkan bahwa  tiada keraguan di dalam Al Qur’an yang telah diturunkan beberapa abad yang lalu. Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa orang-orang yang ragu akan kebenaran Al Qur’an berarti salah satu syarat taqwa belum tercapai.
Al Quran adalah wahyu yang benar-benar diturunkan oleh Allah swt kepada NabiNya Muhammad saw. Karena itu pembahasan tentang wahyu dan al Quran tidak pernah usang, sebaliknya selalu menjadi kajian hangat untuk menjawab setiap orang yang ragu akan kebenaran al quran.
Bahkan Allah swt menantang siapapun yang ragu kepada al Quran:
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ  
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al Baqarah [2]: 23)
Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
Jika dicoba untuk mensinkronkan kedua hal di atas, maka dapat ditarik benang merah, yaitu sebagai seorang muslim diwajibkan untuk mempercayai kebenaran Al Qur’an, karena Al Qur’an memang benar dan dapat dibuktikan kebenarannya. Namun untuk membuktikan kebenaran memerlukan ilmu-ilmu pendukung, di antarnya adalah nasikh mansukh, asbabun nuzul dan lain sebagainya yang terkumpul dalam ulum Al Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian wahyu ?
2.      Bagaimana kedudukan wahyu ?
3.      Bagaimana pengertian al Quran ?
4.      Bagaimana garis-garis besar isi kandungan Al Qur’an ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian wahyu.
2.      Mengetahui kedudukan wahyu.
3.      Mengetahui pengertian al Quran
4.      Mengetahui garis-garis besar isi kandungan al Quran.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wahyu
Al-Quran berbicara lebih banyak tentang wahyu, yang me­nurunkan dan yang membawanya, dan bahkan tentang kualitas wahyu, daripada kitab-kitab samawi yang lain seperti Taurat dan Injil. Sehingga di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang membicarakan tentang pewahyuan itu sendiri. Mengenai wahyu Al-Quran, mayoritas kaum Muslimin mempercayai bahwa Al­Quran dengan lafalnya adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan perantaraan seorang malaikat yang dekat dengan-Nya. Malaikat yang menjadi pe­rantara itu, yang disebut Jibril dan ar-Ruhul Amin, datang mem­bawa firman Allah kepada Rasulullah dalam berbagai waktu yang berbeda selama dua puluh tiga tahun. Rasul pun membacakan ayat-ayat itu kepada manusia, dan memberitahukan makna-makna­nya kepada mereka, serta mengajak mereka untuk menerima akidah, tata sosial, hukum-hukum dan tugas-tugas perseorangan yang terungkap dalam Al-Quran.[1]
Allah swt berfirman dalam Al Qur’an surat al Syuuro (42) ayat 51 sebagai berikut:
* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ  
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”
Kalau dipahami lebih dalam, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah berkomunikasi dengan manusia melalui tiga cara, yaitu dengan perantaraan wahyu, langsung bertemu dengan utusannya sebagaimana ketika nabi Muhammad SAW isra’ mi’ raj, mengirim utusan sebagaimana ketika nabi Muhammad ketika menerima wahyu yang pertama kali.
pengertian wahyu jika dilihat dari beberapa ayat Al Qur’an adalah :[2]
1.       Isyarat
yltsƒmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍköŽs9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ  
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang(QS Maryam : 11)
Ayat di atas menceritakan tentang nabi Zakariya yang banyak menghabiskan waktunya di dalam mihrab untuk beribadah. Pada suatu saat beliau keluar dari mihrob untuk mewahyukan kepada kaumnya agar mereka bertasbih di waktu pagi dan petang.
Menururt Prof. Dr. Abd al Mun’im Al Namr kata فَأَوْحَى di atas diartikan sebagai isyarat, karena tidak mungkin nabi Zakariya member wahyu kepada umatnya sebagaimana Allah kepada hambanya.
2.      Bisikan
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqムöNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4 öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù ( öNèdöxsù $tBur šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÊËÈ  
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”( Al An’am : 112)
Dari ayat di atas, bila diartikan sebagai mewahyukan maka tidak mungkin, karena impossible jika setan memberikan wahyu. Maka wahyu di atas diartikan sebagai bisiskan.
3.      Insting
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ  
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". ( QS. Al Nahl : 68)
Dari ayat di atas, dappat dipahami bahwa tidak mungkin lebah menerima wahyu dari allah, karena kehidupan lebah yang mengambil tanah dari pegunungan untuk dijadikan rumah-rumah itu adalah instink dari Allah.
4.      Ilham
!$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ( #sŒÎ*sù ÏMøÿÅz Ïmøn=tã ÏmŠÉ)ø9r'sù Îû ÉdOuŠø9$# Ÿwur Îû$sƒrB Ÿwur þÎTtøtrB ( $¯RÎ) çnrŠ!#u Å7øs9Î) çnqè=Ïæ%y`ur šÆÏB šúüÎ=yößJø9$# ÇÐÈ  
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul. (Al Qoshos: 7)
Kata auha di atas tidak dapat diartikan bahwa allah memeberikan wahyu kepada ibu Musa, karena bukan sorang nabi, sehingga dapat diartikan sebagai ilham.
Dari berbagai ayat di atas dapat diambil benang merah bahwa wahyu adalah isyarat, bisikan, insting, ilham dari Allah terhadap hamba yang telah dipilihnya yang selanjutnya disebut sebagai Nabi atau Rosul.

B.     Macam – macam wahyu
Wahyu oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang sangat besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah Allah memberikan titahNya kepada manusia terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.
Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan berikut. [3]
1.      Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada Nabi-Nya dari belakang hijab.
Yaitu Allah SWT menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :
WxßzN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ  
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" (an Nisaa`[4] : 164).
Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “Aku didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman : "Wahai, Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika." Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat. Allah Azza wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika!" Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku menjawab,"………". 
Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim, yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.
2.      Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
a.       Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan. 
b.      Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu menceritakan:
      “Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu 'anhu :
"Wahai, 'Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang bertanya tadi?" Aku menjawab,"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui," (kemudian) Rasulullah bersabda,"Dia itu adalah Malaikat Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian din (agama) kalian." 
      Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
c.       Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara mendadak.
      Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur"
3.      Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu.
Yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatiNya".

4.      Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ilham. 
Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
5.      Wahyu diturunkan melalui mimpi. 
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya.
Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
C.    Perbedaan Wahyu, Ilham, dan Ta’lim
        Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”. Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalamKitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.
Dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.
Dua macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams[91]: 8
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ  
Artinya : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya.”
Dua macam instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur) dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua macam ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/ diaktualkan, maka jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan Allah.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.[4]
D.    Pengertian Al Qur’an
1.      Etimologi
Nama Al Qur’an muncul bukan hasil dari pemikiran manusia, namun nama Al Qur’an sendiri itu muncul di dalam kitab itu sendiri. Berawal dari pemikiran itulah muncul sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an bukanlah hasil definisi dari sebuah kata, namun Al Qur’an adalah sebuah isim alam yang diiberikan Allah kepada kitab suci ini. Diantaranya adalah pendapat dari imam Syafi’i yang merasa tidak perlu mengupas asal usul pemberian nama ini, karena Allahlah yang memang memberi nama demikian, sama saja ketika Allah member nama Taurat dan Injil kepada nabi Musa dan nabi Isa AS.[5]
Namun, beda ulama beda pendapat, beberapa ulama juga ada yang mengartikan bahwa Al Qur’an adalah hasil dari definisi sebuah kata, mereka berusaha menggali makna dan asal usul kata Al Qur’an, diantaranya adalah:
Al-zarkasi dalam kitab Al-Burhan fi Ulumil Quran berpendapat ahwa yang mengatakan Al Qur’an berasal dari kata “al qoryu” yang berarti “al-jam’u” atau “kumpulan”. Pengertian ini diangkat dari kebiasaan orang arab yang sering biasa mengucapkan kalimat “aku mengumpulkan air dalam kolam”. Alasannya, menurut al Roghib, karena Al Qur’an merupakan kumpulan buah kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Alasan lainnya, karena Al Qur’an menghimpun berbgai macam ilmu. Ini berarti, sejalan dengan keterangan Allah di dalam surah Al An’am ayat 38 yang mengatakan
4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Tiadalah kami tidak mengalpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab”.
Golongan Mutaakhirin, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a” yang berarti dan yang bila diindonesiakan menjadi tampak, jelas atau gambling. Alasannya, karena orang yang membaca Al Qur’an berarti ia menampakkan dan mengeluarkan Al Qur’an.
Al Qurthuby, ,menurut beliau kitab suci agam Islam ini disbbut Qur’an (tanpa hamzah). Karena diangkat dari kata qoro’in yang berarti partner. Alasannya antara satu ayat dan ayat lainnya merupakan partner yang saling mendukung dan saling membenarkan.
2.      Terminology
Definisi secara terminology juga banyak pendapat yang mendefinisikannya, salah satu pendapat yang disepakati ulama dari ahi ushul adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, penutup para nabi dan Rasul dengan perantaraan malaikat Jibril AS dimulai dengan surat al Fatihah dan diskhhiri dengan surat Al Nash dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6]
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Al Qur’an merupakan sebuah metode penurunan wahyu yang lafal dan maknanya berasal dari Allah, karena ketika malaikat Jibril memberikan sebuah ayat Al Qur’an sudah dalam bentuk kata-kata sebagaimana yang disampaikan oleh para sahabatnya.
E.     Nama-nama Al Qur’an
Selain nama al Quran yang sering disebutkan dalam kitab tersebut sebagaimana yang sering dikenal oleh mayoritas muslim, masih ada beberapa nama yang juga dirujukkan kepada al quran. Menurut Al Qodhi Abu al Ma’aly ‘Aziziy bin Abdul Malik mengatakan Al Quran memiliki 55 buah nama, diantaranya adalah:
1.      Al-Kitab ( الْكِتَابُ)
Sebagaimana surat Al-Dukhon ayat 1 dan 2 yang berbunyi
الْمُبِينِ وَالْكِتَابِ
Demi kitab (AlQuran) yang menjelaskan”
2.      Al Qur’an  (الْقُرْآنِ )
وَحْيُهُ إِلَيْكَ يُقْضَى أَنْ قَبْلِ مِنْ الْقُرْآنِبِتَعْجَلْ وَلا
عِلْمً زِدْنِي رَبِّ وَقُلْ
“Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
3.      Kalam  (هاللَّكَلامَ )
يَسْمَعَ حَتَّى فَأَجِرْهُ اسْتَجَارَكَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ حَدٌ أَ وَإِنْ
يَعْلَمُونَ ال قَوْمٌ بِأَنَّهُمْ ذَلِكَ مَأْمَنَهُ أَبْلِغْهُ ثُمَّ هاللَّكَلامَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”
4.      Al Furqon ( الْفُرْقَانَ )
نَذِيرًا لِلْعَالَمِينَ لِيَكُونَ عَبْدِهِ عَلَى الْفُرْقَانَ نَزَّلَ لَّذِي ا تَبَارَكَ
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,”
5.      Al Dzikro  (ذِكْرٌ )
مُنْكِرُونَ لَهُ أَفَأَنْتُمْ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ ذِكْرٌ وَهَذَا
“Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” [7]
F.     Garis-garis besar isi kandungan Al Qur’an
Secara garis besar, kandungan ayat-ayat al Quran dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
1.      Ayat-ayat yang berhubungan dengan keimanan, baik iman kepada Allah, malaikat, kitab kitab Allah, rosul-rosul Allah dan hari akhir. Atau dapat dikatakan kandungan yang pertama adalah pembahasan ilmu kalam (tauhid) dan ushul Al –dien.
2.      Ayat-ayat yang berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan hati, seperti mengnajurkan bberakhlak mulia. Atau dapat dikatakan kandungan yang kedua adalah pembahasan akhlak.
3.      Ayat-ayat yang berhubungnan dengan pekerjaan anggota badan seperti perintah-perintah, larangan-larangan, pilihan-pilihan. Atau dapat dikatakan kandungan yang ketiga adalah pembahasan fiqih. [8]
G.    Posisi al Quran
Muhammad Husain Thabathaba'i [9] menyebutkan tiga posisi al Quran yaitu sebagai undang-undang paling utama dalam kehidupan, menentukan jalan hidup manusia, dan sebagai sandaran kenabian. Berikut ini penjelasannya.
1.      Al Quran sebagai undang-undang paling utama dalam kehidupan
Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar­dasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman,
"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)
"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)
Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan. Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.
Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada ke­bahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara warna­wama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesen­tosaan dan lain-lain.
Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatan­perbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.
Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenar­an.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senan­tiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk meme­nuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.
Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuat­an-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat bagi­nya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.
Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menye­rupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasa­an dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu ma­syarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya ber­laku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.
Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya ber­laku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukum­hukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.
Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,
"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)
Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir - sampai­sampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun – pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukum­hukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukum­hukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)
Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.
Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.
Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletak­kan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Meng­hijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar ter­tentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga ber­jalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditem­puh olch gandum, sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.
Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia me­nyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.
Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah ber­firman:
"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi­nya petunjuk'." (QS 20:50)
"Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)­Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)
"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah mem­beritahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)
"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)
"Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam. (QS 3:19)
"Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan di­terima. " (QS 3:85)
Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang ber­kandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manu­sia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manu­sia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta meng­ikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.
Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.
Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menun­jukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manu­sia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-­faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.
Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peris­tiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:
"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)
2.      Al quran menentukan jalan hidup manusia
Setelah tiga premis di atas jelas, maka harus diketahui pula bahwa Al-Quran - di sampinq memperhatikan tiga premis tersebut, yaitu manusia mempunyai tujuan yang harus dicapainya dalam perjalanan hidupnya dengan usaha dan perbuatannya, dan dia tidak mungkin mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu kecuali dengan mengikuti hukum-hukum dan tata cara tertentu serta keharusan mempelajari hukum-hukum dan tata cata itu dari buku fitrah dan penciptaan, yakni ajatan Allah - juga menentu­kan jalan hidup bagi manusia sebagai berikut:
AI-Quran mendasarkan jalan itu pada keimanan akan keesaan-­Nya sebagai dasar pertama agama; Al-Quran menjadikan keimanan kepada akhirat dan Hari Kiamat, yaitu hari ketika orang yang baik dibalas karena kebaikannya dan yang jahat dibalas karena kejahat­annya, sebagai dasar-kedua agama. Hal ini pada gilirannya membawa kepada keimanan kepada kenabian, karena perbuatan-­perbuatan bisa dibalas setelah si pelakunya mengetahui ketaatan dan maksiat, yang baik dan yang buruk. Pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh kecuali melalui wahyu dan kenabian - sebagaimana akan kami rinci nanti. Al-Quran menjadikan ke­imanan kepada kenabian ini sebagai dasar ketiga agama.
Al-Quran memandang ketiga dasar ini: keimanan kepada keesaan Allah, kenabian dan akhirat sebagai dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akhlak yang diridhai dan sifat-sifat baik yang sesuai dengan ketiga dasar tersebut, dan setiap orang beriman harus menghiasi diri dengannya. Kemudian AI-Quran menetapkan hukum-hukum perbuatan yang menjamin kebahagiaan hakiki manusia dan menyuburkan akhlak yang utama dan faktor-faktor yang mengantarkannya kepada akidah yang benar dan prinsip-prinsip pokok.
Tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang bergelimang dalam seks yang diharamkan, mencuri, berkhianat dan curang, adalah suci. Begitu pula, tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang keterlaluan dalam mencintai harta, mengumpulkan dan menyimpannya, dan tidak mau memenuhi hak-hak orang lain, adalah suci. Tidak logis pula bila kita menganggap orang yang tidak menyembah Allah dan mengingat-Nya siang dan malam, sebagai beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Dengan demikian, akhlak yang baik maujud kuena adanya perbuatan-perbuatan baik, sebagaimana akhlak yang baik itu ada karena akidah yang benar.
Seseorang yang terbelenggu kesombongan, kebanggaan dan kecintaan kepada diri sendiri, tidak mungkin mempercayai Allah dan mengakui keagungan-Nya. Dan orang yang selama hidupnya tidak mengetahui makna keadilan, keperwiraan dan welas-asih terhadap yang lemah, tidak akan masuk ke dalam hatinya intan kepada Hari Kiamat, perhitungan dan balasan di akhirat. Tentang hubungan antara akidah yang benar dengan akhlak yang diridhai, Allah berfirntan:
"Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang baik dinaikkan-Nya. " (QS 85:10)
Dan tentang hubungan antara akidah dengan perbuatan, Allah berfirman:
"Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah azab yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat­ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS 90:10)
Kesimpulan dari pembicaraan di atas adalah bahwa Al-Quran mengandung sumber-sumber ketiga dasar Islam, yaitu:
a.       Dasar-dasar akidah. Ini terbagi menjadi tiga dasar agama: tauhid, kenabian dan akhirat, dan akidah-akidah yang merupakan cabang darinya, seperti lauh mahfudh, qalam, qadha' dan qadar, malaikat, menghadap Allah, kursi, penciptaan langit dan bumi dan lain-lain.
b.      Akhlak yang diridhai.
c.       Hukum-bukum syara' dan perbuatan yang dasar-dasarnya telah dijelaskan Al-Quran, sedangkan penjelasan terincinya diserahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dan Nabi menjadikan penjelasan Ahlul Bait (keluarga)-nya sama dengan penjelasan beliau, sebagaimana diketahui dari hadits tsaqalain yang secara mutawatir diriwayatkan baik oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah
3.      Al quran sebagai sandaran kenabian
4.                        Al-Quran menegaskan di beberapa tempat bahwa ia adalah fiirman Allah Yang Mahaagung, yang diwahyukan-Nya kepada Nabi dalam bentuk kata-kata yang kita baca dari Al-Quran. Untuk membuktikan bahwa ia adalah firman Allah, bukan hasil ciptaan manusia, dalam beberapa ayat, AI-Quran menantang semua manusia untuk mendatangkan apa pun yang menyamai Al-Quran walaupun satu ayat. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu berkekuatan mukjizati, yang tak seorangpun sanggup mendatangkan yang semisalnya. Allah berfirman:
"Atau mereka mengatakan: 'Muhammad membuat-buatnya.' Sesungguhnya mereka tidak beriman." (QS 52:33)
"Atau mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membuat-buatnya? Katakanlah: 'Datangkanlah sebuah surat yang menyamai Al-Quran. “ (QS 10:38)
"Apabila kamu meragukan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah sebuah surat yang me­nyamainya." (QS 2:23)
Untuk menantang mereka tentang tiadanya pertentangan dalam Al-Quran, Allah berfirman:
"Tidakkah mereka itu memikirkan Al-Quran? Seandainya Al­Quran itu tidak dari Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)
Dengan tantangan-tantangannya ini Al-Quran menegaskan bahwa ia merupakan firman Allah, dan menjelaskan dalam banyak ayatnya bahwa Muhammad adalah seorang Rasul dan Nabi yang diutus Allah. Dengan demikian, Al-Quran merupakan sandaran bagi kenabian dan menopang pernyataan Nabi. Dari itu, Nabi diperintahkan untuk bertumpu pada kesaksian Allah tentang hal itu, yakni penegasan AI-Quran terhadap kenabiannya. Al-Quran mengatakan:
Katakanlah: "Cukuplah Allah yang menjadi saksi antara aku dan kamu. “ (QS 13:43)
Di tempat lain Al-Quran mengungkapkan kesaksian malaikat, selain kesaksian Allah, tentang kenabiannya itu. Ia mengatakan:
"Tetapi Allah menyaksikan apa yang diturunkan-Nya kepadamu. Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat menyaksikan. Cukuplah Allah yang menjadi saksi." (QS 4:166)




BAB III
KESIMPULAN
1.      Wahyu adalah isyarat, bisikan, insting, ilham dari Allah terhadap hamba yang telah dipilihnya yang selanjutnya disebut sebagai Nabi atau Rosul.
2.       Macam-macam wahyu berdasarkan cara turunnya :
a.       Taklimulloh
b.      Malaikat Jibril
c.       Bisikan dalam hati
d.      Ilham
e.       Mimpi
3.      Perbedaan antara wahyu, ilham dan ta’lim. Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
4.      Al Qur’an merupakan sebuah metode penurunan wahyu yang lafal dan maknanya berasal dari Allah, karena ketika malaikat Jibril memberikan sebuah ayat Al Qur’an sudah dalam bentuk kata-kata sebagaimana yang disampaikan oleh para sahabatnya.
5.      Selain nama al Quran yang sering disebutkan dalam kitab tersebut sebagaimana yang sering dikenal oleh mayoritas muslim, masih ada beberapa nama yang juga dirujukkan kepada al quran. Menurut Al Qodhi Abu al Ma’aly ‘Aziziy bin Abdul Malik mengatakan Al Quran memiliki 55 buah nama, diantaranya adalah: al kitab, quran, kalam, adzikro, al furqan.
6.      tiga posisi al Quran yaitu sebagai undang-undang paling utama dalam kehidupan, menentukan jalan hidup manusia, dan sebagai sandaran kenabian.



DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shabuuny Muhammad ali, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung : CV Pustaka Setia
Badruddin Imam, m. Abdullah al zarkasy, Al Burhan fi Ulum Al Quran, Lebanon : Dar Al Ma’rifah. Jilid 1,
Djalal, Abdul H.A, Ulumul Qur’an,(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Kad Muhammad ali Ash-Shabuuny, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung : CV Pustaka Setia.
Khallaf Abd. Al Wahab, Ilmu Ushul fiqih, Semarang : Dina Utama,1994.
Marzuki Kamaluddin, Ulumul Quran, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1994
Thabathaba'i, Muhammad Husain, Al-Qur'an fi Al-Islam, terj. Malik Madaniy Bandung: Mizan, 1997



[1] Muhammad Husain Thabathaba'i, Al-Qur'an fi Al-Islam, terj. Malik Madaniy (Bandung: Mizan, 1997). 56
[2]  Kamaluddin Marzuki, Ulumul Quran, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1994). 12-17
[3] Djalal, Abdul H.A, Ulumul Qur’an,(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000). 30-35

[5] Marzuki, Ulumul …... 12
[6] Muhammad ali Ash-Shabuuny, Studi Ilmu Al-Quran, (Bandung : CV Pustaka Setia,2004). 15
[7]  Imam badruddin, m. Abdullah al zarkasy, Al Burhan fi Ulum Al Quran,( Lebanon : Dar Al Ma’rifah. Jilid )1,  273
[8]. Muhammad Al Kudhori, Tarikh Tasyri’ Islami, (Surabaya : Al Hidayah, 2003). 17
[9] Thabathaba'i, Al-Qur'an...... 4 - 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar