MENANAMKAN KEGEMARAN SHALAT
PADA ANAK
DALAM LINGKUNGAN KELUARGA
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Tulungagung untuk
Memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan
Program Sarjana
Strata Satu Ilmu Pendidikan Islam
Oleh
AHMAD NUR SANTO
NIM. 3211073004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUGAGUNG
Juli 2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Menanamkan
Kegemaran Shalat Pada Anak Dalam Lingkungan Keluarga” yang ditulis Ahmad Nur
Santo ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.
Tulungagung, Juni
2011
Pembimbing,
Hj. ELFI
MU’AWANAH, S.Ag., M.Pd.
NIP. 19721127 199703
2 001
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Menanamkan
Kegemaran Shalat Pada Anak Dalam Lingkungan Keluarga” yang ditulis Ahmad Nur
Santo ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji STAIN Tulungagung pada
hari Kamis, 21 Juli 2011, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan
untuk menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Dewan Penguji Skripsi
Ketua, Sekretaris,
Anin Nurhayati, M.Pd.I. Elfi
Mu’awanah, S.Ag.,M.Si.
NIP. 19790511 200312 2 002 NIP. 19721127
199703 2 001
Penguji
Utama
Fathul
Mujib, M.Ag.
NIP.
19750523 200604 1 002
Tulungagung,
Juli 2011
Mengesahkan,
STAIN
Tulungagung
Ketua
Dr.
Maftuhin, M.Ag.
NIP.
19670717 200003 1 002
MOTTO
MOTTO
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَ ةِ
“ Perbedaan diantara seorang laki-laki (muslimin dan muslimat)
dengan orang yang kafir yaitu meninggalkan shalat ” (HR. Muslim)[1]
tûïÏ%©!$#ur
(#ÿrãxÿ2 öNßgè=»uHùår&
¥>#uy£x.
7pyèÉ)Î/
çmç7|¡øts ãb$t«ôJ©à9$# ¹ä!$tB #Ó¨Lym #sÎ)
¼çnuä!$y_
óOs9 çnôÅgs $\«øx©
……
“ Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana
di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi
bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun”(An- Nuur[24]:39) [2]
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya
persembahkan untuk :
1.
Kedua orang tuaku tercinta Tuwat
dan Bingatun, yang senantiasa sabar dalam membesarkan dan membimbingku
sejak sebelum aku lahir sampai aku sekarang ini, semoga Alloh swt membalas
dengan balasan yang tiada pernah putus di dunia dan di akhirat.
2.
Segenap keluarga besarku yang
senantiasa memberi semangat dan bantuan doa serta harapan kepadaku.
3.
Segenap keluarga Bapak Djoewadi
yang senantiasa sabar membimbingku dan memberi fasilitas belajar selama 10
tahun terakhir ini. Keluarga yang sudah ku anggap dan ku jadikan sebagai
keluargaku sendiri.
4.
Adikku Amin dan Ika
yang selalu medoakan dan memberi semangat kepadaku.
5.
Guru-guruku yang senantiasa
mendoakan dan memberi semangat kepadaku.
6.
Kawan - kawan yang telah
membantuku dalam mencari bahan bacaan dan referensi.
7.
Kawan - kawan seperjuangan di PAI
A dan STAIN Tulungagung.
8.
Serta beberapa mantan muridku di
SMKN 1 Boyolangu yang telah memberikan dorongan dan doa.
Tulungagung,
Juli 2011
Penulis
Ahmad Nur Santo
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh swt. Atas
segala karunia serta pertolongan-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat
terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa abadi
tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, shahabat serta umat yang melangkah mengikuti petunjuk
beliau.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini maka penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Maftuhin, M.Ag; ketua STAIN Tulungagung yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penulisan
laporan penelitian ini.
2. Ibu Hj. Elfi Mu’awanah, S.Ag.,M.Pd., selaku pembimbing yang juga
telah memberikan pengarahan dan koreksi sehingga penelitian dapat diselesaikan
sesuai dengan waktu yang yang direncanakan.
3. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan
laporan penelitian ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Alloh swt. dan
tercatat sebagai ‘amal shalih.
Akhirnya, karya ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca, dengan
adanya kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi pengembangan dan
perbaikan, serta pengembangan lebih sempurna dalam kajian-kajian perndidikan
Islam.
Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridha Alloh swt. aamiin Ya
Rabbal ‘alamin.
Tulungagung, Juli 2011
Penulis
Ahmad Nur Santo
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul …………………………………………………………… i
Halaman
Peersetujuan ……………………………………………………... ii
Halaman
Pengesahan ……………………………………………………… iii
Halaman
Motto ……………………………………………………………. iv
Halaman
Persembahan …………………………………………………….. v
Kata
Pengantar ……………………………………………………………. vi
Daftar
Isi …………………………………………………………………… viii
Daftar
Lampiran …………………………………………………………... x
Abstrak
…………………………………………………………………….. xi
BAB
I :
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
B.
Penegasan Istilah
1.
Penegasan Konseptual ………………………………. 10
2.
penegasan operasional ………………………………. 11
C.
Identifikasi, Batasan dan Rumusan
Masalah
1.
Identifikasi Masalah
…………………………………. 11
2.
Batasan Masalah …………………………………….. 12
3.
Rumusan Masalah …………………………………… 12
D.
Tujuan Kajian …………………………………………… 13
E.
Kegunaan Kajian ………………………………………... 13
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian ………………………………….. 14
2.
Sumber Data ……………………………………... 15
3.
Teknik Pengumpulan Data ……………………… 16
4.
Teknik Analisa Data ……………………………. 16
G.
Sistematika Pembahasan
………………………………… 17
BAB
II :
KONSEP SHALAT BAGI ANAK
A.
Pengertian Shalat ……………………………………….. 19
B.
Hukum
Shalat Bagi Anak ………………………………. 23
C.
Keutamaan Shalat ………………………………………. 29
D.
Ancaman Malas Mengerjakan
Shalat …………………… 35
BAB
III :
PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN KELUARGA
A. Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua …………………. 37
B. Pola Asuh Orang Tua dalam Pendidikan Shalat ………… 45
BAB
IV : PENDIDIKAN KEAGAMAAN ANAK
A.
Tugas Perkembangan Anak …………………………….. 58
B.
Perkembangan Keagamaan Anak ………………………. 64
C.
Usia Pendidikan Shalat …………………………………. 70
BAB
V : PENDIDIKAN DAN PENANAMAN KEGEMARAN SHALAT
A.
Tahapan
Usia Dalam Pendidikan Shalat ………………… 76
B.
Persiapan
Orang Tua dalam Pendidikan Shalat …………. 85
C.
Tahapan
Mendidik dan Menanamkan Kegemaran Shalat...
94
D.
Pemberian Reward dan
Punishment dalam Pendidikan Shalat 111
BAB VI : KESIMPULAN ……………………………………………... 127
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Pernyataan Keaslian Tulisan
2.
Surat Bimbingan Penelitian
3.
Kartu Bimbingan Penelitian
4.
Pernyataan Kesanggupan Ujian
5.
Daftar Riwayat Hidup
ABSTRAK
Skripsi dengan
judul “Menanamkan Kegemaran Shalat Pada Anak Dalam Lingkungan Keluarga” ini
ditulis oleh Ahmad Nur Santo dibimbing oleh Hj. Elfi Muawanah, S.Ag., M.Pd.
Penelitian
dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa di masyarakat
masih banyak ditemukan muslim yang meninggalkan kewajiban shalat, padahal
shalat bukan hanya kewajiban tetapi juga kebutuhan. Karena itu orang tua
dituntut mendidik anaknya agar mau melaksanakan perintah shalat dan terlebih
memiliki kegemaran dalam malaksanakannya. Dalam hal ini peneliti mencari metode
yang tepat bagi orang tua untuk mendidik anak sehingga gemar melaksanakan
shalat.
Rumusan
masalah dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah konsep shalat bagi
anak? (2) Bagaimanakah peran orang tua dalam pendidikan keluarga? (3) Bagaimanakah
perkembangan anak? (4) Bagaimanakah tahapan –tahapan dan metode dalam
pendidikan dan penanaman kegemaran shalat ? Adapun yang menjadi tujuan
peneltian dalam hal ini adalah (1) Untuk mengetahui bagaimana konsep shalat bagi anak dalam Islam
(2) Untuk mengetahui bagaimana peran orang tua dalam pendidikan keluarga (3)
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak (4) Untuk mengetahui bagaimana tahapan – tahapan dan metode dalam
pendidikan dan penanaman kegemaran shalat.
Skripsi ini
bermanfaat bagi penulis sebagai sumbangsih dan partisipasi dalam pembangunan
bidang pendidikan serta mempertambah cakrawala pengetahuan sebagai bekal masa
depan penulis ketika menjadi orang tua kelak. Bagi pendidik, terutama orang tua
untuk dijadikan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam upaya penanaman
kegemaran shalat pada anak. Bagi Peneliti lain dapat dijadikan bahan
perbandingan untuk penelitian selanjutnya
Jenis
penelitian ini adalah kepustakaan (library research) yang menggunakan teknik
dokumentasi untuk menggali sumber data. Metode yang digunakan adalah metode
induksi yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat
khusus kemudian fakta-fakta itu diambil kesimpulan yang bersifat umum, dimana
penggunaan metode ini adalah dengan mencari bahan referensi tentang isi skripsi
dan kemudian menyimpulkan data untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan rumusan
masalah .
Hasil dari
penelitian ini adalah bahwa palaksanaan shalat bagi anak adalah sebuah upaya
pembiasaan dan bukan sebuah kewajiban, orang tua adalah sosok utama dalam
pendidikan keagamaan anak dan diperlukan pola pengasuhan yang tepat dalam
pendidikan shalat, anak usia 6-12 tahun berada dalam fase tamyis dan masa
belajar dimana ia sudah bisa membedakan antara tangan dan kiri sehingga di usia
ini orang tua wajib memerintahkan anak untuk menjalankan shalat, terdapat
beberapa tahapan dan metode yang dapat dipergunakan dalam pendidikan shalat
sehingga pendidikan akan berjalan dengan bauk, efektif dan efisien.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam buku Tamparan-tamparan
Super Pedas bagi yang malas shalat, [3] Rizem
Aizid menyebutkan setidaknya
ada 12 macam akibat dari meremehkan shalat. Minimal telah melakukan dosa besar,
sampai yang terberat adalah menjadi kafir, atau telah keluar dari bingkai
keislaman. Hal ini tentunya mengisyaratkan akan pentingnya kedudukan shalat.
Berkali-kali Alloh swt. telah memerintahkan
untuk selalu menjaga shalat, baik melalui al Quran ataupun as Sunnah.
Dalam realitas kehidupan, tidak setiap muslim
melaksanakan perintah Alloh swt. ini. Banyak saya jumpai dalam masyarakat
seseorang yang mengaku muslim tetapi meremehkan bahkan meninggalkan shalat.
Padahal shalat tidak hanya kewajiban yang diperintahkan, tetapi juga sebuah
kebutuhan dalam mempertahankan keislaman seseorang, dikarenakan seseorang yang
sengaja meninggalkan shalat berarti ia adalah kafir. Sebagaimana diriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ
“ Perbedaan
diantara seorang laki-laki (muslimin dan muslimat) dengan orang yang kafir
yaitu meninggalkan shalat ” (HR. Muslim)[4]
Fenomena semacam ini memang bukan hal yang aneh.
ditengah derasnya arus globalisasi yang semakin pesat. Terlebih saat ini sudah
berkembang aliran-aliran yang mendorong kaum muslim pada jurang kebebasan.
Dampak yang nyata adalah berkembangnya paham liberalisme dalam Islam.
Sampai-sampai banyak yang menganggap bahwa shalat itu adalah kebebasan
individu, dimana orang lain (sesama muslim) tak boleh mencampurinya.
Kehidupan yang semakin materialis turut pula
mempengaruhi kesadaran individu terhadap pentingnya shalat. Hal ini dikarenakan
tolok ukur keberhasilan lebih sering diwujudkan dalam terpenuhinya kebutuhan
materi sehingga tidak disadari akan mengurangi pemenuhan akan kebutuhan rohani
dan pandangan akan kehidupan akhirat. Seorang muslim yang terbuai kehidupan
duania hanya akan mengejar kepuasan nafsu semata. Kehidupan yang berjalan hanya
terisi oleh pemenuhan kebutuhan fisik saja.
Di tengah kehidupan yang seperti itu, pendidikan
keagamaan sangat diperlukan dan harus benar-benar ditanamkan kepada individu
secara kuat sehingga tidak terjebak dalam arus kehidupan yang rusak. Orang tua
tidak saja dituntut memenuhi kebutuhan jasmani anak, tetapi jauh lebih penting
adalah memenuhi kebutuhan rohani anak, di antaranya dengan memberi pendidikan
agama yang benar dan baik. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan shalat yang
merupakan ruh pendidikan Islam.
Alloh swt. berfirman :
يَـأَ
يُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْاأَنْفُسِكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا...
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka… “ (QS. At Tahrim [66]:6)[5]
Ayat di atas menggambarkan bahwa orang tua dituntut
memberikan pendidikan yang terbaik bagi keluarganya karena ia dikenai
pertanggung jawaban di akhirat kelak. Tidak ada alasan sedikit pun untuk
menelantarkan pendidikan agama bagi keluarga karena keluarga yang tidak
terbimbing agamanya akan berpotensi besar untuk masuk dalam neraka.
Alloh
swt. memerintahkan kepada orang tua untuk memerintah anggota keluarganya
mengerjakan dan mendirikan shalat(QS. Thahaa [20] : 132).
وَأْمُرْ
أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا....
“Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. ”[6]
Melaksanakan
perintah ini berarti orang tua telah mempersiapkan generasinya menjadi penegak
agama dan melanggar perintah ini sama artinya mencetak generasi peroboh agama
(kafir). Sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa shalat adalah tiang agama dan
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Orang tua harus memahami bahwa sesungguhnya anak
merupakan anugerah yang diberikan Alloh swt. Al quran menggambarkan anak
sebagai nikmat yang besar (QS.Al Isra’[17]:6). Anak juga keindahan yang tidak dapat dilukiskan dengan
perkataan, terlebih jika anak tersebut memiliki akhlaq yang mulia, berbakti
kepada orang tua dan terlebih menjadi anak yang bertaqwa ( QS Al Furqan [25] : 74 )[7]. Dengan kesadaran akan kedudukan
anak, tidak selayaknya orang tua membiarkan anaknya rusak ditelan hebatnya arus
perubahan zaman yang rusak. Kesadaran bahwa anak adalah anugrah akan mendorongnya
untuk selalu bersyukur dan teguh manjaga fitrah anak.
Rasulullah
saw. memikulkan tanggung jawab pendidikan anak secara utuh kepada kedua orang
tua.[8]Tersebut
dalam sebuah hadits riwayat Bukhori dan Muslim bahwa setiap orang adalah
pemimpin, orang tua adalah pemimpin dalam rumah tangga dan akan dimintai
pertanggung jawabannya. Islam menetapkan tanggung jawab pada diri seorang
mukmin terhadap keluarganya serta kewajibannya di dalam rumahnya. Islam telah
menegaskan bahwa orang tua bertanggung jawab sepenuhnya dalam keluarga. Orang
tua memiliki tanggung jawab membentuk keluarga yang Islami, karena rumah tangga
yang Islami merupakan cikal bakal generasi kaum muslimin.
Secara
umum, untuk pertama kalinya seorang anak belajar shalat serta hukum-hukum agama
dari bapak dan ibunya.[9]
Keteladanan menjadi kunci pendidikan orang tua, karenanya orang tua harus lebih
dahulu istiqomah dalam mendirikan shalat sehingga dalam pandangan anak mereka
adalah sosok yang sangat patut dicontoh.
Mengingat
saat ini perubahan zaman begitu cepat dan globalisasi telah mendarah daging
dalam dunia modern yang ditunjang pesatnya perkembangan teknologi maka tanggung
jawab dan tugas orang tua kian berat. Jangan sampai orang tua membiarkan
anaknya bertuhan pada materialisme, mengingat tidak jarang seorang bayi yang
telah jauh mengenal teknologi sebelum mengenal Tuhannnya.
Sering
saya jumpai anak yang telah pandai bermain handphone, komputer ataupun
playstation di usia mereka yang sangat belia (balita). Mereka terlihat begitu
aktif mengikuti perubahan zaman. Padahal perubahan zaman cenderung merusak. Memang
tidak masalah jika kepandaian mereka dalam teknologi diimbangi pendidikan agama
yang bagus. Tetapi jika mereka tidak berbekal pendidikan agama, maka potensi
untuk meningalkan agama akan begitu besar. Disinilah letak peran orang tua
untuk mengenalkan agama sebelum mereka mengenal teknologi.
Dunia
anak adalah dunia fantasi dan khayalan yang memiliki keistimewaan
masing-masing. Dunia anak sangat sempit karena hanya sebatas pengamatan indrawi
anak, namun juga sebuah dunia yang begitu luas seluas dan sebebas fantasi anak.
Untuk melaksanakan kewajiban mendidik shalat anak, orang tua harus mampu
memasuki dunia anak yang begitu kompleks dan luas sehingga setiap orang tua
perlu dan wajib memiliki bekal pendidikan agama serta metode yang tepat dalam
mendidik anak.
Memang
pendidikan anak akan kian berat seiring kian kompleks tantangan dalam
pendidikan. Anak yang telah terbiasa dengan dunia permainan semacam
playstation, fikiran dan otak mereka telah banyak terisi dengan dunia khayalan
dan fantasi. Permainan semacam itu memang produk asing yang berasal dari dunia
yang liberal dan sekuler. Dengan game super lengkap disertai berbagai tingkat
kesulitan permainan, maka otak anak hanya berfikir untuk mengejar kemenangan
dan kemenangan dalam permainan. Bila anak telah kecanduan permainan semacam
ini, maka pendidikan anak semakin berat.
Faktanya, tidak setiap orang tua mampu menemukan dan
memiliki metode serta pendekatan yang tepat dalam upaya pendidikan keagamaan anak.
Sehingga seringkali tidak mendapat perhatian anak dan bisa jadi mengekang
kehidupan anak yang justru berpotensi menghambat perkembangan keberagamaan
anak. Padahal masa anak-anak merupakan kesempatan
paling tepat untuk mendidikkan berbagai perilaku keagamaan, termasuk pendidikan
shalat fardu, lebih-lebih apabila diterapkan metode dan pendekatan yang tepat. Zakiah
Daradjat berpendapat bahwa :
Apabila latihan-latihan agama dilalaikan di waktu kecil
atau diberikan dengan cara yang kaku, salah atau tidak cocok dengan anak, maka
waktu dewasa nanti ia akan cenderung kepada atheis atau kurang peduli terhadap
agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Dan sebaliknya,
semakin banyak anak mendapat latihan-latihan keagamaan waktu kecil, sewaktu
dewasa nanti akan semakin terasa kebutuhannya kepada agama.[10]
Harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak bukan masa
pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan , latihan
dan pembiasaan.[11] Karena
itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal
mereka ketika memasuki usia baligh, dimana pada masa ini mereka sudah
mendapatkan kewajiban dalam beribadah sehingga pelaksanaaan ibadah yang
diwajiban oleh Alloh swt.. bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan
mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah
pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Pelaksanaan ibadah merupakan pekerjaan yang sangat
menakjubkan bagi jiwa anak kecil. Karena ketika anak kecil melaksanakan satu
ibadah, secara tidak disadari, mereka melakukan hubungan batin dengan Alloh
swt.. sehingga dalam menjalani kehidupanya selalu merasa tenang, aman dan
tentram.pelaksanaan ibadah, semisal shalat, akan mendorong anak-anak untuk
tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya, terlatih
dalam menahan nafsu amarah dan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya selalu
berada dalam bingkai ajaran agama.
Karena itu mendidik anak tidak hanya cukup bermodalkan
watak kebapakan dan keibuan tanpa didukung dengan kemampuan bagaimana cara –
cara mendidik yang baik.
Najib Khalid al Amir, sebagaimana menerangkan bahwa
kekerasan dan kesalahan dalam mendidik dapat berakibat tidak baik.
Dalam etnik
keluarga tertentu serng ditemukan sikap dan perilaku orang tua yang memarahi,
menghardik , mencela bahkan memberi hukuman fisik sekehendak hati kepada anak
apabila melakuka kesalahan. Padahal, penggunaan cara-cara seperti diatas secara
psikologis mendatangkan efek negatif bagi perkembangan jiwa anak. Efek negatif
dari celaan misalnya, dapat melahirkan kedengkian dan dendam bagi anak yang
dicela dan melahirkan sikap takabur bagi orang tua yang melakukan celaan.[12]
Demikian juga memberikan sangsi berupa pukulan.
Walaupun memukul dapat dibenarkan oleh agama, tetapi tidak bisa dilakukan
disembarang tempat ditubuh anak.
Abdullah Nashih Ulwan, sebagaimana dikutib Syaiful,
sependapat dengan pernyataan diatas. Dukungannya itu terdapat dalam
pernyataannya, bahwa diantara masalah yang hampir menjadi kesepakatan seluruh
ahli pendidikan adalah, bahwa jika anak diberlakukan oleh orang tuanya dengan
kejam, dididik dengan pukulan yang keras dan cemoohan pedas dan selalu
mendapatkan penghinaan dan ejekan, maka akan menimbulkan reaksi balik yang akan
tampak pada perilaku dan akhlaqnya, dan gejala rasa takut serta cemas akan
nampak pada tindakan-tindakan anak. Bahkan secara lebih tragis akan mengakibatkan anak terkadang berani
membunuh kedua orang tuanya atau meninggalkan rumahnya demi menyelamatkan diri
dari kekejaman, kezaliman dan perlakuan yang menyakitkan.[13]Karena
itu perlu kiat jitu dalam proses mendidik anak. Melalui penelitan ini,
permasalahan metode pendidikan shalat anak mencoba dicari jawabnya.
Apapun alasannya, mendidik anak adalah tanggung jawab
orang tua dalam keluarga. Pendidikan dengan metode yang tepat dan efisien akan
membentuk pribadi yang cinta, taat dan bertaqwa kepada Alloh. Oleh karena itu
orang tua wajib memiliki bekal dalam mendidik, yaitu berupa metode dan
pendekatan yang sesuai dengan dunia anak.
Tepat sekali apabila dikatakan bahwa orang tua yang
bijaksana adalah orang tua yang lebih mendahulukan pendidikan anak dari pada
mengurusi pekerjaan siang dan malam.
Begitulah
ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw. Islam memang perintis dalam urusan
perhatian terhadap dunia anak dan perlindungannya yang bersifat menyeluruh,
melampaui segala ajaran, peradaban dan bangsa apa pun.[14]
Hal tersebut, secara akademis, menjadi pendorong bagi
peneliti untuk mengadakan penelitian secara lebih jauh mendalam yang hasilnya
dituangkan dalam laporan penelitian dengan tema : Menanamkan kegemaran shalat
pada anak dalam lingkungan keluarga.
Memang permasalah semacam ini telah banyak dikaji dan dicetak
dalam tulisan ilmiah, tetapi tetap saja seiring perkembangan zaaman dan keadaan
maka selalu memunculkan sesuatu yang baru dalam penelitian seperti ini. Dan
penulis berupaya memberikan nuansa baru dalam peneitian nertemakan pendidikan
shalat ini.
B. Penegasan Istilah
Untuk mempermudah pembahasan dan menghindari kesalah pahaman
pengertian dan kekeliruan penafsiran
terhadap kandungan judul dan agar judul dapat dimengerti secara umum menyangkut
isi dan pembahasan, maka perlu penulis kemukakan penjelasan sebagai berikut :
1.
Penegasan Konseptual
a.
Menanamkan adalah Memasukkan,
Membangkitkan atau memelihara perasaan,
Memelihara cinta kasih, Memasukkan atau memberi dorongan semangat[15]
b.
Kegemaran adalah Kesukaan yang
sangat, kesenangan, sesuatu yang
disenangi[16]
c.
Anak / masa anak-anak adalah masa pertama dalam
rentang usia manusia. Masa ini bermula sejak kelahiran sampai masa dewasa
(baligh).[17] Tetapi dalam hal ini
penulis memilih pendapat Abdul Mujib[18]
yang menggolongkan dalam fase tamyis, yaitu dimana anak mulai mampu membedakan
yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah. Usia ini dimulai saat usia
kurang lebih 6 tahun sampai mencapai fase baligh atau sekitar 12 tahun
2.
Penegasan operasional
Dalam penulisan skripsi ini, untuk menghindari kesalah
pahaman maka perlu adanya penegasan operasional. pengertian dari judul adalah
cara atau metode dan hal-hal yang terkait dalam rangka membangkitkan perasaan
gemar (perasaan senang sekali) untuk melakukan shalat, baik wajib maupun sunnah
kepada anak sejak kecil dalam lingkungan keluarga, terutama oleh orang tua. Dalam
hal ini penulis membatasi permasalahan hanya pada anak umur 6 sampai 12 tahun,
dimana usia ini digolongkan sebagai masa pendidikan shalat.
C. Identifikasi, Batasan dan
Rumusan Masalah
1.
Identifikasi Masalah
Sebagai permasalahan umum, tema penelitian di atas apabila
dicermati dengan seksama, maka dapat
dikenali dan diidentifikasi sub masalah yang relatif banyak seperti di bawah ini :
§
Peran dan tanggung jawab
orang tua dalam pendidikan anak
§
Kedudukan orang tua dalam
pendidikan
§
Konsep pendidikan keluarga
§
Konsep pengasuhan dalam
keluarga
§
Aspek-aspek pertumbuhan dan
perkembangan anak
§
Tugas pertumbuhan dan
perkembangan anak
§
Perkembangan keagamaan anak
§
Hukum, kedudukan shalat
bagi anak
§
fungsi shalat bagi anak
§
Tahapan pendidikan shalat
§
Metode pendidikan shalat
§
Kiat menanamkan kegemaran
shalat
§
Implikasi pendidikan shalat
bagi anak
2.
Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas dapat
diambil empat permasalahan pokok.
1.
Konsep shalat bagi anak.
2.
Peran orang tua dalam pendidikan
keluarga.
3.
Perkembangan anak.
4.
Tahapan –tahapan dan metode dalam
pendidikan dan penanaman kegemaran shalat.
3. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah konsep shalat bagi
anak?
2.
Bagaimanakah peran orang tua dalam
pendidikan keluarga?
3.
Bagaimanakah perkembangan anak?
4.
Bagaimanakah tahapan –tahapan dan
metode dalam pendidikan dan penanaman kegemaran shalat ?
D. Tujuan Kajian
1.
Untuk mengetahui bagaimana konsep shalat bagi anak dalam
Islam.
2.
Untuk mengetahui bagaimana peran
orang tua dalam pendidikan keluarga.
3.
Untuk mengetahui bagaimana
perkembangan anak.
4.
Untuk mengetahui bagaimana tahapan – tahapan dan metode dalam
pendidikan dan penanaman kegemaran shalat.
E. Kegunaan Kajian
- Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
untuk memperkaya khazah ilmiah terutama berkaitan dengan penanaman kegemaran
melakukan shalat pada anak guna membentuk
pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh swt.. sehingga keberadaan anak
tidak hanya menjadi perhiasan kehidupan orang tua tetapi juga mampu menjunjung
kedudukan orang tua di hadapan Alloh swt...
- Secara Praktis
a.
Bagi pendidik, terutama orang tua
untuk dijadikan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam upaya penanaman
kegemaran shalat pada anak
b.
Bagi penulis sebagai sumbangsih
dan partisipasi dalam pembangunan bidang pendidikan serta mempertambah
cakrawala pengetahuan sebagai bekal masa depan penulis ketika menjadi orang tua
kelak.
c.
Bagi Peneliti lain dapat dijadikan
bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
F. Metode
Penelitian
- Jenis Penelitian
Dalam penelitian skrisi ini, penulis menggunakan studi
kepustakaan (Library Research). Menurut Sutrisno hadi, Library Research adalah
penelitian yang didasarkan studi literatur.[19]
Yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu
pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil
–hasil penelitian yang terkait dengan topik (masalah) kajian.
Kajian pustaka adalah telaah yang dilaksanakan untuk
memecahakan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis
dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil-hasil penelitian yang
terkait dengan topik (masalah) kajian. Kajian pustaka dilakukan dengan cara
mengumpulkan data atau informasi dari berbagai sumber pustaka yang kemudian
disajikan dalam bentuk baru atau untuk keperluan baru.[20]
Kajian pustaka ini memuat dua hal pokok, yaitu
deskripsi tentang obyek atau materi kajian dan kesimpulan disertai dengan
penjelasan, ulasan dan alasan sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan. Untuk
dapat memberikan deskripsi teoritis terhadap variabel yang dikaji, maka
diperlukan kajian secara kritis, tajam dan mendalam.[21]
- Sumber Data
Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai
data prmer dan sekunder.
a.
Data Primer adalah data yang
diperolah langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan pengukuran atau
alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai informasi yang dicari.[22]
Dalam skripsi ini data primer yang penulis peroleh dari buku-buku tentang
pendidikan shalat kepada anak dalam lingkungan keluarga, metode yang digunakan
dalam mendidik anak serta buku-buku yang berkaitan dengan cara Rasulullah saw. mendidik
anak, terutama dalam hal ibadah shalat.
Adapun buku utama yang menjadi rujukan penulis
diantaranya Mushthafa abul Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana ‘alas Shalah: ‘amaliyan wa ilmiyyan(Membimbing Anak Gemar
Shalat: kiat praktis menjadikan shalat sebagai kegemaran anak), terj. Abu
Abdullah, Surakarta :
Insan Kamil, 2008 ; Mohammad Nur Abdul Hafid, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia
Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, Yogyakarta:
Darussalam, 2004 ; Khalid bin Abdurrahman al ‘Akk, Tarbiyah al Abna’ wa al Banat fi Dhau’ al Quran wa al Sunnah (Cara Islam
Mendidik Anak) terj. Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta :
Ad Dawa’, 2006
b.
Data Sekunder adalah data yang
diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek
penelitiannya.[23] Data
sekunder yang dipakai penulis berupa buku, jurnal, surat kabar, majalah, maupun internet yang
berkaitan dengan pembahasan isi skripsi ini.
- Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode yang digunakan, maka pengumpulan
data yang digunakan dalam library research adalah teknik dokumentasi. Menurut
Suharini Ariunto, metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip dan sebagainya. [24]
Maka penulis akan mengumpulkan data dari buku dan sumber lain terkait dengan
penanaman kegemaran mengerjakan shalat pada anak.
- Teknik Analisa Data
Dari pengumpulan data yang diperoleh, penulis
menggunakan metode induksi. Metode Induksi adalah cara berfikir yang berangkat
dari fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian fakta-fakta itu diambil
kesimpulan yang bersifat umum.[25]
Dalam penggunaan metode tersebut penulis mencari data yang
diperolah dari berbagai sumber dan kemudian dianalisa dari hal-hal yang khusus
dan digeneralisasikan atau dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang
diangkat.
G. Sistematika
Pembahasan
Sistematika penilisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
A.
Bagian awal: Halaman sampul depan,
Halaman judul, Halaman persetujuan, Halaman pengesahan, Halaman Motto, , Kata
pengantar, Halaman daftar isi dan Halaman abstrak
B.
Bagian inti
1.
BAB I : Pendahuluan, yang didalamnya terdapat sub
bab antara lain: Latar belakang, identifikasi, batasan dan rumusan masalah;
tujuan kajian; kegunaan kajian; metode penelitian dan sistematika pembahasan.
2.
BAB II : Konsep Shalat Bagi Anak, yang didalamnya
terdapat sub bab antara lain: Pengertian shalat, Hukum shalat bagi anak,
Keutamaan shalat, Ancaman malas mengerjakan shalat
3.
BAB III: Peran orang tua dalam
pendidikan keluarga, yang didalamnya terdapat sub bab: Tanggung jawab orang tua
terhadap pendidikan keagamaan anak, Pola asuh orang tua dalam pendidikan shalat
anak
4.
BAB IV : Perkembangan Anak,
yang didalamnya terdapat sub bab antara lain : Tugas perkembangan anak, Perkembangan
keagamaan anak, Usia pendidikan shalat
5.
BAB V : Pendidikan
dan Penanaman Kegemaran Shalat, yang didalamnya terdapat sub bab antara lain:
Tahapan usia dalam pendidikan shalat, Persiapan orang tua dalam pendidikan shalat,
Tahapan mendidik dan menanamkan kegematan shalat, Pemberian reward dan punishment
dalam pendidikan shalat.
6.
BAB VI : Kesimpulan
C.
Bagian Akhir :
1.
Daftar Pustaka
2.
Daftar riwayat hidup
BAB
II
KONSEP SHALAT BAGI ANAK
A. Pengertian Shalat
Shalat secara bahasa berarti doa.[26]Sedangkan
shalat menurut syara’ adalah suatu amalan yang tersusun dari beberapa perkataan
dan perbuatan, yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam,
yang sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan.[27]
Menurut Hasbi ash Shidiqy, shalat juga mengandung
pengertian menghadapkan hati dan jiwa kepada Alloh swt.. dan mendatangkan takut
kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran dan
kesempurnaan-Nya.[28]
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan
Alloh swt.. Adapun perintah wajibnya disampaikan langsung kepada Rasulullah saw.
pada malam mi’raj tanpa memakai perantara. [29]
Sholat merupakan ibadah pokok kedua dalam rukun Islam
setelah syahadatain. Sholat merupakan tiang agama dan juga ibadah yang menjadi
batasan antara seorang mukmin dengan orang kafir, sebagaimana disebutkan dalam
riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda:
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ
“ Perbedaan
diantara seorang laki-laki (muslimin dan muslimat) dengan orang yang kafir
yaitu meninggalkan shalat ”[30]
Ath Thabathaba’i, dikutip Deni menjelaskan bahwa
mendirikan shalat tidak lain adalah proses intens dan terus-menerus dari
seseorang untuk mempertautkan dimensi dzikir ilmi dan dzikir amali aar tidak
pernah lupa dan terlena oleh gemlang kehidupan material duniawi yang serba
sementara ini. Atau dengan kata lain, ajaran shalat betul-betul menadi tiang
dalam segenap aktivitas khalifah dan kehambaan kita,sehingga pada gilirannya
mata lahir (abshar) dan mata batin (qulub) kita tersucikan.[31]
Shalat adalah satu-satunya ibadah
dimana Rasulullah secara tegas dan terang-terangan menyangkut kemutlakan tata
cara dan pelaksanaannya yang baku .
Rasulullah saw. Bersabda, ”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
shalat”(HR.Bukhory), artinya bahwa shalat kita harus benar-benar sesuai
dengan apa yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah saw. Ketika beliau
sedang shalat, kecuali dalam masalah-masalah menyangkut kelengkapan
teknis-operasional. Misalnya tentang bentuk pakaian, tempat shalat yang dirasa
terbaik, dan semacamnya, tentu menyesuaikan keadaan masing-masing.[32]
Shalat memiliki kedudukan yang tidak
tertandingi oleh ibadah lainnya. Ia merupakan tiang penyangga agama ini,
Rasulullah saw. bersabda:
رَأْ
سُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَ مُ وَعَمُوْدُهُ الْصَّلاَ ةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
"Urusan
tertinggi adalah Islam, tiangnya adalah shalat sedangkan puncaknya yang
tertinggi adalah jihad." (HR.
Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).[33]
Shalat menjadi wasiat terakhir Rasulullah saw. kepada
umatnya. Wasiat ini beliau sampaikan pada saat detik-detik terakhir menjelang
wafatnya beliau saw. Ia juga merupakan perkara terakhir yang akan hilang dari
dien ini. Jika ia telah hilang, seluruh ajaran dien ini juga akan hilang.
Rasulullah saw. bersabda :
لَتَنْقُضَنَّ
عُرَى اْلإِسْلاَ مِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَ
ةُ
Sungguh, ikatan-ikatan Islam ini akan terlepas seikat
demi seikat. Ketika terlepas satu ikatan, manusia akan berpegang kepada ikatan
setelahnya. Ikatan yang pertama kali terlepas adalah hukum. Sedangkan yang
terakhir kali adalah shalat. (HR. Ibnu Hibban)[34]
Alloh swt.. telah memerintahkan agar kita menegakkan
shalat di dalam banyak kitab-Nya, diantaranya firman Alloh swt.:
فَأَقِيْمُوا
الصَّلَوةَ إِنَّ الصَّلَوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَبًا مَوْقُوْ تًا
“Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’[4]:103). Karena itu orang
yang meninggalkan shalat dan mengingkari tentang wajibnya shalat maka dia
adalah kafir.[35]
Sungguh,
Alloh swt.. sangat mengingkari orang yang menyepelekan shalat dan menancam
orang yang menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصَّلَوةَ وَاتَّبَعُوْا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”(QS.
Maryam[19]:59).[36]
Karena
shalat termasuk perkara besar yang membutuhkan satu hidayah (petunjuk khusus)
maka nabi Ibrahim as. pun meminta kepada Rabbnya agar menjadikannya dan
keturuannya sebagai orang yang menegakkan shalat, sebagaimana diabadikan dalam surat Ibrahim [14] ayat
40,
رَبِّ
اجْعَلْنِى مُقِيْمَ الصَّلَوةِ وَمِنْ ذُرِّ يَّتِى رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِِ
“Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang
tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.”[37]
B.
Hukum Shalat Bagi Anak
Shalat
diwajibkan bago orang yang telah memenuhi syarat wajib shalat, diantaranya :
1.
Islam, Syarat ini sudah pasti
harus dipenuhi, karena orang yang tidak islam tidak wajib mengerjakan Shalat,
tetapi Ia pasti akan mendapatkan siksa di Akhirat.
2.
Berakal, karena sholat merupakan
jalinan hubungan antara manusia dengan Alloh maka manusia yang bisa berfikir
secara logislah yang diwajibkan menjalankan Shalat, orang-orang yang tidak
berakal atau orang yang tidak sehat akalnya seperti orang gila, orang yang baru
mabuk ( walaupun orang itu normal tapi saat itu sedang dalam keadaan diluar
akalnya atau diluar kesadarannya maka ia tidak bisa berpikir, sehingga orang
yang mabuk juga termasuk orang yang tidak berakal ), dan juga orang yang
pingsan tidak diwajibkan Shalat karena dalam kondisi yang tidak sadar.
3.
Baligh ( dewasa ), orang yang
belum baigh tidak diwajibkan mengerjakan shalat, berikut adalah beberapa ciri
atau tanda-tanda orang yang sudah baligh :
a.
Sudah menginjak umur kurang lebih
13-15 tahun. ( berarti lebih )
b.
Mimpi bersetubuh ( mimpi basah ).
c.
Mulai keluar darah haidl atau
sering disebut datang bulan ( untuk anak perempuan ).
4.
Telah sampainya dakwah kepadanya,
orang yang belum pernah mendapatkan dakwah/seruan agama, tidak wajib
mengerjakan Shalat, dan dia tidak mendapat siksa diakhirat, belum mendapat
seruan disini dimaksudkan seperti seorang anak kecil/bayi yang meninggal, bukan
orang yang tidak mau mendapatkan seruan agama, karena belajar Ilmu agama itu
wajib.
5.
Dapat melihat dan mendengar, orang
yang memiliki kekurangan tidak dapat mendengar ( tuli ) dan tidak dapat melihat
( buta) sejak dia dilahirkan mereka tidak diwajibkan untuk melaksanakan Shalat
karena tidak ada jalan baginya untuk mempelajari bagaimana cara mengerjakan
Shalat.
6.
Suci dari haidl dan nifas, seorang
wanita yang sedang datang bulan atau habis melahirkan tidak diwajibkan
melaksanakan Shalat karena dalam kondisi yang tidak Suci.
7.
Jaga, maksudnya orang yang sedang
tidur tidak diwajibkan untuk melaksanakan Shalat. ( tanpa disengaja ).
Sementara itu, batas usia baligh bagi anak laki-laki
dan perempuan adalah ihtilam. Khusus, bagi anak perempuan, atau ia telah
mengalami haidl. Namun apabila ia sulit mengetahui apakah orang tersebut telah
ihtilam (atau bagi anak perempuan ia terlambat haidl - atau bahkan tidak
mengalami haidl sama sekali), maka tanda balighnya diambil dari tumbuhnya
rambut kemaluan.
Bila anak sudah mengalami salah satu tanda di atas,
maka ia telah baligh yang dengan itu ia telah sampai pada usia taklif. Wajib
baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka
perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya pelajaran melaksanakan
syari’at.
Belajar
menegakkan shalat bagi anak merupakan asas dalam rangka menegakkan aqidah yang
sudah difahamkan oleh kedua orang tua. Memang shalat sebagai sebuah ibadah
diwajibkan bagi mereka yang berusia baligh, yaitu usia dimana seorang manusia
sudah dibebani tanggungjawab melaksanakan kewajiban. Namun, sejak kecil anak
harus sudah dibiasakan untuk senantiasa meleksanakan yang merupakan tiang agama
Islam ini.
Menurut
Mukhotim el Moekry,[38]
orang tua sebaiknya memberi pemahaman kepada anak tentang shalat bahwa shalat
adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, baik anak-anak
maupun dewasa. Selain itu perlu
ditegaskan bahwa menegakkan shalat adalah perintah Alloh swt.. dan juga bahwa
menegakkan shalat dapat mencegah diriya dari perbuatan jahat dan keji. Lebih
dari itu, perlunya melakukan pemahaman bahwa pelaksanaan ibadah shalat sebagai
pelatiha disiplin dalam hidupnya. Anak harus diberi keyakinan dalam hidupnya
harus ada komunikasi dengan Alloh melalui shalat.
Ma’athi mengatakan bahwa
secara umum, untuk pertama kalinya seorang anak belajar shalat serta
hukum-hukum agama dari bapak dan ibunya. Oleh sebab itu, kapan seharusnya mulai
mengajarkan anak tentang shalat? Jawabannya dari hal itu akan dijelaskan oleh
kisah berikut :
Hisyam bin Sa’id bercerita. “Saya
dan beberapa orang pernah menemui Muadz bin Abdullah bin Hubaib Al Jahni, lalu
ia bertanya kepada istrinya,’Kapan seorang anak mulai melaksanakan shalat?’
Istrinya menjawab, ‘Baiklah, ada seorang laki-laki diantara kita yang ingat
jawaban Rasulullah saw. ketika beliau ditanya tentang itu.
Beliau saw. menjawab:” Jika seorang
anak sudah bisa membedakan antara arah kanan dan kiri, suruhlah ia untuk
mengerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud) [39]
Abdullah bin Umar bin Khatab ra
berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda :” Jika Anak-anak kalian telah fasih
berbicara, ajarilah mereka kalimat La ilaha illallah, dan janganlah kalian
mempedulikan kapan mereka meninggal. Jika telah tumbuh gigi depan mereka,
suruhlah mereka mengerjaan shalat.’ (HR. Ibnus Sinni) [40]
Nabi
saw. memberikan batasan umur disuruhnya anak-anak kecil mengerjakan shalat,
karena umur sebelum itu merupakan masa meniru kedua orang tua mereka dan upaya
membuat mereka mencintai shalat. Dan di usia 7 tahun itulah anak sudah memiliki
pemahaman tentang shalat sehingga pelaksanaan shalat tidak hanya kegiatan
meniru orang tua, tetapi bisa jadi sebuah kesadaran.
Al
Hakim dan Abu Dawud,
meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا
وَهُمْ أَبْنَاءَ عَشْرٍ وَفَرِّ قُوهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Perintahkanlah
anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berumur 7 tahun
dan pukullah mereka (jika mereka tidak mau mengerjakannya) ketika mereka telah
berumur sepuluh tahun. Pisahkanlah juga tempat tidur mereka (antara laki-laki
dan perempuan).[41]
Adapun
rahasia dalam hal ini adalah agar anak-anak belajar shalat semenjak usia
pertumbuhannya dan terbiasa untuk mengerjakannya serta mau melaksanakannya
semenjak tumbuh kuku jari-jarinya.
Juga
agar mereka terdidik untuk taat kepada Alloh, memenuhi hak-Nya, bersyukur,
kembali, percaya dan bersandar serta berserah diri hanya kepada-Nya dalam
hal-hal yang ia pasrahan dan takuti. Juga agar ia merasakan kesucian jiwanya,
kesehatan badannya dan kemurnian akhlaqnya serta perbaikan dalam ucapan dan
tindakannya dalam ibadah ini.
Dalam pandangan Mohammad Nur Abdul Hafid, pendidikan
ibadah terhadap anak kecil, terutama ibadah shalat merupakan fase penyempurna
pada fase pendidikan dan pembinaan akidah yang telah ditanamkan orang tua
sebelumnya. Karena makna hakiki dari pelaksanaan ibadah yang dipraktekkan oleh
anak-anak dalam kehidupan sehari-harinya akan menambah kebenaran akidah yang
diyakini. Dan pelaksanaan ibadah yang dilakukan anak-anak bisa dijadikan
barometer adanya akidah yang tertanam secara kokoh pada jiwa mereka. Semakin
tinggi nilai-nilai ibadah yang mereka miliki, akan semakin tinggi pula keimanan
yang tertanam dalam jiwa mereka. [42]
Dan juga harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak
bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa
persiapan, latihan dan pembiasaan.[43]
Karena itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai
bekal mereka ketika memasuki usia baligh, dimana pada masa ini mereka sudah
mendapatkan kewajiban dalam beribadah sehingga pelaksanaaan ibadah yang
diwajiban oleh Alloh swt.. bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan
mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah
pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Walaupun anak-anak belum dikenai kewajiban untuk
shalat, tetapi orang tua harus senantiasa memperhatikan dan mengontrol
pelaksanaan shalat anak. Hal ini karena Rasulullah saw. sendiri selalu
menanyakan tentang anak–anak kecil yang baru berumur beberapa tahun, apakah
mereka telah mengerjakan shalat atau belum.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ma’athi menceritakan
bahwa Abdullah bin Abbas ra menuturkan, ‘Saya pernah bermalam di rumah bibi
saya, Maimunah. Pada sore harinya, Rasulullah saw. datang dan beliau bertanya
kepada bibiku. ‘Apakah anak kecil itu sudah shalat?’ Yang beliau maksud adalah
aku. Orang-orang yang ada disitu pun menjawab,’Ya, sudah.’ Kemudian beliaupun
berbaring.[44]
Begitu pula Khulafaur Rasyidin, mereka mengikuti jejak
beliau saw. Inilah dia Amirul Mukminin Umar bin al Khattab ra, beliau
melaksanakan peran berikut. Diceritakan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab ra
pernah melewati salah satu jalanan kota
madinah. Ternyata ada sekelom[ok anak yang sedang bermain di tempat itu. Ketika
Umar ra mendekati mereka, anak-anak itu saling berlarian karena takut kecuali
seorang anak.
Umar ra pun bertanya kepadanya. “Mengapa kamu tidak
lari seperti teman-temanmu?” Anak itupun menjawab, “Mengapa saya harus lari
wahai Amirul Mukminin? Saya tidak melakukan satu kesalahan (dosa) pun yang
menyebabkan saya takut kepada anda.” Lalu amitul Mukminin berkata. “Apakah kamu
sudah mengerjakan shalat?” Anak itu menjawab.”Ya, sudah. Saya juga sudah
membaca al Quran.” Amirul Mukminin pun berkata,” Semoga Alloh memberkatimu
wahai anakku.”
Ternyata anak kecil tersebut adalah Abdullah bin
Zubair, bayi yang pertama kali lahir sewaktu hijrah, bapaknya adalah si
penolong Rasulullah, sedangkan ibunya adalah Asma bin Abu Bakar.[45]
Memang perintah untuk mengerjakan
shalat bagi anak kecil hanya sebatas pembiasaan kewajiban, bukan pelaksanaan
kewajiban. Hal ini sesuai dengan pendapat zakiyah Darajat[46]
bahwa apabila si anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama terutama ibadah
dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hal yang diperintah
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, serta tidak dilatih untuk menghindari
larangannya maka pada waktu dewasanya nanti akan cenderung kepada acuh tak
acuh, anti agama, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya
agama bagi dirinya. Tapi sebaliknya anak banyak mendapat latihan dan pembiasaan
agama, pada waktu dewasanya anti akan merasakan kebutuhan akan agama.
C. Keutamaan Shalat
Diantara keutamaan menjalankan shalat adalah:
1.
Menjadi penduduk surga.
Alloh swt.. menjelaskan bahwa orang yang menjaga
shalatnya, mereka akan menjadi penghuni surga. Sebagaimana firman-Nya :
وَالَّذِيْنَ
هُمْ عَلَى صَلاَ تِهِمْ يُحَافِظُونَ أُوْلَـئِكَ فِى جَنَتٍ مُّكْرَمُونَ
Dan orang-orang yang memelihara
shalatnya, mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. (QS al
Ma’arij[70]:34-35)[47]
2.
Shalat menjadi pembeda antara yang
mukmin dan kafir.
Shalat bukan hanya kewajiban ibadah biasa, tetapi
adalah rukun Islam yang mana benar-benar tidak boleh ditinggalkan. Shalat juga
menjadi parameter dan pembatas antara mukmin dan kafir. Melaksanakan kewajiban
shalat akan menjaga seseorang tetap berada dalam keislaman dan sengaja
meninggalkannya adalah bentuk kekafiran.
Rasulullah saw. menjadikan shalat sebagai rukun kedua dari rukun Islam
yang lima .
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda:
الْلإِ
سْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَالله وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ
الزَّكَاةَ الَمَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ
Islam itu ialah engkau akan menyembah Alloh, dan tidak
menyekutukan-Nya akan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang
diwajibkan, berpuasa ramadhan dan berhaji ke Baitul Haram (masjidil Haram dan
sekitarnya). (HR. Bukhori – Muslim)[48]
3.
Mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar.
Alloh swt.. berfirman bahwa dengan
mendirikan shalat, seseorang dapat terhindar dari perbuatan keji dan munkar,
sebagaimana dalam QS. Al-Ankabut[29] ayat 45:
وَأَقِمِ الصَّلَوةَ إِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَاالْمُنْكَرِ
Dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. [49]
Ketika
menjelaskan kepada anak tentang pahala surga, harus disertai dengan keadaan
gambaran surga, tentang kenikmatan di dalamnya sehingga anak akan memiliki
ketertarikan untuk melaksanakan shalat.
Menurut
Deni,[50]
tujuan utama shalat adalah membuka kepekaan hati manusia yang menjalankannya.
Orang yang shalatnya baik, maka akan memiliki kepekaan hati untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang akan memberi manfaat dan mana
yang akan memberi mudharat. Maka shalat yang dilakukan dengan benar dan baik
akan mempu menyebabkan manusia terhindar dari perbuatan keji dan munkar.
Siapapun
yang telah melakukan shalat tentulah ia harus mampu mengendaikan diri dari
berbuat keji dan munkar, serta menghindar dari berbuat aniaya dan kesia-siaan
yang lain. Semestinya shalat dijadikan sebagai penyadaran diri, bahwa apapun
yang kita lakukan dan dimanapun kita melakukan itu allah senantiasa mengetahui.
Sehingga manusia enggan untuk melakukan kemaksiatan dan dosa; manusia akan
berjalan di atas kebenaran dan kearifan.
4.
Menghapuskan kesalahan-kesalahan .
Diantara keutamaan shalat adalah dapat
menghapuskan kesalahan (dosa) kecil. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah
hadits riwayat Bulhori dan Muslim:
الصَّلَوَاتُ
الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانِ مُكَفِّرَاتٌ
لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَااجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“ Bagaimana menurut pendapat
kalian jika ada sungai di depan pintu seorang dari kalian, dia mandi di
dalamnya setiap hari lima kali, apakah tersisa dari kotoran tubuhnya sedikitpun
? Para sahabat berkata: Tidak tersisia dari
kotoran tubuhnya sedikitpun, maka Rasulullah saw. bersabda: Itulah perumpamaan
shalat lima
waktu yang Alloh menghapus dosa-dosa dengannya.”[51]
5.
Shalat adalah tiang agama.
Shalat memiliki peranan penting dalam beragama
sebagaimana diterangkan Rasulullah saw. bahwa shalat adalah tiang agama. Riwayat
dari Umar ra bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الصَّلاَةُ
عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ هَدَامَهَا
فَقَدْ هَدَامَ الدِّيْنَ
“Shalat itu
tiang agama, barang siapa mendirikan shalat, sesungguhnya dia telah mendirikan
agama, dan barang siapa meruntuhkan shalat, sesungguhnya dia telah meruntuhkan
agama.”[52]
6.
Shalat adalah wasiat terakhir
Rasulullah saw.
Shalat menjadi wasiat terakhir Rasulullah saw. kepada
umatnya. Wasiat ini beliau sampaikan pada saat detik-detik terakhir menjelang
wafatnya beliau saw. pada saat itu beliau bersabda:
الصَّلاَةُ
الصَّلاَةُ, وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَنَكُمْ
“Jagalah
shalat, jagalah shalat, dan budak-budak kalian.” (HR. Ibnu Majah dan
dishahihkan Al Albani dalam As Shilsilah ash shahihah) [53]
Dalam riwayat lain Ummu Salamah ra berkata,
sebagaimana dikutip Nafsin: “Adalah diantara akhir wasiat Rasulullah saw. ialah
‘Tetaplah kamu memelihara sholat dan tetaplah berbuat baik kepada budak-budak
sahayamu.’(HR. Ahmad).”[54]
7.
Shalat adalah Amalan yang dihisab
pertama kali.
Shalat menjadi ibadah parameter keberhasilan karena
bila shalatnya diterima, maka otomatis amal lainnya akan diterima. Bila
shalatnya ditolak, maka amal lainnya ditolak. Shalat juga menjadi ukuran
keberuntungan dan kebahagiaan, atau sebaliknya bisa menjadi kemalangan dan
kerugian.
8.
Shalat adalah ibadah yang istimewa
karena :
a.
Cara penerimaan perintahnya
melalui peristiwa besar, yaitu Isra’ Mi’raj.
b.
Diterima langsung oleh Rasulullah
saw. tanpa perantara.
D. Ancaman Malas Mengerjakan Shalat
Shalat memang kewajiban bagi setiap
Muslim, namun kenyataannya tidak semua umat Islam menjalankan perintah Alloh
swt. yang satu ini. Meskipun Alloh swt.. berkali-kali memerintahkan hamba-Nya
untuk menegakkan shalat, bahkan sampai Alloh swt.. menurunkan adzab kepada
mereka yang lalai sebagai peringatan, tapi tetap saja banyak hamba-hamba Alloh
yang meninggalkan kewajiban ini. Sangat banyak hamba Alloh yang lalai atau
malas mengerjakan kewajibannya sebagai seorang hamba. Mulai dari yang shalat
kadangkala (jarang-jarang), hanya mengerjakan tiga waktu saja, hingga yang
tidak mengerjakan shalat sama sekali. Padahal hampir setiap Muslim mengetahui
kewajiban shalat, namun masih banyak yang meninggalkannya.
Rizem Aizid menuliskan 12 macam
ancaman dan peringatan bagi yang malas atau meninggalkan shalat. Tulisan ini
dapat menjadi bekal bagi orang tua dalam memberi pengajaran shalat kepada anak
yaitu dengan membacakan ancaman tersebut sehingga anak akan memiliki rasa
bersalah dan takut ketika meninggalkan shalat
Diantara ancaman dan peringatan
tersebut sebagaimana ditulis Aizid adalah:[55]
1.
Menjadi Kafir
2.
Berdosa besar
3.
Menjadi orang yang munafiq
4.
Dapat menjadi orang yang berbuat
zhalim di dunia
5.
Mati dalam keadaan su’ul khatimah
6.
Mendapat azab kubur
7.
Menjadi penghuni neraka saqar
8.
Tenggelam ke jurang hawa nafsu
9.
Mendapat musibah dan bencana
10. Dapat dikuasai setan
11. Berkhianat terhadap amanat
12. Mendatangkan azab Alloh swt.. di dunia dan di akhirat.
Mengingat begitu besar akibat bagi mereka yang
meninggalkan shalat, maka sudah menjadi setiap musllim untuk selalu
memperhatikan shalatnya. Hal ini akan mendorong dirinya untuk saling menasihati
saudara sesama muslim karena rasa kasih sayang di antara mereka.
Ancaman-ancaman ini juga seharusnya menjadi cambuk
pelecut bagi orang tua untuk serius dalam mendidik anak agar mau melaksanakan
shalat, karena menjadi naluri orang tua jika tidak ingin melihat anaknya
sengsara di dunia terlebih di akhirat kelak.
BAB
III
PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN
KELUARGA
A. Peran dan Tanggung Jawab
Orang Tua
Keluarga
adalah suatu institutsi yang terbentuk karena ikatan perkawinan antara sepasang
suami istri untuk hidup bersama, seiya dan sekata, seiring dan setujuan dalam
membina mahligai rumah tangga untuk mencapai keluarga sakinah dalam lindungan
dan ridha Alloh swt.. Didalamnya selain ada ayah dan ibu, juga ada anak yang
menjadi tanggung jawab orang tua.
Perlu
dipahami bahwa keluarga, terutama orang tua berfungsi sebagai madrasatul awwal
(sekolah awal).[56]
Dimana pertama kali anak belajar tentang kehidupan, mengenal lingkungan baru
dan belajar melihat dunia.
Islam
menetapkan bahwa tanggung jawab pada diri seorang mukmin terhadap keluarganya
serta kewajibannya di dalam rumahnya.[57]
Rumah tangga yang Islami merupakan cikal bakal generasi kaum muslimin.
Rasulullah
saw. memikulkan tanggung jawab pendidikan anak secara utuh kepada orang tua[58].
Tersebut dalam hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. menyatakan bahwa
setiap manusia adalah pemimpin, laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangganya
dan ia bertanggung jawab atasnya. Begitupun istrinya, bertanggung jawab dalam
kepengurusan rumah tangganya.
Rasulullah saw. meletakkan kaidah mendasar
bahwa seorang anak itu tumbuh dan berkembang mengikuti agama kedua orang
tuanya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
كُلُّ
مَوْلُودِ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِدَّنِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
أَوْ يُنَصِرَانِهِ
“Tiadalah seorang bayi pun yang lahir melainkan ia
dilahirkan di atas fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau
Majusi, atau Nasrani.”[59]
Alloh
swt.telah memerintahkan orang tua untuk mendidik anak – anak mereka, mendorong
mereka untuk itu dan memikulkan tanggung jawab kepada mereka (QS. At
Tahrim[66]:6).dalam ayat ini Alloh swt. memerintahkan orang yang beriman untuk
menjaga diri dan keluarga dari siksaan api neraka. Juga perintah untuk
membimbning keluarga agar tidak mendurhakai perintah Alloh serta mengerjakan
apa yang diperintah-Nya.
Ibnu
al Qayyim mengatakan: ”Siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal
yang berguna baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah berbuat
kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat oirang yua
mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan
sunnah-sunnah agama. Lalu menyia-nyiakan dari diri mereka dan merekapun tidak
dapat memberikan manfaat kepada ayah mereka ketika dewasa.” [60]
Kelahiran anak dalam suatu keluarga selain memberikan
kebahagian tersendiri juga menimbulkan tugas baru bagi kedua orang tuanya,
tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pendidikannya. Islam memandang anak adalah
amanah Allah yang harus dipelihara dengan baik dari segala sesuatu yang
membahayakan baik yang berhubungan dengan badaniah maupun rohaniah.(Q.S
An-Nisa’[4]: 9)[61]
Telah
jelas bahwa orang tua adalah yang paling bertanggung jawab atas masa depan
anaknya. Karena itu tidak ada satupun alasan bagi mereka untuk menghindar dari
beban ini. Setiap orang tua dituntut memberikan pendidikan yang sesuai dengan
agama, agar fitrah anak tetap terjaga.
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, secara hirarkis
pokok-pokok dalam mendidik anak secara Islam itu meliputi tujuh tahapan
tanggung jawab yang harus dilakukan orangtua dan pendidik, yaitu :[63]
Pertama, tanggung jawab pendidikan iman. Di
dalamnya menyangkut tentang membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha
Illallaah; mengenalkan hukum halal dan haram kepada anak sejak dini; menyuruh
anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun; dan mendidik anak
untuk mencintai Rasul, keluarganya, serta membaca Al-Qur’an.
Kedua, tanggung jawab pendidikan moral. Jika
sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan
iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta
pertolongan, dan berserah diri kepadaNya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal
pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping
terbiasa dengan akhlak mulia. Sehingga dari sini, anak akan terhindar dari
jeratan perilaku suka berbohong, suka mencuri, suka mencela dan mencemooh,
serta terhindar dari kenakalan dan penyimpangan yang dilarang agama.
Ketiga, tanggung jawab pendidikan fisik.
Tanggung jawab ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi
fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Amanat ini di dalamnya
berisi tentang tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dan anak;
mengikuti aturan kesehatan dalam makan, minum, dan tidur; melindungi diri dari
penyakit menular; merealisasikan prinsip tidak boleh menyakiti diri sendiri dan
orang lain; membiasakan anak berolah raga; membiasakan anak untuk zuhud dan
tidak larut dalam kenikmatan; membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan
diri dari penggangguran, penyimpangan, serta kenakalan.
Keempat, tanggung jawab pendidikan rasio
(akal). Orangtua dan pendidik hendaknya mampu membentuk pola pikir anak dengan
segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu agama, kebudayaan, dan peradaban.
Di sini, anak diusahakan untuk selalu belajar, menumbuhkan kesadaran berpikir,
dan kejernihan berpikir.
Kelima, tanggung jawab pendidikan kejiwaan.
Pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik anak berani bersikap terbuka,
mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh
bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Salah satu bentuknya adalah
bagaimana mendidik anak untuk tidak bersifat minder, penakut, kurang percaya
diri, dengki, dan pemarah.
Keenam, tanggung jawab pendidikan sosial. Yakni
mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama.
Di antaranya berupa penanaman prinsip dasar kejiwaan yang mulia didasari pada
aqidah Islamiah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam. Sehingga si anak
di tengah-tengah masyarakat nantinya mampu bergaul dan berperilaku sosial
dengan baik, memiliki keseimbangan akal yang matang, dan tindakan yang
bijaksana.
Ketujuh, tanggung jawab pendidikan seksual. Di
sini, orangtua dan pendidik hendaknya mampu mendidik tentang masalah-masalah
seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan
naluri seks dan perkawinan. Sehingga ketika anak telah tumbuh menjadi seorang
pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja
yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia diharapkan
mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta
tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis.
Mengingat
keimanan adalah kunci pokok keselamatan, baik di dunia terlebih di akhirat,
maka tanggung jawab terhadap keimanan / keagamaan anak menjadi prioritas utama
dari orang tua. Orang tua harus mamiliki lepedulian dan kesadaran untuk
mendidik anaknya agar memiliki keimanan yang kuat dan melakukan amal shalih
(ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhoh). Pendidikan shalat menjadi kunci pokok
dalam pendidikan keimanan ini karena ia adalah tiang agama dan menjadi jaminan
keselamatan sebagaimana dijelaskan bahwa shalat adalah pembeda antara muslim
dan kafir yang didalamnya terkandung nilai-nilai keimanan.
Orang
tua yang berhasil mendidik anaknya menjadi manusia yang sholeh akan mendapat
keberuntungan, tidak hanya di dunia tetapi hingga akhirat, dimana hal tersebut
berupa pahala yang terus mengalir kepadanya sekalipun tubuh sudah lebur lapuk
dimakan tanah.
Imam
Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا
مَاتَ ابْنِ أَدَامَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ, صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ
” Apabila seseorang meninggal dunia,
maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak shaleh yang mendoakan untuknya.”[64]
Tidak
ada jalan lain untuk mendapatkan anak sholeh kecuali dengan memberikan
pendidikan agama dengan tepat dan sesuai petunjuk Rasulullah saw. sekali lagi
ini adalah motivasi bagi orang tua untuk menciptakan generasi religius, tidak
hanya generasi yang berguna dan terpandang dimata dunia.
Karena
mendidik anak adalah sebuah tanggung jawab, maka menyia-nyiakan mereka sama
halnya dengan mengundang murka Alloh swt.. tersebut dalam hadits bahwa sanksi
mengabaikan anak tidaklah ringan.
Diriwayatkan
pula bahwa Al Kasykasy al Anbari berkata,”Aku datang menghadap Nabi saw. dengan
membawa anak laki-lakiku. Beliau bertanya: Apakah ini Anakmu ? aku
menjawab:’Ya’. Beliau kemudian bersabda:’Janganlah sampai engkau menyakitinya,
jangan pula ia menyakitimu. ( HR. Imam Ahmad, Ibnu Majah, Abu Ya’la, Al
Baghawi, Ibnu al Qani, Ibnu Majah dan Ath Thabrani)
Barangkali
diantara makna anak yang menyakiti orang tua adalah sebagaimana yang dikatakan
Ibnu Qayyim “Maka ada sebagian anak yang menyalahkan ayahnya sendiri atas
tindakannya dalam mendurhakai orang tuanya dengan mengatakan:’Ayah, engkau
telah berbuat jahat terhadapku ketika aku kecil. Kini akupun balas
mendurhakaimu ketika dewasa. Engkau menyiakanku ketika aku kecil. Kini akupun
mengabaikanmu ketika engkau sudah tua renta”.[65]
Tentu
tidak ada seorang pun yang menginginkan keadaan seperti itu. Sadar akan
tanggung jawab dan kemudian bergerak untuk mendidik anak dengan seluruh
kemampuan adalah hal yang wajib dilakukan orang tua.
Perlu
disadari setiap orang tua bahwa anak adalah anugerah yang diberikan Alloh swt.
kepada orang tua. Al quran menggambarkan anak sebagai nikmat yang besar (QS.al
Isra’[17]:6). Anak juga keindahan yang
tidak dapat dilukiskan dengan perkataan, terlebih jika anak tersebut memiliki
akhlaq yang mulia, berbakti kepada orang tua dan terlebih menjadi anak yang
bertaqwa ( QS Al Furqan [25]
: 74 )[66]
Dan keberhasilan anak merupakan
dambaan orang tuanya. Keberhasilan tidak hanya dilihat dari sisi materi belaka,
akan tetapi dalam Islam keberhasilan adalah perpaduan dari sisi duniawi maupun
ukhrawi.
B. Pola Asuh Orang Tua
dalam Pendidikan Shalat
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang
diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku
ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif.
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara
perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan
pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk
menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada
pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses
interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan
seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi,
maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh
masyarakat. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara
orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anak nya disebut
sebagai pola pengasuhan. Interaksi anak dengan orang tua, anak cenderung
menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah
letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh.
Sementara itu menurut Baumrind,[67]pola
asuh pada prinsipnya merupakan parental control, yakni bagaimana orang tua
mengontrol, membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan
tugas-tugas perkembangannnya menuju proses pendewasaan.
Karena pendidikan shalat adalah suatu proses yang
membutuhkan waktu lama, maka pola asuh orang tua memiliki pengaruh dalam
pengajarannya.
Model dan teori pengasuhan Baumrind[68]:
1. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang
cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti
tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas
negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini
diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau
urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik.
Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu
mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini
nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak
berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol
diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya
baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
Pola asuh semacam ini sangat tidak sesuai dengan jiwa
anak. Dalam pendidikan shalat, pola asuh semacam ini akan menyebabkan anak
kehilangan ruh dalam mengerjakan perintah orang tua. Anak yang dididik dengan
pola ini memiliki kebebasan yang luas sehingga sangat tidak tepat digunakan
oleh keluarga muslim.
2. Pola Asuh
Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang
bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai
aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak.
Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan
yang diinginkan oleh orang tuanya.
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh
anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta
menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.
Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini
biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih
dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun
di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa
menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih
bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada
anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi
berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan
yang baik dari orangtua. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan
hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada
orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi,
berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
Melihat kelebihan dan kekurangan berbagai pola asuh
diatas, maka pola asuh yang paling efektif dalam pendidikan shalat adalah yang
bersifat otoritatif. Didalamnya anak tidak hanya sering mendapat masukan
tentang agama, tetapi juga diberi kebebasan untuk bertanya dan berfikir kritis
yang nantinya menjadi modal dalam membangun kesadaran dalam melaksanakan
perintah Alloh, shalat misalnya.
Sedangkan Hauser mengemukakan tiga model pengasuhan
dari sisi interaktif antara anak dan orang tua yaitu [69]:
1.
Pola asuh yang bersifat Mendorong
dan Menghambat
Pola asuh ini hampir sama dengan jenis pola asuh yang bersifat otoritatif
yang dikemukakan Baumrind, yakni pola asuh yang dilakukan oleh orang tua dalam
berinteraksi dengan anak bersifat mendorong (enablling) dan juga bersifat
menghambat (constraining). Pola asuh yang bersifat mendorong dan menghambat ini
mengandung komponen kognitif dan afektif.
2.
Pola asuh yang bersifat Mendorong
(Enabling)
Bermakna adanya dorongan terhadap anggota keluarga
untuk mengekspresikan pikiran-pikiran dan persepsi mereka. Pengasuhan yang
bersifat mendorong kognisi meliputi: memfokuskan pada pemecahan masalah,
mengikutsertakan dalam bereksplorasi tentang masalah-masalah keluarga, dan
menjelaskan sudut pandang individu pada anggota keluarga yang lain. Pola asuh
yang mendorong secara efektif adanya ekspresi empati dan penerimaan dari
anggota keluarga yang lain.
3.
Pola asuh yang bersifat Menghambat
Menandakan adanya hambatan yang dilakukan oleh orang
tua. Adapun menghambat yang bersifat kognitif meliputi: mengalihkan anggota
keluarga dari masalah-masalah yang mereka hadapi, tidak memberi /
menyembunyikan informasi pada anak, dan mengabaikan anggota keluarga dari
masalah-masalah keluarga. Sedangkan, menghambat yang bersifat afektif meliputi:
penilaian yang berlebihan (bersifat negatif atau positif) terhadap anggota
keluarga dan pandangan mereka.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam
mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang
pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial, ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan
kata lain, pola asuh orang tua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula
pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua
yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam,
kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut,
dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya
bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter).
Berdasar beberapa tipe pola asuh diatas, dalam pandangan saya maka pola
asuh yang paling baik/ideal adalah yang bersifat otoritatif (teori Baumrind)
dan model Mendorong dan Menghambar (teori Hauser). Hemat saya hal ini karena
keluarga tipe otoritatif memberi keseimbangan antara pembatasan dan kebebasan.
Keluarga yang seperti ini dapat mengembangkan rasa percaya diri anak, kebebasan
berekspresi tetapi orang tua memiliki standar kontrol terhadap kebebasan anak.
Konsep pola
asuh dalam Islam lebih berorientasi pada praktik pengasuhan, bukan pada gaya
pola asuh dalam sebuah keluarga.[70]hal ini sejalan dengan konsep pendidikan
Islam yang mengajarkan bahwa pola asuh yang dilakukan orang tua adalah
bagaimana membentuk insanul kamil pada anak-anaknya, yang didalamnya mencangkup
tentang model pengasuhan yang bagaimana seharusnya diterapkan orang tua dan
disesuaikan dengan karakter anak.
Beberapa ayat dalam al Quran menggambarkan bahwa
pengajaran disesuaikan dengan usia dan karakter anak. Sebagaimana ibu
dianjurkan menyusui anaknya selama 2 tahun awal (QS. Al Baqarah[2]:233).
Terlihat pula bagaimana metode pengajaran yang dilakukan Lukman terhadap
anaknya, sebagaimana usia anaknya mulai beranjak remaja(QS. Lukman[31]: 13-18).
Ayat-ayat tersebut manunjukkan bahwa pola asuh dalam konsep Islam memang tidak
menjelaskan gaya
pola asuh yang terbaik atau yang lebih baik, namun lebih menjelaskan tentang
hal yang selayaknya dan seharusnya dilakukan oleh setiap orang tua yang
semuanya itu tergantung situasi dan kondisi serta karakter anak.
Menurut Muallifah, [71]
pengaruh orang tua bisa menyangkup lima
dimensi potensi anak, yaitu fisik, emosi, kognitif, sosial dan spiritual.
Kelima hal tersebut berpengaruh dalam model pengasuhan orang tua. Mengingat
begitu kompleksnya dunia anak, maka perlu kiranya bagi orang tua untuk
memberikan pengasuhan yang lebih proposional.
Nashih Ulwan, sebagaimana dikutip Muallifah,
mendeskripsikan pengasuhan yang lebih mengarah pada metode pendidikan yang
berpengaruh terhadap anak. Diantaranya:
- Pola asuh yang bersifat keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang
sangat efektif dan sangat berpengaruh dalam mempersiapkan dan membentuk
keimanan, amal ibadah dan akhlaq anak yang diharapkan akan berpengaruh juga
terhadap tumbuhnya ketaqwaan dalam diri sang anak yang tentunya akan mengandung
di dalamnya yakni kecerdasan emosi.
Faktor anak didik sendiri yang tengah mrngalami masa
kanak-kanak awal berada pada tahap perkebangan yang cukup untuk menerima
pendidikan melalui keteladanan ini, sebab masa ini anak memiliki rasa ingin
tahu dan menjelajah. Sementara dari segi intelektual, pemikiran anak masih
sangat bersifat indrawi, yakni melalui penglihatan sekitar 83 %. Sedangkan
melalui pendengaran hanya 11 % sehingga cara belajar pada anak masa ini masih
apa yang dapat diindra oleh mereka, khususnya indra penglihatan dan
pendengaran.[72] Dengan
demikian keteladanan ini menjadi sangat utama dan pokok.
Dalam masalah keteladanan ini maka Rasulullah saw.
Merupakan seorang figur yang sangat perlu untuk dicontoh dalam segenap
pendidikan Islam. Hal ini ditegaskan oleh firman Alloh swt.. Yang terdapat
dalam surat Al
Ahzab ayat 21 yang artinya: “Sesungguhnya telah ada 9diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.”
- Pola asuh yang bersifat nasihat,
Di dalamnya mengandung beberapa hal. Pertama,
seruan/ajakan yang menyenangkan disertai dengan penolakan yang lemah lembut
jika memang ada perilaku anak yang ddianggap tidak sesuai dengan norma yang
berlaku. Kedua, metode cerita yang disertai perumpamaan yang mengandung
pelajaran dan nasihat. Ketiga, gabungan antara metode wasiat dan nasihat.
Dalam menerapkan metode ini bisa dilakukan dengan
berbagai cara, seperti: dilakukan dengan menyenangkan, penuh kelembutan,
melalui cerita atau perumpamaan, melalui dialog yang disesuaikan dengan tingkat
pemahaman anak, memulai nasihat dengan bersumpah kepada alloh, dilakukan dengan
sederhana dan diiringi dengan humor yang tetap berwibawa agar tidak membosankan
dan menggunakan peragaan tangan dan gambar atau dipraktikkan secara praktis
serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
- Pola asuh dengan perhatian atau pengawasan yang meliputi perhatian dalam pendidikan sosialnya, terutama praktik dalam pembelajaran, pendidikan spiritual, moral, konsep pendidikan yang berdasarkan pada nilai imbalan (reward) dan hukuman (punishment) terhadap anak.[73]
Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan ini bisa memberi
hasil yangpositif, karena anak kecil memiliki kecenderungan kepada kebaikan,
kesiapan fitrah, kejernihan jiwa sehingga sangat mudah untuk menjadi baik
terutama mental, moral dan spiritualnya. Hal ini bisa diperoleh apabila
tersedia faktor pendidikan yang Islami dan lingkungan yang baik dan kondusif.
Ketiga metode pendidikan yang disebutkan oleh Ulwan
tersebut sangat sesuai diterapkan dalam melaksanakan pendidikan shalat kepada
anak. Karena itu orang tua harus bisa menjadi figur teladan bagi anak, bisa
menjadi seorang penasihat dan penceramah yang baik serta harus bisa memberi
pengawasan dengan memberi reward (hadiah)
dan punishment (hukuman) secara adil, seimbang dan proposional.
Karena secara umum pola asuh dalam Islam adalah
mempersiapkan generasi muda yang berakhlaqul karimah untuk menuju manusia yang
sempurna (insanul kamil), maka sesungguhnya Islam memberi penjelasan bahwa
pendidikan tidak hanya dimulai ketika anak lahir dan tumbuh berkembang, tetapi
jauh-jauh hari sebelum anak lahir dan bahkan sejak orang tua belum menikah.
Diantaranya dengan memilih jodoh yang beragama, berkualitas dan berakhlakul
karimah.
Miftahul Huda dalam penelitian interaksi pendidikan
dalam al quran[74]
menjelaskan bahwa interaksi yang dikehendaki adalah pendidikan yang bersifat
prenatal dan postnatal dalam lingkungan keluarga. Pendidikan prenatal merupakan
usaha yang dilakukan orang tua dalam rangka mempersiapkan generasinya yang
dilakukan melalui doa dan nazar. Pendidikan postnatal dimulai dengn memberi
nama bayi baru lahir dengan baik, mendoakannya dan memintakan perlindungan
kepada Alloh swt.. dari gangguan syetan. Demikian halnya pendidikan secara
dasar meliputi usaha mengasuh dan
merawat bayi dengan memberi makan dan minum untuk pertumbuhan jasmaninya. Pada
saatnya pendidikan juga tampil dalam bentuk pemberdayaan akidah, syariah, dan
akhlaq.
Pendidik anak memiliki kompetensi dasar bijak, sabar,
demokratis, memahami kejiwaan anak, dan intuitif (mandapat bimbinga Ilahi).
Sifat anak didik digambarkan dengan assosiatif, patuh, komunikatif dam kritis
sehingga mendukung keberhasilan pendidikan. Sebaliknya kegagalan pendidikan
disebabkan oleh sikap disassosiatif, sikap menentang anak didik dan pengaruh
lingkungan pergaulan.[75]
Karakter pendidik (orang tua) dalam al Qur’an dipetakan
dalam tiga ranah yaitu; sikap, tindakan dan keyakinan. Pertama, karakter sikap
mendidik ditunjukkan dengan kompetensi bikjaksana (karakter Luqman) dan sabar
(karakter Nuh). Kedua, karakter tindakan mendidik tertuju pada sikap demokratis
(karakter Ibrahim), dialogis dan psikologis (karakter Ibrahim dan Ya’qub)/
ketiga, karakter keyakinan memfokuskan pada dasar gerak pendidikan pada aspek
transendensi-intuitif (karakter Maryam, Hannah dan Zakaria).[76]
Huda melanjutkan bahwa netode pendidikan anak dalam al
Quran terdiri dari metode searah dan metode interaktif. Metode searah
menggambarkan sentralisasi kegiatan pendidikan pada pendidik (orang tua)/
metode ini memiliki relevansi dengan materi pengajaran yang bersifat dogmatis.
Sikap tegas orang tua disertai tanggung jawab atas pendidikan mampu
mengkondisikan sikap patuh bagi anak.
Metode interaktif menggambarkan interaksi pendidikan
berjalan dua arah antara orang tua dan anak. Metode ini menjadikan dialog
sebagai sarana komunikasi untuk penyampaian pesan pendidikan. Efektifitas
metode ini mengkondisikan pendidikan pada sifat demokrartis dan humanis, karena
memberdayakan potensi anak didik secara emosional dan rasional.[77]
Kedua metode yang disebutkan di atas hampir mirip
dengan yang diterapkan dalam pla asuh otoritatif milik Baumrind. Keduanya
menekankan pada pemberian kebebasan anak melalui pemberian kesempatan
berkreatifitas dan kontrol orang tua, yang digambarkan Huda sebagai metode
searah, dimana orang tua menjadi sosok utama yang hadir dalam pengajaran
dogmatis seperti pelajaran tentang hukum dan rukun serta tata cara shalat.
Dengan menerapan metode ini, pendidikan shalat akan kepada
anak akan menyenangkan dan tidak bersifat pemaksaan sehingga akan lebih
effektif dan efisien.
BAB
IV
PENDIDIKAN KEAGAMAAN ANAK
A. Tugas Perkembangan Anak
Pandangan para pakar
mengenai keberadaan fase perkembangan anak usia 6-12 tahun ternyata amat
variatif dengan macam-macam sebutan. Dicatat oleh Zulkifli L.[78],bahwa
anak dalam rentang usia 6-11 tahun, secara biologis, Aristoteles menyebut
sebagai masa anak-anak, masa sekolah, dan masa sekolah. Joham Amos Comenius,
dalam Didactica Magna menyebut sebagai masa sekolah bahasa ibu. Karena pada
periode ini anak baru mampu menghayati setiap pengalaman dengan pengertian
bahasa sendiri (bahasa ibu) yang dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain
yaitu untuk mendapatkan impresi dari luar sebagai pengaruh, sugesti serta
tranmisi kultural dari orang dewasa, juga untuk mengekspresikan kehidupan
batinyya pada orang lain.[79]
Sementara itu Charlotte Buhler menyebut anak usia 5-8 tahun sebagai masa
sosialisasi anak dimana anak mulai memaasuki masyarakat luas sehingga rasa
sosial mlai berkembang dan mengenal dunia sekitar secara obyektf. Di usia 9-13
tahun disebut masa sekolah rendah, dimana jasmani berkembang pesat diikuti oleh
keinginan yang sangat besar akan sesuatu dan kejiwaaannya mulai nampak tenang.
Di usia ini mulai timbul kritik terhadap diri sendiri, kesadaran akan kemauan,
penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri disertai dengan berbagai
pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.
Kohnstamm menyebut usia ini
sebagai masa anak sekolah / masa intelektual. Oswald Kroh menggolongkan dalam
masa menentang kedua atau masa keserasian atau masa bersekolah. dalam pandangan
Jean Jacques Rousseau berada pada masa pendidikan jasmani dan latihan panca
indra. Pendapat yang variatif dari para pakar mengenai keberadaan perkembangan
anak usia 6-11 tahun dengan sudut pandang biologis, didaktis, dan psikis ini
manakala dicermati ternyata antar pandangan dapat saling melengkapi.
Sementara itu Muhammad
Utsman Najati dalam, Al Hadits an
Nabawi wa ‘Ilm an Nafs, menyebut usia ini dalam
fase kanak-kanak menengah dan kanak-kanak akhir. Fase kanak-kanak menengah
dimulai dari usia pertama kali nak-anak berangkat ke sekolah untuk belajar di
luar lingkungan keluarga. Fase ini juga merupakan awal mereka bergabung dengan
komunitas sosial ditengah –tengah sekolah dan diantara para pendidik. Di fase
ini wawasan anak ulai terbuka, selain itu uga mulai memaasuki masa tamyiz
(mampu membedakan hal yang baik dan buruk). Karena itu Rasulullah saw. memerintahkan
untuk mulai mangajarkan perintah agama, termasuk sholat pada fase ini, sekitar
7 tahun.
Fase kanak-kanak terakhir
dimulai sejak usia 9 tahun sampai 12 tahun. Dimana merupakan masa perkembangan
kecerdasan anak dan yang menentukan separo kecerdsan seorang anak di
masamendatang. Fase ini adalah fase
perkembangan yang sangat penting untuk mendidik anak tentang nilai-nilai
etika dan kaidah-kaidah dasar agama. Rasulullah saw. sendiri telah
memerintahkan memukul anak berusia sepuluh tahun yang tidak mau mengerjakan
shalat.[80]
Sejalan dengan itu Abdul
Mujib dalam buku Nuansa-Nuansa Psikologi
Islam, menulis bahwa masa ini digolongkan dalam fase tamyis, yaitu dimana
anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah.
Tugas perkembangannya adalah (1) perubahan persepsi kongkrit menuju pada
persepsi yang abstrak, misanya persepsi tentang ide ketuhanan, alam akhirat,
dan sebagainya;(2) pengembangan normatif agama melalui institusi sekolah, baik
yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.[81]
Seperti halnya perubahan fisik, perubahan psikis juga
berkembang dalam diri anak, yaitu :
1.
Perkembangan kecerdasan.
Perkembangan
yang sangat menonjol adalah perkembangan pikiran, khusunya kecerdasan.
Perkembangan kecerdasan terjadi cepat sekali. Anak sudah mulai dapat memahami
hal yang abstrak. Kecerdasannya untuk berfantasi/berkhayal sangat besar. Anak
sangat suka mendengar cerita, kisah atau dongeng yang diceritakan oleh orang
tua dan guru.[82]
Bagi pendidik usia ini merupakan periode kritis,
karena dalam dorongan berprestasi anak membentuk kebiasaan untuk mencapai
sukses, tidak sukses atau sangat sukses. Sekali terbentuk kebiasaan, maka cenderung
akan menetap sampai dewasa.[83]
Pada umr 8-9 tahun, kemampuan membaca pada anak sudah
mulai muncul. Apabila orangtua dan guru dapat menyediakan bahan bacaan yang
sesuai dengan perkembangan jiwa anak dan mendukung keimanan maka tentu sangat
bermanfaat. Kisah cerita yang disukai anak pada usia ini adalah cerita yang
sesuai dengan keadaan mereka, misalnya tokoh cerita anak yang sebaya dengannya.
Mereka suka mendengar atau membaca cerita tentang hewan yang pernah dilihatnya,
pemandangan alam yang indah memesona.
Pada usia 10-12 tahun perkembangan kecerdasan anak
berjalan cepat, sehingga kemampuan memahami hal-hal yang abstrak semakin
meningkat dan pada usia 12 tahun anak
barulah mampu memahami hal-hal yang abstrak. Penjelasan keimanan secara
sederhana sudah dapat diberikan kepada anak usia ini sesuai dengan perkembangan
kecerdasannya.
2.
Perkembangan sosial
Kecenderungan anak usia 6-9 tahun untuk bergaul dengan
teman sebaya, membentuk kelompok, dan membuat kesepakatan diantara mereka.
Teman-temannya itu kadang lebih mendapat perhatian dan prioritas daripada orang
tuanya. Mereka mulai menjauh dari orang dewasa, karena mereka ingin berbincang
dan bercerita sesama mereka tanpa diganggu oleh orang dewasa. Mereka tidak
ingin terkucil dari teman-temannya. Apa yang dilakukan temannya, ia pun
melakukannya. Misalnya mode pakaian , cara berbicara, gaya berjalan dan sebagainya ingin ia tiru
seperti teman-teman dalam kelompoknya. Jika teman-temannya pergi mengaji, ia
pun pergi mengaji. Apabila anak pada usia ini tidak mempunyai teman atau
terkucil dari teman sepergaulan maka mereka akan merasa menderita, akibatnya
perkembangan jiwa sosialnya akan tidak sehat.
Anak pada usia 10-12 tahun, telah mampu menghubungkan
agama dan masyarakat. Mereka sudah tahu bahwa mencela atau melecehkan agama,
menyakiti pemeluknya, adalah tidak baik. Oleh karena itu kefanatikan dan
kecintaan kepada agamanya semakin nyata bahkan terkadang sikap sebaliknya
terhadap agama lain mulai muncul. Disinilah peran orang tua dan guru untuk
mengarahkan sikap cinta agama dan kefanatikan, agar mereka tidak menjurus
kepada mencela atau memusuhi orang yang tidak seagama dengan dirinya. Harus
pula dijaga jangan sampai terpahami oleh anak bahwa agama itu sama. Jika hal
ini terjadi, kebanggaan dan kecintaan kepada agamanya (Islam) menjadi
berkurang.
3.
Perkembangan Kepribadian
Anak yang berkembang kepribadiannya pada umur balita
baik, akan dapat meneruskan perkembangan kepribadian yang baik pada masa
selanjutnya. Suasana keluarga yang nyaman,tenang,dan penuh perhatian antara satu
sama lainnya akan menjadikan si anak berkembang dengan ceria,lincah dan
bersemangat. Masalah yang berat bagi anak pada usia ini adalah apabila sikap
negatif dan perlakuan kasar dari orang tuanya terlalu keras,bersikap otoriter,
selalu memerintah,melarang dan memaksakan disiplin yang kaku kepada
anakanaknya, anak akan merasa tertekan, sehingga hatinya akan berontak
kepribadiannya menjadi kaku. Ia akan merasa dirinya tidak berharga dan takut
bergaul dengan orang lain. Bahkan sikap benci dan perasaan negatif yang
dialaminya dapat berkembang kepada semua orang. Hal ini dapat berakibat orang
lain sulit untuk menerimanya dan mugkin membencinya karena sikap dan
perilakunya negatif.
Dalam psikologi dikenal umur kejam atau masa pueral.
Masa ini biasanya berkisar antara 10-11 tahun. Ciri-cirinya seorang anak
memperlihatkan sikap tidak bersahabat dengan lingkungannya. Mereka cenderung
bertingkah kurang ajar suka mengganggu,menyakti dan merusak. Belas kasihan
kepada dirinya menjadi berkurang walauun dia tidak sedang menyakiti orang lan.
Walaupun masa ini berlangsung sangat singkat, namu pengaruhnya bisa menjalar
sampai usia dewasa. Apanila sikap menyakiti, merusak, atau mengganggu ini
dibiarkan dan tidak diantisipasi, makaakan terbawa-bawa sampai saat kedewasaannya.[84]
Sikap seperti itu justru membawa anak pada kondisi
yang anti disiplin. Tidak mau disuruh dan bersikap melawan. Perintah shalat di
usia 7-10 tahun laksana sedia payung sebelum hujan. Ini merupakan tindakan
antisipasi yang tepat dan bermanfaat. Sudah tentu jika bimbingan shalat itu
berhasil pada usia itu, pembentukan pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab
akan berjalan mulus sampai dewasa.
Masa umur kejam kemudian tergantikan dengan masa
pueral, dimana anak mulai memperhatikan dirinya.tahapan ini disebut para ahli
psikologi sebagai periode subjektif (12-14 tahun). Hidup sang anak tidak lagi
diarahkan keluar dirinya me;ainkan kedalam dirinya. Di usia seperti ini
tampaknya kehidupan kerohanian dan perintah-perintah agana sudah mulai manarik perhatiannya.saat
itulah tiba saatnya anak mencapai kematangan utuk mengerti merasai dan
menghayati kehidupan orang lainketika itu anak-anak menginjak awal hidup
kesusilaan menjelang perkembangan selanjutnya.[85]
B.
Perkembangan Keagamaan Anak
Dalam psikologi Islam, manusia memiliki struktur ruh
yang keberadaannya menjadi esensi manusia. Abdul Mujib[86]
menuliskan bahwa struktur ruh memiliki alam tersendiri yang disebut alam
arwah,yang mana alam tersebut ada di luar dan di dalam alam dunia. Alam ruh
diluar alam dunia ada kalanya sebelum kehidupan dunia dan ada kalanya
sesudahnya. Oleh sebab itu, kehidupan manusia meliputi tiga alam besar, yaitu:
alam perjanjian, alam dunia dan alam akhirat.
Alam perjanjian adalah saat manusia menerima
perjanjian primordial dengan Allah tentang pengakuan Alloh swt. sebagai Tuhan.
Perjanjian ini sebagai bentuk kesanggupan manusia untuk tetap mentauhidkan
Alloh swt..yang akan dipertanggung jawabkan kelak sesudah kembali kepada-Nya. Karena
itu sesungguhnya manusia sebelum lahir sudah memiliki jiwa berkeTuhanan.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) dan orang tuanyalah yang nantinya akan
memberi warna pada anak itu, apakah tetap membimbingnya dalam keadaan fitrah
atau justru mengotori kefitrahan itu. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah ra.
berkata, Rasulullah saw. bersabda :
كُلُّ
مَوْلُودِ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِدَّنِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
أَوْ يُنَصِرَانِهِ
“Tiadalah seorang bayi pun yang lahir melainkan ia
dilahirkan di atas fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau
Majusi, atau Nasrani.”[87]
Penyebutan fitrah dalam al quran adalah firman-Nya
sebaai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. “(QS Ar Rum [30]:30)[88]
Muhammad Muhyiddin[89]
menjelaskan bahwa makna fitrah dalam sabda Rasulullah saw. merupakan makna
etimologis yang berarti “suci”. Sementara makna fitrah dalam ayat di atas
merupakan makna terminologis akan “kesepakatan rabbani” yang telah dibuat oleh
manusia dengan Tuhannya sendiri. Dua makna ini –etimologis dan terminologis-
bukanlah dua makna yang saling bertentangan atau berlawanan. Bayi yang baru
lahir adalah suci secara spiritual karena ia telah mengalami proses pembentukan dan perkembangan di dalam rahim
seorang ibu bervisi ilahi. Jiwanya suci karena terdominasi oleh ruh ketuhanan.
Dengan demikian sesungguhnya setiap bayi yang lahir sudah memiliki nilai-nilai
keberagamaan.
Menurut Muhammad Utsman Najati[90],
kesiapan yang bersifat fitrah ini perlu dipupuk dan dikembangkan melalui proses
pendidikan dan pengajaran. Manusia memiiki potes untukmengenal kebenaran dan
melakukan amal baik, dan ia juga memiliki potensi untuk terpengaruh kondisi
keluarga dan lingkungannya yang tidak positif, sehingga ia menimpang dari
fitrah asalnya. Akhirnya ia pu cenderung kepada kebatilan dan peruatan buruk.
Dengan fitrah yang telah
dibawa sejak lahir, manusia mampu membedakan antara yang benar dan yang salah,
antara yang baik dan yang buruk. Ia juga memiliki kesiapan untuk memilah jalan
yang benar dan jalan yang sesat melalui anugrah Alloh, yakni berupa kemerdekaan
berkehendak (QS. Al Balad[90]:10 dan al Insaan [76]:3).
Melalui fitrahnya, manusia
mampu mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, yang benar dan yang
salah, yang baik dan yang buruk, serta yang mulia dan yang hina.dengan
fitrahnya, manusia cendeerung berbuat baik dan mencari ketenangan jiwa. Jika ia
melakukan perbuatan buruk, perasaannya akan terusik dan menjadi tidak tenang.
Dan jika ia tidak akan suka jika orang lain sampai mengetahuinya. Jiwa manusia
akan merasa aman dengan sesuatu yang bisa menimbulkan pujian. Ia tidak akan mau
sesuatu yang mengakibatkan celaan. Fitrah semacam in akan terus tumbuh melalui
proses pendidikan yang baik dan akan melemah kalau tidak mendapatkan pendidikan
yang baik.
Perkembangan kesadaran
beragama seseorang adalah berkelanjutan dan berkesinambungan yang lazim dimulai
dari fase anak, fase remaja, fase dewasa, dan fase tua, dan itu bukan
terupus-putus. Perkembangan rasa beragama
terjadi melalui pengalaman hidup anak sejak kecil, terutama di
lingkungan keluarganya. Semakin banyak pengalaman agama yang diperoleh anak di
usia dini, maka pengaruhnya akan semakin dalam di hati sanubari.[91]
Selanjutnya Yasin Musthofa
menjelaskan bahwa pada usia anak anak awal, konsep mengetahui Tuhan lebih
banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Anak menghayati konsep ketuhanan
sesuai dengan tingkat perkebangan intelektualnya. Dalam menanggapi agama, anak
masihmanggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang tidak
masuk akal bagi orang dewasa.
Dan rasa keagamaan pada anak
hampir sepenunya autorotarius, artinya konsep keagamaan pada diri anak dipengaruhi
oleh faktor diluar mereka. Anak-anak melihat dan mengikuti apa-apa yang
dikerjakan dan diajarkan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan
dengan kemaslahatan agama seperti ikut mengerjakan shalat, menghadiri majlis
ta;lim dan lain sebagainya.
Zakiah Darajat dalam Ilmu Jiwa Agama [92]menjelaskan
bahwa mulai umur 3 dan 4 tahun anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang
ada hubungannya dengan agama, misalnya: “Siapa Tuhan, di mana surga, bagaimana
cara pergi kesana?” Dan cara memandang alam ini seperti memandang dirinya,
belum ada pengertian yang metafisik. Hal-hal seperti kelahiran, kematian,
pertumbuhan dan unsur-unsur lain diterangkan secara agamis.
Ketika anak berumur 6-12 tahun, keberagamaan anak
ditandai dengan ciri-ciri:
1.
Sikap keberagamaan anak masih
bersifat reseptif namun sudah disertai dengan pengertian.
2.
Pandangan dan paham ketuhanan
diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman
kepada indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi keagungan-Nya.
3.
Peghayaran secara rohaniah semakin
mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.[93]
Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia 6-12 tahun
ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang
berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungan. Oleh
karena itu dalam mengenalkan Ruhan kepada anak sebiknya dironjolkan sifat-sifat
pengasih dan penyayangnya, jangan menonjolkan sifat-sifat Tuhan yang menghukum,
mengadzab atau memberikan siksaan denga neraka.[94]meskipun
demikian tidak ada salahnya mengenalkan anak akan kerasnya siksa neraka dan
nikmatnya pemandangan surga, tetapi tentu saja disesuaikan dengan nalar dan
kemampuan merespon anak.
Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih
bersifat mekanis,sehingga kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil
sosialisasi orang tua, guru dan lingkungannya. Oleh karena itu pengamalan
ibadahnya masih sering bersifat
peniruan, belum dilandasi kesadarannya.
Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah
kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial.
Anak mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai
pribadi atau nilai-nilai keluarga. Dia mulai mengerti bahwa agama bukan
kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat. Berdasarkan
pengertian ini, maka shalat berjamaah, atau shalat ‘Idul fitri/’Idul adha, dan
ibadah sosial sangatlah menarik baginya.
Dalam pandangan Amin sebenarnya anak-anak memiliki
beberapa kemampuan dalam pengembangan kreatifitas keagamaannya. Hal-hal yang
berkenaan dengan kehidupan keagamaan, anak mempunyai daya pikir dan daya nalar
sesuai dengan taraf perkembangan akalnya. Kemampuan-kemampuan anak dalam
masalah keagamaan atau spiritualita ini hendaknya diarahkan oleh orang tua
untuk memupuk perasaan spiritualitas anak sehingga dalam diri anak sejak dini
telah tertanam semangat keagamaan yang tinggi.[95]
C.
Usia Pendidikan Shalat
Hukum mendirikan salat fardu
lima waktu
sehari semalam adalah fardu ‘ain bagi setiap umat Islam yang mukallaf. Artinya,
setiap orang Islam yang mukallaf
dibebani kewajiban mendirikan salat fardu dan harus ditunaikan sendiri,
tidak dapat dibebankan dan diwakilkan pada orang lain sekalipun pada kerabat
dan ahli waris terdekat.
Memang kewajiban mendirikan
salat fardu merupakan beban setiap orang Islam yang mukallaf, bukan beban
anak-anak yang muslim. Akan tetapi mendidik dan melatih mereka untuk mampu
mendirikan salat fardu sampai dengan terbiasa mendirikannya adalah
diperintahkan oleh nabi saw. kepada setiap orang tua (ayah dan ibu) yang diberi
amanat oleh Allah swt. mengasuh anak-anak buah kasih sayang pernikahan mereka
Harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak bukan masa
pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan , latihan
dan pembiasaan.[96] Karena
itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal
mereka ketika memasuki usia baligh, dimana pada masa ini mereka sudah
mendapatkan kewajiban dalam beribadah sehingga pelaksanaaan ibadah yang
diwajiban oleh Alloh swt. bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan
mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah
pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Dalam Islam ada kaidah bahwa
dalam mendidik anak, orang tua harus memperhatikan masa atau umur anak didik.
Tahapan umur itu dapat memberi petunjuk
yang jelas bahwa dalam mendidik hendaknya orang tua memperhatikan jenjang
biologis, yaitu umur dan fisiknya.[97]dengan
demikian pendidikan agama bukan menjadi beban dalam kehidupan kecil mereka.
Pendidikan agama menjadi sesuatu yang menarik minat dan perhatian mereka.
Seorang tokoh sekaligus
pakar psikologi Barat memberikan pernyataan, sebagaimana ditulis Miftah Faridh,
[98]bahwa
sebaiknya agama tidak perlu dipaksakan kepada anak-anak. Dunia anak adalah
dunia bermain. Kesenangan dan keceriaan selalu berada di sekelilingnya. Mereka
belum sempurna akalnya, sehingga segala macam aturan yang bersifat mengikat
dikhawatirkan akan mengganggu kejiwaannya.
Perlu tanggapan serius atas
pernyataan semacam itu. Menurut Miftah, pernyataan semacam itu adalah bentuk
ghazwul fikri (perang pemikiran) terhadap prinsip pendidikan Islam. Memang
tidak dapat disangkal bahwa anak merupakan generasi yang nantinya diharapkan
jadi penegak agamadan pengibar panji Islam. Mungkin Barat memang iri dengan
sifat Islam yang sangat perhatian dengan pendidikan anak. Karena itu, berdalih
masalah psikologi, dia menganjurkan supaya anak-anak tidak diberikan, baik
materimaupun praktik ibadah keagamaan.
Padahal pendidikan ibadah terhadap anak kecil,
terutama ibadah shalat merupakan fase
penyempurna pada fase pendidikan dan pembinaan akidah yang telah ditanamkan
sebelumnya. Karena makna hakiki dari pelaksanaan ibadah yang dipraktekkan oleh
anak-anak dalam kehidupan sehari-harinya akan menambah kebenaran akidah yang
diyakini. Dan pelaksanaan ibadah yang dilakukan anak-anak bisa dijadikan
barometer adanya akidah yang tertanam secara kokoh pada jiwa mereka. Semakin
tinggi nilai-nilai ibadah yang mereka miliki, akan semakin tinggi pula keimanan
yang tertanam dalam jiwa mereka. [99]
Karena itu tepat apa yang
dikatakan Miftah faridh :
Secara kejiwaan bisa dipahami bahwa justru tatkala
seseorang masih dalam masa kanak-kanak dia harus mendapatkan pendidikan dan
praktik agama. Sebagaimana kita ketahui, ada masa-masa yang kehidupan itu akan
membekas dalam benak seseorang sampai kapan pun ia hidup. Masa anak-anak
sebelum dewasa terbukti paling efektif memberikan pemahaman yang menghujam
kedalam diri seseorang. Dalam ilmu biologipun dikatakan, kondisi oprimal otak
(sebagai salah satu komponen berfikir) ada pada masa perkembangan.[100]
Secara
umum, untuk pertama kalinya seorang anak belajar shalat serta hukum-hukum agama
dari bapak dan ibunya. Oleh sebab itu, kapan seharusnya mulai mengajarkan anak
tentang shalat? Jawabannya dari hal itu akan dijelaskan oleh kisah berikut :
Hisyam
bin Sa’id bercerita. “Saya dan beberapa orang pernah menemui Muadz bin Abdullah
bin Hubaib Al Jahni, lalu ia bertanya kepada istrinya,’Kapan seorang anak mulai
melaksanakan shalat?’ Istrinya menjawab, ‘Baiklah, ada seorang laki-laki
diantara kita yang ingat jawaban Rasulullah saw. ketika beliau ditanya tentang
itu.
Beliau
saw. menjawab:
إِذاَ
عَرَفَ يَمِيْنَهُ مِنْ شِمَالِهِ فَمُرُّوهُ بِالصَّلاَةِ
” Jika seorang anak sudah bisa membedakan antara arah kanan dan
kiri, suruhlah ia untuk mengerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud) [101]
Abdullah bin Umar bin
Khatab ra berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda :
إِذَ
أَفْصَحَ أَوْلاَدَكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهِ ثُمَّ لاَ تُبَالُوْا
مَتَى مَاتُوا وَإِذَا أَثْغَرُوْا فَمُرُّوْهُمْ بِالصَّلاَةِ
” Jika Anak-anak kalian telah fasih berbicara, ajarilah mereka
kalimat La ilaha illallah, dan janganlah kalian mempedulikan kapan mereka
meninggal. Jika telah tumbuh gigi depan mereka, suruhlah mereka mengerjaan
shalat.’ (HR.
Ibnus Sinni) [102]
Nabi
saw. memberikan batasan umur disuruhnya anak-anak kecil mengerjakan shalat,
karena umur sebelum itu merupakan masa meniru kedua orang tua mereka dan upaya
membuat mereka mencintai shalat. Al Hakim
dan Abu Dawud, meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash,
bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا
وَهُمْ أَبْنَاءَ عَشْرٍ وَفَرِّ قُوهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika
mereka telah berumur 7 tahun dan pukullah mereka (jika mereka tidak mau
mengerjakannya) ketika mereka telah berumur sepuluh tahun. Pisahkanlah juga
tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan).”[103]
Anak-anak
dalam rentang usia 7-10 tahun mulai memiliki kemampuan untuk mengemban amanah.
Pada usia tersebut berdasarkan perkembangan intelektualitasnya, seorang anak
sudah bisa memahami arti prosedur suatu aktivitas sehingga ia bisa menjalankan
urutan-urutan rukun shalat beserta bacaannya. Anak juga sudah memiliki rasa
tanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadanya. Jadi tepat sekali
Rasulullah saw. memerintahkan orang tua
mendidik anak dengan shalat pada saat anak memiliki kemampuan itu.
Tetapi
perintah shalat pada usia itu tidak akan terlaksana jika anak tidak memiliki
ilmu tentang shalat. Karena itu orang tua perlu memahamkan tentang shalat
sebelum usia 7 tahun. Hal ini diharapkan ketika anak usia 7 tahun dan
diperintah shalat, mereka akan mengerjakanya dengan benar.
BAB V
PENDIDIKAN DAN PENANAMAN KEGEMARAN
SHALAT
Shalat adalah tiang agama, rukun iman yang kedua,
pembeda antara yang kafir, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa shalat
memiliki kedudukan yang sangat utama dalam Islam. Karena itu setiap muslim
wajib untuk melaksanakan shalat. Tidak ada ‘uzur ataupun rukhsoh untuk tidak
melaksanakannya, walaupun hanya tinggal kesadaran hati tanpa gerak. Di setiap
keadaan apapun shalat tetap wajib didirikan walaupun di tengah medan peperangan yang
sangat berkecamuk. Hal ini harus benar-benar tertanam dalam diri setiap muslim
sehingga ia tidak meremehkan shalat.
Shalat adalah dunia yang sangat luas, bahkan mewakili
keimanan dan keislaman seseorang yang didalamnya ada nilai-nilai keimanan
seperti beriman kepada Alloh, Malaikat, dan seterusnya. Di sana juga ada perbaharuan ikrar syahadattain
yang merupakan kunci keislaman seseorang. Di dalamnya ada penghambaan,
pengagungan permintaan, pengharapan dan
kepasrahan. Singkatnya shalat adalah nafas badi seorang muslim.
Begitu luasnya dunia shalat, maka pendidikan shalat pun
sangat luas. Mendidik anak untuk shalat ibarat mendidik Islam secara
keseluruhan. Ketika mengajarkan syahadat, berarti telah memperkenalkan Alloh
dan Rasulnya. Ketika mengajarkan al Fatihah, sama dengan mengajarkan al Quran,
karena al Fatihah adalah induk (ummu) Quran. Ketika mengajarkan tentang balasan
bagi orang yang shalat, di sana
ada pelajaran tentang surga neraka dan kehidupan hari akhirat. Ketika
mengajarkan tata cara dan rakaat shalat, disana ada nilai kpatuhan, ketundukan,
keseriusan, kejujuran dan sebagainya.karena itu mengajarkan anak tentang shalat
sama dengan mengajarkan Islam itu sendiri.
Sebagai muslim yang kelak akan menjadi orang tua tentu berharap memiliki
keturunan yang shalihah dan selalu mendirikan shalat, sebagaimana doa Nabi
Ibrahim as agar menjadikan dirinya orang yang senantiasa mendirikan shalat dan
memiliki keturunan yang senantiasa mendirikan shalat pula.karena itu sedini
mungkin marilah serius mempelajari hal yang berkaitan dengan shalat dan
menjalankan shalat dengan baik dan benar sehingga nantinya mampu mengajarkan
shalat dengan benar kepada anak turun kita. Janganlah sampai shalat yang suci
dan mulia menjadi tak berharga dan sia-sia hanya karena kita salah dalam
mengajarkannya kepada anak turun kita
A.
Tahapan Usia Dalam Pendidikan Shalat
Pendidikan yang baik adalah
disesuaikan dengan subyek pendidikan (anak didik) baik secara fisik maupun
psikologis. Pendidikan shalat bagi anak merupakan rangkaian yang bertahap dan
integral. Sudah menjadi fitrah manusia bahwa seorang manusia tidak bisa
menerima suatu pelajaran yang banyak sekaligus, karena kemampuan manusia untuk
berfikir dan bertindak bersifat terbatas, sehingga dalam menyampaikan suatu
pelajaran kepada anak perlu menggunakan cara yang benar, yakni secara sedikit
demi sedikit atau bertahap supaya anak benar-benar memahami dan menguasainya
dan dapat mengamalkanya dengan baik. Pendidikan semacam ini juga digambarkan
dengan turunnya al Quran dengan bertahap
sesuai dengan keadaan dan kesiapan penerima.
Orang tua wajib
memperkenalkan dan memberi pelajaran pada shalat sejak usia dini sehingga
ketika di usia pelaksanaan shalat mereka telah memiliki bekal yang cukup. Salah
satu cara memberi pelajaran adalah dengan membiarkan mereka bertanya tentang
keimanan, ibadah dan sebagainya. Keinginan mereka untuk bertanya adalah tanda
bahwa mereka mulai memiliki ketertarikan dalam agama. Memang mulai usia dua
tahun anak kadang bertanya tentang beberapa hal karena mereka melihat orang tua
dan orang-orang disekitar mereka sering menyebut kalimat keagamaan dan melihat
mereka dalam melaksanakan ibadah yang memancing ketertarikan baginya. Disaat
itulah orang tua harus mengembangkan keinginannya bertanya sehingga pelajaran
akan sangat membekas mengingat balita memiliki kekuatan mengingat yang sangat
besar.
Selanjutnya ketika mereka
mulai bisa membedakan tangan kanan dan kiri, maka orang tua memiliki kewajiban
untuk memerintah dan membimbing anak untuk menjalankan shalat.
Khalid bin Abdurrahman al ‘Akk dalam bukunya Cara
Islam Mendidik Anak[104],
menerangkan bahwa terdapat 4 tahapan dalam mengajarkan shalat dalam rentang
usia yang berbeda.
1.
Tahapan perintah untuk menjalankan
shalat
Kedua orang tua mulai mengarahkan perintahnya pada
anak untuk shalat. Hal ini dilakukan sejak anak mengetahui perbedaan antara
tangan kanannya dan tangan kirinya.
Menurut
Abdul Hafidz pada tahap ini, orang tua mulai memberikan pengertian kewajiban
melaksanakan shalat dan berani memerintahkan anak melaksanakannya. Dan cara
pembinaan yang terbaik adalah mengajaknya untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Ini berdasarkan pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan Ath Thabrani dari
Abdullah bin Hubaib ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“ Apabila
seorang anak telah tahu (membedakan ) tangan kanan dan kirinya, maka
perintahkanlah dia melaksanakan shalat.”[105]
2.
Tahapan mengajarkan shalat kepada
anak
Kedua orang tua mulai dengan mengajarkan rukun-rukun
shalat dan hal-hal yang membatalkannya. Nabi saw. memberi batasan umur 7 tahun
sebagai awal tahapan ini. Abu Dawud meriwayatkan dari Sabrah bin Ma’bad al
Jauhani, yang mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda:
مُرُوا
الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ فَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ
فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا
‘Perintahkan
anak untuk melakukan shalat, jika ia telah berusia 7 tahun. Lalu apabila ia
berusia 10 tahun, pukullah’.” Maksudnya, jika ia sengaja meninggalkannya.
Dalam periwayatan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyatakan,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءَ عَشْرٍ
“Ajarkan
anak-anakmu tentang shalat ketika berusia 7 tahun, dan pukullah saat berusia 10
tahun.” (Abu Daud, no. 494 ; Tirmizi no. 407, sanadnya hasan.) [106]
Bahkan Rasululah saw. pernah mengoreksi langsung
kesalahan yang dilakukan anak-anak dalam pelaksanaan ibadah shalat.[107]
Sebagaimana yang diriwayatkan At Turmudzi dari Ummu Salamah ra, yang
menjelaskan bahwa Rasulullah saw melihat salah seorang anak dari kami
melaksanakan shalat, kemudian dikatakan kepada beliau “Perbaikilah bila cara
dia bersujud salah!”. Belau
menjawab, “Hai anakku, tempatkan dahimu pada tempat sujud,” Hadits ini
diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya dan Imam
Ahmad dalam kitab Musnad.
Rasulullah saw juga memanggil beberapa anak para
sahabat agar tidak menoleh kanan-kiri ketika sedang melaksanakan ibadah shalat,
sebagaimana hadits yang diriwayatkan At Turmudzi yang bersyumber dari Anas bin
Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Hai Anakku,
jangan kamu menoleh kanan-kiri dalam pelaksanaan shalat. Sebab toleh-toleh
adalah merusak sahnya shalat. Seandainya kamu tidak bisa menahan diri untuk
tidak menoleh, lakukanlah pada pelaksanaan shalat sunnah, bukan pada shalat
fardhu.”
Anak kecil yang melihat tata cara ibadah orang dewasa,
semisal shalat, wudhu, dan sebagainya akan memberikan pengaruh yang sangat
besar sebagai suatu pelajaran untuk dipraktikkan sehingga tata cara beribadah
anak yang bersangkutan menjadi baik dan sempurna.
Penetapan usia tujuh tahun sebagai
awal pendidikan rutinitas shalat, sangat tepat dengan perkembangan psikologis
anak. Dimana menurut Aziz Musthofa, diusia tersebut anak sudah mulai senang
untuk belajar tertib. Mereka mulai mudah
diberi pengertian dan bisa berbuat segala sesuatu berdasarkan pengertian
tersebut, bukan sekedar menuruti perintah orang tua. [108]
Abdurrahman al ‘Akk mengatakan bahwa
wajib bagi orang tua untuk menanamkan pemahaman-pemahaman yang benar pada anak-anak secara sederhana dan
mudah.[109] Menurut Mukhotim el Moekry,[110]
orang tua sebaiknya memberi pemahaman kepada anak tentang shalat bahwa shalat
adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, baik anak-anak
maupun dewasa. Selain itu perlu
ditegaskan bahwa menegakkan shalat adalah perintah Alloh swt dan juga bahwa
menegakkan shalat dapat mencegah diriya dari perbuatan jahat dan keji. Lebih
dari itu, perlunya melakukan pemahaman bahwa pelaksanaan ibadah shalat sebagai
pelatiha disiplin dalam hidupnya. Anak harus diberi keyakinan dalam hidupnya
harus ada komunikasi dengan Alloh melalui shalat.
3.
Tahapan memerintahkan shalat dan
memukul karena meninggalkannya
Hal ini dilakukan saat anak berusia 10 tahun. Jika ia
mempersingkat dalam shalatnya, atau meremehkan atau bermalas-malasan dalam
melaksanakannya, orang tuanya boleh memukulnya sebagai pelajaran moral baginya
karena bersikap keterlaluan dalam memanjakan hawa nafsunya.
Juga sebagai peringatan atas sikap zalimnya terhadap
nafsu, dengan mengikuti jalan-jalan setan. Sebab pada tahapan ini adalah taat
pada perintah Alloh, mengingat anak masih berada dalam tahapan fitrah,
sedangkan setan masih lemah pengaruhnya. Maka anak yang tidak shalat menjadi
bukti adanya kekuasaan setan padanya sedikit demi sedikit.
Oleh karena itu, anak tersebut perlu diobati dengan
terapi nabawi, yaitu pukulan. Tidak ada salahnya memberikan pemahaman tentang
sebab pukulan itu kepada anak, dengan membacakan hadits Rasulullah saw.
Muncul suatu
pertanyaan, mengapa Rasulullah saw menekankan pendidikan shalat pada
anak sejak usia 7 tahun dan usia 10 tahun perlu dipukul jika meninggalkanya?
Abdul Hafidz menulis jawaban dari Syaikh Ad Dahlawi dalam memberikan
interpretasi terhadap masalah semacam ini dengan menyatakan bahwa anak dianggap
sudah memasuki usia baligh bisa dilihat dari dua sisi; Pertama, pola
pikir anak sudah mulai berjalan atau logika percakapannya sudah relatif bagus.
Keberadaan anak seperti ini pada lazimnya ketika anak telah memasuki usia tujuh
tahun. Pada usia tujuh tahun, anak sudah mulai bisa berfikir tentang keadaan di
sekitarnya, dan perasaan ingin tahu terhadap sesuatu apa pun yang dilihatnya
cukup tinggi. Sedangkan anak berusia sepuluh tahun, logika berfikirnya sudah
tampak dewasa, serta sudah bisa menilai perilaku dirinya sendiri dan orang
lain, apakah tindakan dirinya (atau orang lain) ada manfaatnya atau merugikan
orang lain? Anak yang sudah bisa menilai baik dan buruk sesuatu, maka anak yang
bersangkutan dianggap sudah bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi diinya
sendiri maupun kepada orang lain, seperti berjualan, ikut berjihad dan
mengadakan transaksi lainnya.
Kedua, pola pikir dan bentuk fisik anak dinilai
sudah relatif sempurna ketika mereka memasuki usia lima belas tahun ke atas. Tanda-tandanya
adalah mereka sudah mengalami mimpi basah (keluar mani) dan sekitar alat
kelaminnya sudah mulai tumbuh bulu. Maka anak yang sudah berusia lima belas tahun ke atas
harus dipisahkan tempat tidurnya antara laki-laki dan perempuan.
Adapun makna shalat bagi mereka memegang peranan penting
bagi perjalanan hidup mereka, setidak-tidaknya ada dua; Pertama, shalat
berfungsi sebagai sarana bagi seorang hamba untuk berhubungan secara batin
dengan Sang Maha Pencipta, agar hamba yang bersangkutan tidak mudah jatuh ke
derajat makhluk ciptaan Alloh swt yang paling rendah. Kedua,shalat
berfungsi sebagai salah satu bentuk syiar Islam kepada seluruh umat manusia. [111]
4.
Melatih anak-anak menghadiri
shalat jum’at
Menurut Al ‘Akk, melatih anak kecil untuk melaksanakan
shalat Jum’at, memberikan banyak manfaat, diantaranya:
a. Ketika berusia baligh, anak menjadi terbiasa untuk
melaksanakannya
b. Mendapat pengaruh dari mendengarkan khutbah, karena fitrah anak
adalah sensitif terhadap nasihat, hadits-hadits keimanan dan sirah Nabi saw.,
sebagaimana bisa menjadi latihan baginya untuk mendengarkan ilmu.
c. Senang terhadap umat Islam, dan merasa masuk kedalam komunitas
masyarakat. Karena ia harus berkenalan dengan orang-orang yang dikenal oleh
ayahnya, sahabat-sahabat dan kawan-kawan dekatnya
d. Shalat Jum’at membangkitkan seseorang merasakan nikmatnya iman
yang tertanam dalam hatinya dan menambah
kekhusyukan dirinya dalam setiap melaksanakan shalat lima waktu, serta menambah ketaatan kepada
Alloh swt.
e.
Shalat Jum’at bisa
membentuk pribadi anak yang baik dan sempurna dari segala unsur, baik bidang
aqidah, ibadah, sosial kemasyarakatan, perasaan, pola pikir, kesehatan dan
pengembangan kepribadian
B. Persiapan Orang Tua dalam Pendidikan
Shalat
Persiapan menentukan hasil,
begitulah kata yang tepat sebelum memulai mendidik dan memerintahkan anak untuk
melakukan shalat. Orang tua perlu memiliki persiapan yang sangat matang agar
hasil pendidikan lebih efektif dan efisien. Perintah orang tua (ayah dan ibu) terhadap
anak usia 6-11 tahun untuk gemar menjalankan shalat fardhu dapat diwujudkan
dengan baik oleh anak, manakala sebelum perintah itu secara lisan disampaikan
misalnya terlebih dahulu orang tua meiliki pemahaman tentang teori mendidik
anak, memiliki persiapan yang baik dan mengkondisikan anak agar paham mengenai keimanan,
thaharah, menguasai bacaan dalam shalat, menguasai gerakan dalam shalat dan
orang tua juga menyediakan tempat shalat berjama’ah bagi seluruh anggota
keluarga serta peralatan shalat.
Dengan demikian, perkara yang harus
dipersiapkan oleh orang tua sebelum menyampaikan pengajaran dan perintah shalat
terhadap anak dalam lingkungan rumah tangga adalah relatif banyak, antara lain
adalah :
1.
Siap memberikan keteladanan
Semua orang sepakat bahwa mengajar dengan praktik dan
memberi contoh secara langsung jauh lebih berpengaruh positif pada pemahaman
anak daripada hanya teori semata. Karena itulah hendaknya para murobbi,
terutama orang tua tidak lalai dari metode pengajaran ini sebab inilah yang
dicontohkan Nabi saw. dan para sahabatnya.
Suatu ketika, Ustman bin Affan ra meminta air wudhu
dan mengajak para sahabat untuk memperhatikan cara wudhu beliau dari awal
hingga akhir lalu berkata, “ Seperti inilah aku melihat Nabi saw. berwudhu
“.
Dalam kisah yang lain, salah seorang sahabat pernah
mempraktikkan shalat dari awal hingga akhir dihadapan para sahabat yang lain,
seraya mengatakan, “ Kemarilah kalian! Akan aku perlihatkan kepada kalian
sifat shalat Nabi saw. “.
Rasulullah saw. terkadang juga melakukan shalat
(sebagai imam) dengan berdiri dan ruku’ di atas mimbar untuk memperlihatkan
shalatnya kepada para sahabat, beliau mengatakan, “ Aku melakukan ini agar
kalian mengikutiku dan mengetahui shalatku”.[112]
Contoh metode pengajaran seperti ini sangat sering
diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Demikian itu karena teori
semata sulit untuk dipahami dan membutuhkan waktu yang lama bahkan mudah
terlupakan, berbeda dengan apa yang dialami dan dilihat secara langsung. Ini
berarti orang tua dan para orang tua tidak cukup hanya menyediakan buku-buku
bacaan seputar wudhu dan shalat atau hanya memerintahkan anak untuk menjalankan
shalat, namun mereka juga dituntut untuk memberikan keteladanan berupa praktik
amali di hadapan anak-anak mereka seperti yang dicontohkan Rasulullah saw., sebaik-baik pendidik, dan para sahabat
beliau. Untuk itu orang tua harus belajar melakukan shalat dengan baik dan
tertib sehingga dapat memberi teladan. Perlu diingat bahwa sebelum sepuluh
tahun, kegiatan shalat anak lebih sering karena mengikuti dan meniru orang tua
dan lingungan sekitar.
2.
Siap mengajarkan shalat dengan benar
3.
Tidak membiarkan kesalahan
Sebagian orang beranggapan bahwa tidak mengapa
membiarkan anak shalat dalam keadaan tidak benar, toh juga masih anak-anak,
misalnya membiarkan anak shalat tanpa berwudhu atau berwudhu hanya dengan
membasuh telapak tangan, wajah dan kaki saja dengan alasan bahwa anak masih
kecil dan belum baligh. Ada
juga orang tua yangmembiarkan anak shalat sekedarnya saja, bahkan jauh dari yag
dicontohkan Raslulullah saw. Anggapan ini jelas salah. Perlu diketahui bahwa
meskipun hukum-hukum syari’at belum berlaku bagi anak, namun Allah swt.
memerintahkan dan memberi beban kepada orang tua untuk memberlakukan
hukum-hukum syari’at kepada anak-anak mereka. Anggapan yang salah ini jelas
bertentangan dengan perintah Rasulullah
saw. :
“ Perintahkan anak-anak kalian untuk menunaikan
shalat ketika mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya
ketika mereka telah berusia 10 tahun “.
Maksud dari perintah Rasulullah tersebut adalah agar para orang tua menyuruh
anak-anaknya untuk thoharoh dan berwudhu dengan sempurna, berpakaian menutup
aurat dan pundak, berdiri menghadap kiblat, di tempat yang tidak haram untuk
shalat di dalamnya, melakukan tata cara shalat dari takbirotul ihrom hingga
salam lengkap dengan rukun-rukunnya, fardhu dan sunnah-sunnahnya.
Rasulullah pernah melakukan shalat malam, lalu
Abdulloh bin Abbas datang mengikuti dan berdiri di sebelah kiri beliau. Maka
beliau saw. memutarnya dari arah kiri lewat belakang ke arah kanan beliau
Pernah salah seorang Arab Badui datang ke masjid lalu
melakukan shalat. Setelah selesai dari shalatnya, Rasulullah saw. bersabda, “ Ulangi shalatmu, karena
sesungguhnya engkau belum shalat “. Maka orang tersebut mengulangi shalatnya
seperti shalatnya yang semula hingga 3 kali, sampai akhirnya orang itu berkata,
“ Wahai Rasulullah , ajarilah aku shalat, sebab aku tidak bisa shalat kecuali
dengan cara yang seperti ini (yakni shalat dengan gerakan yang sangat cepat,
tanpa thuma’ninah). Maka Rasulullah saw.
mengajarinya shalat seraya menyampaikan bahwa wajib baginya untuk thuma’ninah
pada setiap gerakan shalat.
Rasulullah saw. menganggap shalat orang ini batal
karena meninggalkan salah satu rukun shalat, yaitu thuma’ninah. shalat yang
dianggap batal oleh Nabi saw. yang dilakukan oleh orang ini banyak sekali
dilakukan oleh anak-anak.Sehingga kewajiban para orang tua dan para orang tua adalah
membenarkan shalat mereka yang masih salah ini.[113]
Pelaksanaan shalat anak adalah pembiasaan, karena itu
jika biasa shalat dalam keadaan salah maka seterusnya akan terbiasa dalam
kesalahan. Perlu diingat jika merubah kebiasan salah lebih sulit dari pada
menanamkan kebiasaan yang benar. Untuk hal ini, tugas orang tua adalah selalu
menemani anak ketika mereka shalat sembari memberi penilaian dan petunjuk yang
benar.
4.
Melatih dengan berulang-ulang
Melatih gerakan dan bacaan shalat pada anak usia dini
hendaknya dilakukan dengan cara berulang-ulang. Semakin sering anak usia dini
mendapatkan stimulasi tentang gerakan shalat, apalagi diiringi dengan
pengarahan tentang bagaimana gerakan yang benar secara berulang-ulang maka anak
usia dini semakin mampu melakukannya. Begitu juga dengan bacaan shalat. Semakin
sering didengar oleh anak, maka semakin cepat anak hafal bacaan shalat
tersebut. Sekalipun pemberi teladan yang utama adalah ayah dan ibu, diharapkan
orang dewasa lainnya yang tinggal bersama anak juga bisa menjadi teladan bagi
anak. Sehingga disaat ayah tidak di rumah dan ibu berhalangan memberikan
teladan, maka pemberian latihan tetap bisa berlangsung oleh orang dewasa lainnya
yang tinggal bersama anak.
5.
Menciptakan suasana yang nyaman dan aman
Menghadirkan suasana belajar shalat yang memberikan
rasa aman dan menyenangkan bagi anak dalam menerima seluruh proses pendidikan
shalat yang diselenggarakan. Saat anak usia dini mengikuti gerakan-gerakan
orang tua dalam shalat, pada tahap awal terkadang bisa mengganggu kekhusyukan
shalat orang tua. Orang tua harus dapat memahami bahwa tindakan anak meniru
gerakan orang tua adalah sebagai proses belajar, sehingga sekalipun anak dapat
mengganggu kekhusyukan shalat orang tua, anak tidak boleh dimarahi atau
dilarang dekat dengan orang tua saat shalat. Pengarahan tentang bagaimana tata
cara shalat yang benar diajarkan kepada setelah proses shalat berlangsung.
Dalam tahap lanjut, anak tidak hanya bisa meniru gerakan shalat, tapi juga
memiliki kebanggaan untuk mengenakan simbol-simbol Islami baik dalam ucapan
maupun perilaku dalam shalat dan sebagainya.
Orang tua ysng menyadari pentingnya pendidikan shalat
pasti akan mamberikan fasilitas terbaik agar benar-benar sukses dan berhasil
shalat dengan benar dan baik. Kenyamanan dan keamanan akan benar-benar
diberikan melalui suasana yang kondusif serta alat pendidikan yang memadai.
6.
Tidak memaksa
Tidak melakukan pemaksaan dalam melatih anak usia dini
melakukan shalat. Menurut candra, Perkembangan kemampuan anak melakukan gerakan
shalat adalah hasil dari pematangan proses belajar yang diberikan. Pengalaman
dan pelatihan akan mempunyai pengaruh pada anak bila dasar-dasar keterampilan
atau kemampuan yang diberikan telah mencapai kematangan. Kemudian, dengan
kemampuan ini, anak dapat mencapai tahapan kemampuan baru yaitu dapat melakukan
gerakan shalat sekalipun belum berurutan. Pemaksaan latihan kepada anak sebelum
mencapai kematangan akan mengakibatkan kegagalan atau setidaknya
ketidakoptimalan hasil. Anak seolah-olah mengalami kemajuan, padahal itu
merupakan kemajuan yang semu. [114]Di
samping itu, latihan yang gagal dapat menimbulkan kekecewaan pada anak atau
rasa tidak suka ada kegiatan yang dilatihkan. Dengan demikian, saat anak usia
dini tidak bersedia diajak shalat bersama, maka orang tua tidak harus
memaksakan anak.
7.
Tidak membanding-bandingkan
Menurut Rosyidah, .[115]
secara fisik, semakin bertambah usia anak maka semakin mampu melakukan gerakan-gerakan
motorik dari yang sederhana sampai yang komplek. Namun perlu diperhatikan
adanya keunikan setiap anak. Bisa jadi tahapan perkembangan gerakan motorik
antara anak pertama lebih cepat dibandingkan anak kedua. Oleh karenanya,
penting bagi orangtua untuk memperhatikan perkembangan perseorangan, dan tidak
membanding-bandingkan dengan sang kakak atau anak lain yang seusia dengan anak.
Bisa jadi sang kakak lebih cepat bisa mencontoh gerakan shalat dibandingkan
dengan sang adik. Dalam kondisi ini orang tua tidak boleh langsung menilai
bahwa sang adik tidak pintar seperti sang kakak. Setiap anak harus mendapatkan
perhatian dari orang tua hingga muncul penghargaan atas diri anak dan antar
sesama anak
8.
Mendirikan shalat fardu secara berjama’ah
Dikaitkan dengan pahala dan fadilah
yang diperoleh, mendirikan shalat lima
waktu secara berjama’ah memang diakui berlipat 27 kali jika dibandingkan dengan
mendirikan shalat fardu secara munfarid (sendirian).
Orang tua sebaiknya berjamaah
ketika melaksanakan shalat sunnah, seperti, dhuha, tahajjud, witir, tasbih
serta shalat sunnah yang dapat dikerjakan dengan berjamaah. Ketika itu, anak
ditempatkan disamping orang tua sehingga mereka terbiasa melihat orang tuanya
shalat dengan berjamaah. Dan jika telah sanggup mengikuti orang tua, maka
sertakan anak dalam jamaah sehingga mereka dapat merasakan ketenangan dan
kenikmatan shalat secara bersama.
Orang tua, terutama ayah sebaiknya
membawa anak dalam jamaah fardhu di masjid, terlebih jika anak laki-laki karena
mereka nantinya wajib untuk memenuhi shalat fardhu dengan berjamaah di masjid.
Ketika telah dikaruniai anak oleh
Allah swt harus diupayakan sehari-hari anak dapat menyaksikan orang tua (ayah
dan ibu) yang tengah mendirikan shalat fardu secara berjama’ah baik di masjid
maupun di rumah. Perlakuan ini dapat membantu orang tua (ayah dan ibu) dalam
mengenalkan aneka bacaan dan gerakan dalam shalat fardu.
9.
Menyediakan peralatan shalat untuk anak
Pengenalan aneka bacaan dan gerakan
salaf fardu dapat lebih meningkatkan motivasi anak untuk belajar mendirikan shalat
fardu bilamana orang tua (ayah dan ibu) di rumah menyediakan peralatan shalat
khusus untuk anak dan diupayakan dengan mutu barang yang terbaik karena
peralatan itu dikenakan ketika akan menghadapkan diri pada Allah swt. Untuk anak
laki-laki disediakan sarung, baju taqwa, kopiah, sajadah. Untuk anak perempuan
disediakan mukena dan sajadah. Sehari-hari seusai mendirikan shalat fardu, anak
diserahi tugas menyimpan peralatan shalat ini pada tempat masing-masing secara
rapi seperti mukena dan sarung harus dilipat, agar bila waktu shalat fardu
berikutnya datang tanpa dicari sudah siap pakai.
C. Tahapan
Mendidik dan Menanamkan Kegemaran Shalat
- Mengajarkan keimanan
Sebelum mendidik anak
shalat, orang tua wajib mengajarkan keimanan (akidah) terlebih dahulu.
Dalam berbagai literarur tentang
pendidikan shalat kepada anak, hampir semua pendapat menyatakan bahwa penanaman
nilai keimanan merupakan pendidikan awal yang menuju pendidikan shalat. Ibarat
akan memasuki dunia yang luas, penanaman keimanan adalah kunci sekaligus
gerbang pertama yang harus dimiliki setiap anak. Jika ia tidak memiliki
keimanan maka ditengah jalan ia akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan
pendidikan.
Karena shalat adalah bentuk
pengabdian kepada Alloh dan pengagungan kepada-Nya, maka anak perlu mengenal
siapa Tuhannya, siapa Nabinya dan untuk apa dan siapa melakukan shalat. Jika
anak telah mengenal Tuhannya maka ia akan memiliki rasa senang saat menjalakan
badah.
Hubungan antara penanaman keimanan
terhadap pendidikan dan kegemaran shalat sangat erat, seperti yang dijelaskan
oleh Layla :
Pada usia dini, anak harus diajak belajar memahami bahwa
dirinya sendiri, orang tua, keluarga, manusia dan seluruh alam ini diciptakan
oleh Alloh. Karena itu, manusia harus beribadah dan taat kepada Alloh. Lebih
jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Alloh sehingga anak
mengetahui betapa Alloh Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha
Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak memahaminya dengan baik,
insya Alloh akan tumbuh kesadaran untuk senantiasa mengagungkan Alloh dan
bergantung hanya kepada-Nya. Lebih dari itu, kita berharap akan tumbuh
benih-benih cinta anak kepada Alloh. Cinta yang kelak akan mendorongnya gemar
melakukan amal shaleh.[116]
Sementara itu Dr. Said Ramadhan al
Buthi menjelaskan hubungan antara penanaman akidah dengan pembinaan ibadah
terhadap anak. Ia berpendapat bahwa proses penanaman akidah pada anak agar
terus berkembang dan tumbuh dengan kokoh dalam jiwanya adalah hendaknya anak
yang bersangkutan diarahkan untuk selalu mengerjakan ibadah sesuai dengan
kemampuannya. Langkah semacam ini diharapkan bahwa akidah yang sudah tertanam
dengan kokoh di hati mereka itu bisa menahan gempuran gelombang arus kehidupan
yang negatif dan destruktif.[117]
Jadi terdapat hubungan yang erat
antara penanaman keimanan dengan pelaksanaan ibadah seperti shalat.
Beberapa tahapan yang bisa
dilakukan dalam menanamkan nilai-nilai keimanan adalah sebagai berikut:[118]
Pertama, ajarkan kepada mereka kalimat لا إله إلا الله
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda :
افْتَحُوا صِبْيَانَكُمْ أَوَّلَ كَلِمَةٍ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
“Perdengarkanlah لا إله
إلا الله kepada bayi-bayi kalian sebagai kalimat
pertama kali yang didengar oleh mereka.” (HR. Al Hakim)
Ibnu Qayim menyebutkan dalam
Tuhfatul Maudud, hendaknya kalimat pertama yang didengar oleh manusia adalah
kalimat panggilan tertingi yang di dalamnya mencangkup kebesaran Rabb dan
keagungan-Nya serta kalimat syahadat yang merupakan ungkapan pertama kali bagi orang
yang hendak masuk Islam.
Kedua, ajarkanlah nilai-nilai keimanan kepada Alloh swt.
Dalam mengajari anak tentang nilai
keimanan kepada Alloh, perlu dilakukan secara sederhana dan mudah sehingga
dapat dipahami oleh anak-anak. Di sinilah anak-anak diajarkan bahwa manusia dan
seluruh yang ada di alam adalah makhluk ciptaan Alloh yang harus tunduk patuh
pada-Nya. Selain itu anak dikenalkan dengan asma dan sifat Alloh swt.anak juga
sudah dipahamkan untuk tidak menyekutukan Alloh seperti halnya yang dilakukan Lukman
al Hakim ketika memberi pelajaran anaknya yang pertama diajarkan adalah
ketauhidan dan larangan menyekutukan Alloh swt.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu mengangkat tongkat kepada
keluargamu, namun tanamkanlah rasa takut kepada Alloh swt. pada diri mereka.”
Diriwayatkan oleh Tabhrani dalam As
Shaghir dan Al Ausath dengan isnad Jayyid. [119]
Dengan pengenalan kepada Alloh,
anak akan memiliki pengetahuan tentang Tuhannya sehingga memiliki rasa takut
dan tunduk pada perintah-Nya. Salah satu fungsi menanamkan rasa Takut kepada
Alloh adalah anak merasa selalu diawasi Alloh sehingga mereka akan terbiasa
melaksanakan ibadah hanya karena Alloh swt.
Ketiga, Ajarkanlah untuk
mencintai Nabi saw. dan keluarga beliau
Mengimani dan mencinyai Nabi saw
sangat penting dalam Islam, karena hal itu adalah salah satu pilar dari dua
kalimat Syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim. Ajarkanlah pada
anak-anak semenjak mereka belum mengenal idola duniawi dengan menghadiran sosok
panutan dalam hidup yaitu Rasulullah saw,
sebagaimana disebutkan dalam QS Al Ahzab ayat 21 bahwa Rasulullah saw
adalah suri tauladan bagi orang yang beriman. Alloh swt berfirman,” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Menanamkan kecintaan kepada Nabi saw bisa
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:
a)
Bergegas
menjawab panggilan Nabi dan segera melaksanakan perintah-perintah beliau
b)
Mencintai
apa yang dicintai Nabi
d)
Sering dibacakan kisah hidup dan perjuangan
Nabi
e)
Menghadirkan
ingatan tentang beliau dan meneladaninya disetiap kesempatan.
Keempat, mengajarkan al Quran kepada anak
Al quran memiliki pengaruh
yang kuat terhadap yang mempelajarinya. Jiwanya akan bersih, tenang dan
bercahaya. Jiwa yang bersih inilah yang memudahkan manusia untuk cenderung
tunduk dan patuh pada perintah Alloh swt. Jiwa anak yang sudah disinari cahaya
al quran akan mudah menerima nasihat dan pengajaran agama serta memiliki
semagat dalam setiap melakukan ibadah. Karena itu sebelum anak mulai diperintah
untukmengerjakan shalat, perlu kiranya jiwa mereka diisi dengan cahaya al
Quran. Jiwa anak yang seperti iniilah yang akan mudah menerima palajaran dan
senantiasa memiliki kecenderungan untuk giat melaksanakan ibadah.
- Mengajarkan tata cara
Thaharah (bersuci)
Ketika akan mengajarkan tata
cara shalat, orang tua wajib memulainya dengan mengajarkan tata cara thaharah
dan wudhu kepada anak. hal ini semestiya diajarkan terlebih dahulu sehingga
anak memahami bahwa sebelum shalat mereka wajib bersuci karena diantara syarat
sah shalat adalah suci dari hadats (besar maupun kecil) dan suci dari najis.[121]
Thaharah ialah “kebersihan
dan kesucian dari kotoran dan najis”[122],
hukumnya adalah wajib atas seorang muslim, terutama ketika akan shalat
sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,” Tidak diterima shalat yang dilakukan
dengan tanpa bersuci.” (HR. Muslim 1/ 140 ).[123]
Oleh karena itu orang tua
wajib mengajari anak tentang thaharah dan harus selalu diulang-ulang. Adapun
diantara cara mengajarinya adalah seperti yang disebutkan al Ma’athi sebagai
berikut:
a)
Mengajarkan
agar anak selalu mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke kamar mandi. Ketika
keluar mendahulukan kaki kanan lalu membaca.”Ghufranaka” (Semoga aku
mandapatkan ampunan-Mu).
b)
Mengajari
anak untuk mengucapkan basmalah dan ta’awudz dengan suara keras ketika hendak
memasuki kamar mandi dan menyingkap pakaian ketika akan buang air besar.
c)
Mengajari
anak agar membersihkan kotoran yang keluar dari kemaluan dan dubur. Rasulllah
saw begitu berhati-hati dan senantiasa bersuci dari najis karena jika tidak mau
bersuci dari najis akan mengundang adzab yang sangat pedih, khususnya ketika
dalam kubur.
d)
Hendaklah
seorang anak diberitahu untuk tidak bersuci dengan tangan kanannya agar tidak
terkena najis secara langsung. Hafshah ra meriwayatkan bahwa Nabi saw
menjadikan tangan kanannya untuk makan, minum, memakai pakaiannya, mengambil
dan memberi. Adapun tangan kirinya untuk selain itu. (HR. Abu Dawud)
e)
Usahakan
agar anak tidak berbicara sama sekali ketika sedang berada di dalam kamar mandi
atau ketika buang air besar maupun kecil, baik untuk berdzikir atau selainnya;
menjawab salam atau menjawab adzan, kecuali pembicaraan itu dibutuhan untuk
suatu hal yang sangat penting, seperti mengarahkan orang buta yang ditakutkan
celaka. Dan jika ia bersin ketika sedang berada di dalam kamar mandi atau buang
air besar maupun kecil, ia boleh bertahmid dalam hatinya dan tidak melafalkan
dengan lisannya.
f)
Hendaklah
anak belajar menghormati kiblat, ia tidak boleh buang air menghadap atau
membelakanginya. Berdasarkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra yang
meriwayatkan bahwa Nabi saw. Bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian duduk
untuk membuang hajatnya, janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya.
(HR. Muslim)
g)
Hendaklah
anak belajar untuk mencuci tangannnya setelah bercebok dengan air dan sabun
atau sejenisnya untuk menghilangkan bau yang tidak sedap.[124]
h)
Mamperkenalkan
anak pada benda-benda yang dapat dipergunakan untuk bersuci dan benda-benda
najis.
- Mengajarkan tata cara
wudhu dan keutamaannya
Wudhu ialah “menggunakan air
yang suci atas anggota tubuh tertentu dan hukumnya adalah wajib bagi seorang
muslim yang hendak shalat.”[125]hal
ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidak diterima shalat seorang di
antara kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu.”( HR Al
Bukhari no 1/135 dan Muslim no 1/225 dari sahabat Abu Hurairah) [126]
Sejak dini seharusnya orang
tua benar-benar serius mengajarkan wudhu sehingga ketika akan melaksanakan
shalat, anak terbiasa untuk berwudhu terlebih dahulu. Memang sangat sering
dijumpai di masyarakat bahwasannya orang tua membiarkan anak melakukan shalat
tanpa berwudhu yang apabila kebiasaan semacam ini dibiarkan tentu tidak akan
baik. Tanamkan keyakinan pada anak bahwa tanpa berwudhu shalatnya tidak sah.
Tanamkan kecintaan anak terhadap wudhu sejak dini, dan hal ini bisa di lakukan
dengan mengajarkan tentang keutamaan-keutamaan wudhu.
Diantara cara mengajarkan
wudhu kepada anak adalah sebagai berikut:
a)
Bawalah
anak-anak ke tempat wudhu
b)
Singsingkan
lengan baju anak
c)
Kemudian
tuangkan air kepada anggota wudhu mereka satu demi satu dibarengi dengan
penjelasan tentang tata cara wudhu.
d)
Lalu
ulangi lagi dengan membaca basmallah
e)
Kemudaian
cuci kedua telapak tangan
f)
Lalu
berkumur dan menjelaskan tata caranya dihadapan anak, lalu mempraktikanya
dengan benar.
g)
Setelah
itu, lanjutkan dengan memasukkan aor ke dalam hidung. Lalu mengeluarkan kembali
h)
Setelah
itu membasuh wajah disertai penjelasan batasan wajah yang harus dibasuh kepada
anak-anak; yaitu antara dua cuping telinga dan dari bawah antara janggut sampai
tempat tumbuhnya rambut di kepala juga harus diperhatikan bahwa air sudah
benar-benar sampai kepadanya
i)
Kemudian
membasuh kedua tangan sampai siku-siku dengan memulainya dari yang sebelah
kanan dan berakhir pada yang kiri sebanyak tiga kali. Untuk lebih berhati-hati
hendaknya basuhan air sampai mengenai bagian atas siku.
j)
Lalu
mengusap rambut kepala
k)
Dilanjutkan
dengan mengusap telinga
l)
Setelah
itu membasuh kedua kai dimulai dari yang sebela kanan dan diakhiri dengan yang
kiri disertai keyakinan bahwa air memang benar-benar sudah mengenai semua
bagian kaki sampai mata kaki.
m)
Kemudian
ajarkan kepada mereka doa sesudah berwudhu.
Semakin sering dan konsisten
dia ajarkan, anak akan semakin mengenal dan mencintai wudhu, karena didalamnya
ada ketenangan, kedamaian, kesejukan dan
kebersihan. Ajarkan kepada mereka tentang perkara yang membatalkan wudhu, diantaranya
adalah keluar sesuatu dari dubur dan kemaluan. Jika mereka merasa wudhunya
telah batal, maka ia harus mengulanginya sebelum shalat.
Kecintaan terhadap wudhu
harus ditanamkan sejak dini seiring dengan pelajaran ibadah yang lain. Sangat
banyak sekali keutamaan dari wudhu yang perlu dipahami oleh orang tua yang
dapat dijadikan motivasi untuk bersungguh-sungguh mengajarkan wudhu kepada
anak. Orang tua juga perlu memberi pemahaman akan keutamaan wudhu dengan bahasa
sederhana yang dapat dipahami anak. Ma’athi menyebutkan keutamaan wudhu
diantaranya:
Wudhu adalah kesucian. wudhu adalah mensucikan diri ketika akan menghadap Alloh
swt. dalam shalat. Kesucian badan ini akan mengantarkan kepada kesucian hati.
Rasulullah saw. pun berdoa agar termasuk orang yang suci melalui perantara
wudhu sebagaimana ketika selesai berwudhu beliau selalu berdoa,” Ya Alloh,
jadikanlah aku termasuk orang yang bertaubat dan jadikan pula aku termasuk
orang yang bersuci.” Orang tua yangmencintai kebersihan dan kesucian tidak
akan meremehkan wudhu sehingga benar-benar serius mengajarkan wudhu sejak dini
dan senantiasa memotivasi anaknya agar selalu berdoa supaya termasuk orang yang
bersuci sebagaimana Rasul memberi contoh tentang hal itu.
Wudhu dapat
menggunggurkan dosa dari badan. Dengan
berwudhu, dosa-dosa akan keluar dari seluruh anggota badan, sebagaimana
diriwayatkan Muslim bahwa Utsman bin Affan ra berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda, ”Barang siapa yang berwudhu dengan baik, niscaya dosa-dosanya akan
keluar dari badannya, sampai-sampai dari bawah kuku-kukunya.”(HR.
Muslim dalam Kitab at-Thaharah)[127]
Wudhu membersihkan diri
dari dosa. Imam Muslim meriwayatkan dari
Abu hurairah ra bahwa Rasulllah saw bersabda, “Jika seorang hamba muslim
atau mukmin berwudhu, lalu ia membasuh wajahnya niscaya setiap dosa yang
dilakukan kedua matanya akan keluar dari wajahnya bersama tetesan air, atau
bersama tetesan terakhir dari air. Jika ia membasuh tangannya, niscaya setiap
kesalahan yang diperbuat kedua tangannya akan keluar dari keduanya bersama air,
atau bersama tetesan terakhir dari air. Jika ia membasuh kedua kakinya, niscaya
semua dosa yang dikerjakan kedua kakinya akan keluar dari keduanya bersama air,
atau bersama tetesan terakhir dari air, sehingga iapun selesai dari wudhu dalam
keadaan bersih dari dosa.” (HR. Muslim 1/215 )[128]
Wudhu menjadi penyebab
dihapuskannya dosa. Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Maukah kalian
aku beritahu tentang amalan-amalan yang menyebabkan Alloh menghapus dosa-dosa
kalian dan mengangkat derajat-derajat kalian?” Para sahabat
menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “Menyempurnakan dan
membaguskan wudhu pada situasi yang berat dan memperbanyak langkah kaki menuju
masjid serta duduk menungu shalat di masjid, itu semua merupakan ribath.” (HR.
Muslim dalam Kitab at-Thaharah 1/219 )[129]
Wudhu menjadi penyebab
diampuninya dosa yang telah lalu. Abu
Hurairah ra meriwayatkan, “Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhu
saya ini, lalu beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti ini,
pastilah dosa-dosanya yang telah lalu diampuni. Adapun shalat dan langkah
kakinya ke masjid dianggap sebagai amalan sunnah.” (HR. Muslim)
Bekas wudhu adalah tanda
pengenal umat Muhammad saw. Wudhu menjadi
secercah cahaya yang menjadi tanda agar dikenali Rasulullah ketika melewati
telaganya pada hari kiamat kelak. Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa kening
orang mukmin akan bercahaya karena bekas wudhunya. Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Sesunguhnya pada hari kiamat besuk, umatku akan dipangil dalam
keadaan kening-kening mereka bercahaya karena bekas wudhu. Oleh sebab itu
siapa saja diatara kalian yang mampu memanjakan (malamakan) cahayanya,
hendaklah ia lakukan.” (HR. Muslim 1/217 )[130]
Beri pemahaman pula kepada
mereka tentang tayamum, yaitu ketika seseorang tidak mendapati air ketika masuk
waktu shalat, dalam perjalanan atau karena ‘uzur (misalnya sakit) maka boleh
bersuci dengan menggunakan debu atau tanah yang suci sebagai pengganti wudhu.
Ajarkan kepadanya tentang tata cara tayammum yang benar sesuai dengan petunjuk
Nabi saw.
- Mengajarkan Adzan dan
memberitahu keutamaannya
Sebagai permulaan, anak
diakenalkan dengan adzan dan sebab disyariatkannya serta keutamaannya di sisi
Alloh swt. Seorang anak harus dikenakan bahwa disetiap shalat ada adzan yang
dikumandangkan. Dia juga harus dipahamkan bahwa wajib mendatangi panggilan itu
bagi laki-laki, sehingga sejak dini seorang anak memiliki ketertarikan dan
ketundukan pada panggilan shalat.
Orang tua harus menerangkan
bahwa shalat wajib ada lima kali, sehingga dalam
sehari dikumandangkan adzan sebannyak lima
kali. Adzan merupakan pertanda masuk waktu shalat sehingga ketika ada adzan
berarti dia harus segera mendatanginya dan melaksanakan shalat. Terangkn pul bahwa
adzan berkaitan dengan panggilan shalat berjamaah dan bagi laki-laki diwajibkan
memenuhinya dengan ikut berjamaah di masjid.
Orang tua wajib mengajarinya
tentang lafazh - lafazh adzan dan memperdengarkannya pada anak. Anak juga harus
diajarkan bagaimana menjawab panggilan adzan, sehingga ketika dikumandangkan
adzan ia akan sungguh-sungguh mendengarkan dan menjawab panggilan tersebut.
Menurut Ma’athi, lafazh
adzan ibarat nasyid yang disenangi bagi anak kecil dan ia senang pula
menjawabnya. Hal itu juga akan mendorong mereka untuk mengumandangkan adzan
untuk shalat. Alangkah bahagianya ketika sejak kecil anak sudah berani dan mau
mengumandangkan adzan dengan baik.
Selain mengajarkan
lafazh-lafazh adzan, jelaskan pula tentang berbagai keutamaan seputar adzan dan
adab-adabnya.
a)
Hal
yang sangat utama
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata,
Rasulullah saw bersabda, "Seandainya manusia mengetahui pahala
yang ada pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mungkin
mendapatkannya kecuali dengan mengadakan undian niscaya mereka akan mengadakan
undian."[131]
b)
Menjawab
panggilan adzan
Usahakan agar anak
senantiasa menjawab adzan ketika mendengarnya, karena hal itu memiliki
keutamaan yang sangat besar. Terangkan bahwa dengan menjawab adzan, kita berhak
utuk mendapatkan syafaat dari Nabi saw pada hari kiamat kelak dan juga
dosa-dosanya akan diampuni.[132]
c)
Berdoa
antara adzan dan iqomah
Beritahukan kepada anak bahwa doa yang dilantunkan
diantara adzan dan iqomah akan dikabulkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw..”Doa
yang dilantunkan pada waktu adzan dan iqomah tidak akan tertolak. (HR.
Muslim)
d)
Adzan
dapat mengusir syetan
Abu Hurairah ra meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika Adzan untuk shalat telah
dikumandangkan, setan akan lari mengingkir dan ia akan mengeluarkan kentut
sampai tidak bisa mendengar suara adzan. Jika adzan telah selesai, ia akan
kembali (untuk menggoda) sampai jika iqomah shalat telah dikumandangkan, ia
akan lari menjauh. Jika iqomah telah selesai, ia pun kembali untuk membisikkan
antara seseorang dengan dirinya sendiri. Ia berkata,’Ingatlah ini dan ini,’
terhadap hal-hal yang sebelumnya tidak ia ingat, sehingga seorang lelaki tidak
menyadari sudah berapa rakaat ia shalat.” (Muttafaq ‘alaih)[133]
e)
Keutamaan
para muadzin
Dari Muawiyah ra , dia berkata, Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda, "Orang yang paling panjang lehernya
pada Hari Kiamat adalah para muadzin." (HR Muslim)[135]
- Mengajarkan tata cara dan
keutamaan shalat
Disinilah inti dari
pengajaran shalat, yaitu orang tua mengajarkan tata cara melaksanakan shalat.
Pengajaran tata cara shalat ini melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan praktis-aplikatif
dan pendekatan teoritik. Pendekatan praktis-aplikatif dilakukan orang tua
dengan memberi contoh secara langsung sehingga anak melihat sendiri tata cara
shalat. Hal ini akan mudah dilakukan jika orang tua sering mengajak anak pergi
ke masjid dan melaksanakan shalat berjamaah. Melalui pendekatan ini anak akan
lebih mudah mempraktekan tata cara shalat ketika mereka belajar teori shalat.
Pendekatan teoritik yaitu
orang tua memberi pelajaran shalat secara teori sesuai dengan petunjuk
Rasulullah saw. Orang tua harus benar-benar menguasai materi tentang tata cara
shalat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam mengajari anak. Apabila kedua
pendekatan ini dipergunakan dengan baik maka pengajaran akan efektif dan
efisien.
Selain memberi pengajaran tentang
tata cara shalat, orang tua juga perlu memberi pemahaman tentang keutamaan
shalat dan ancaman bagi orang yang meningggalkannya dengan sengaja. Dalam hal
ini orang tua harus sering berdiskusi dengan anak, membiarkan mereka bertanya
dan menjawab pertanyaan dengan benar dan tepat.
- Melatih anak melaksanakan
shalat malam.
Anak-anak para sahabat tidak
merasa cukup puas jika hanya melaksanakan kewajiban shalat lima waktu saja, maka mereka membiasakan melaksanakan shalat-shalat
sunah, sebagaimana yang pernah dilakukan Abdullah bin Abbas ra ketika ia masih
kanak-kanak.
Pelaksanaan shalat malam
bagi anak akan menambah kekhusyukan dan kejernihan serta ketenangan batin
mereka. Shalat malam dapat sebagai mediasi yang sangat kuat antara anak dengan
Alloh karena suasana yang hening dan sepi. Anak dapat bercakap dalam samudra
kebeningan jiwa.
- Membiasakan anak
melaksanakan shalat istikharah
Sahabat Anas bin Malik ra
mengikuti Rasulullah saw mulai sejak kecil da dia banyak melayani kebutuhan
beliau. Pada suatu ketika Rasulullah saw bersabda kepada Anas, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Sunni, “Hai Anas jika kamu menginginkan sesuatu
(tetapi kamu merasa bingung untuk menentukannya) maka shalatlah istikharah,
minta petunjuk kepada Alloh swt sebanyak tujuh kali, keudian lihatlah
(condongkan) kepada sesuatu yang lebih cenderung menurut hatimu karena kebaikan
terdapat dalam sesuatu yang kamu cenderungi.[136]
Membiasakan shalat
istikharah juga akan melatih sikap tawakal bagi anak. Setiap perbuatan hasilnya
selalu diserahkan kepada Alloh karena merasa bahwa hanya Alloh yang memberi
kekuatan untuk berbuat. Anak juga tidak akan merasa bingung ketika dalam
pilihan sulit, karena istikharah adalah jalannya. Dan jika menemui kegagalan
dalam usaha ia tidak akan mengalami depresi karena yakin semua itu adalah atas
kehendak Alloh dan pasti ada hikmah dibalik semua itu.
- Membawa dan mengikat anak
dengan masjid
Masjid adalah tempat terbaik
dan potensial untuk melahirkan generasi yang agamis, sebuah generasi yang
mengabdikan dirinya hanya kepada Alloh, menjunjung nilai-nilai kebenaran dan
selalu berusaha menikuti petunjuk Rasulullah saw.
Kehadiran anak kecil ikut
berjamaah di masjid bersama orang-orang dewasa secara tidak langsung
mengajarkan mereka tata cara shalat dan jumlah rakaat shalat.lima waktu.
Mengikat anak dengan masjid
adalah sebuah usaha untuk mencegah mereka dari perbuatan yang tidak baik di masyarakat, hal ini karena
tidak ada perbuatan buruk yang dilakukan di masjid. Mengikat anak di masjid
juga merupakn satu usaha agar anak di akhirat kelak mendapat perlindungan di padang masyhar karena disebutkan dalam sebuah hadits bahwa
diantara golongan yang mendapat naungan dari terik matahari di padang masyhar adalah
pemuda yang taat kepada Alloh dan yang memiliki keterikatan batin dengan
masjid.
D.
Pemberian Reward dan Punishment dalam
Pendidikan Shalat
Dalam al Quran banyak ayat yang mengisyaratkan tentang
pengharapan atau ganjaran dan hukuman, sanksi atau ancaman sebagai metode pendidikan. Dalam psikologi terdapat metode reinforcement
(peneguhan atau penguatan) yang berarti “setiap konsekuensi atau dampak tingkah
laku yang memperkuat tingkah laku tertentu.” [137]
Reinforcement diklasifikasikan ke dalam dua macam:
1.
Peneguhan (reinforcement) positif,
yaitu sesuatu rangsangan (stimulus) yang memperkuat atau mendorong suatu respon
(tingkah laku tertentu). Peneguhan positif ini berbentuk reward (ganjaran,
hadiah, atau imbalan), baik secara verbal (kata-kata atau ucapan pujian),
maupun secara non verbal (isyarat, senyuman, hadiah berupa benda-benda, dan
makanan)
2.
Peneguhan (reinforcenment)
negatif, yaitu suatu rangsangan (stimulus) yang mendorong seseorang untuk
menghindari respon tertentu yang konseluensi atau dampaknya tidak memuaskan
(menyakitkan atau tidak menyenangkan). Peneguhan negatif ini bentuknya hukuman
atau pengalaman yang tidak menyenangkan atau juga berupa ancaman.
Seperti disebutkan di depan bahwa anak usia 6-7 tahun
memiliki dunia dan karakteristik sebagai anak dalam masa latens. Karena itu
pelaksanaan shalat bagi mereka kebanyakan adalah hasil meniru dari kedua orang
tua. Sementara untuk usia 8-12 tahun pelaksanaan shalat bisa berupa kesadaran
akan pentingnya shalat. Ketika berusia 6 tahun anak semetinya sudah diberi
pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti kewajiban
melaksanakannya, rukun, wajib dan sunnahnya, bentuk pelaksanaan dan sebagainya.
Di usia ini pun seharusnya orang tua selalu memberi dorongan (motivasi) serta
memberi pemahaman tentang ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya, dan
sebagainya. Sementara itu di usia 8 tahun keatas, anak seharusnya sudah
melaksanakan kewajiban shalat ini, baik dalam kesadaran sendiri ataupun karena
perintah orang tua. Tetapi mengingat masa ini merupakan masa labil dalam
melaksanakan kegiatan rutin (seperti shalat) maka perlu pemahaman orang tua
terkait memerintah anak melaksanakannya.
Perlu dipahami bahwa orang tua sangat perlu memiliki
dan memahami berbagai metode/cara dalam perintah shalat bagi anak. Najib Khalid
al Amir menerangkan bahwa kekerasan dan kesalahan dalam mendidik dapat
berakibat tidak baik.
Dalam etnik keluarga tertentu serng ditemukan sikap
dan perilaku orang tua yang memarahi, menghardik , mencela bahkan memberi
hukuman fisik sekehendak hati kepada anak apabila melakuka kesalahan. Padahal,
penggunaan cara-cara seperti diatas secara psikologis mendatangkan efek negatif
bagi perkembangan jiwa anak. Efek negatif dari celaan misalnya, dapat
melahirkan kedengkian dan dendam bagi anak yang dicela dan melahirkan sikap
takabur bagi orang tua yang melakukan celaan.[138]
Banyak dijumpai di masyarakat kesalahan dalam mendidik anak
terutama shalat, baik dalam memberi perintah, memberi motivasi sampai memberi
hukuman yang tidak tepat. Karena itu orang tua perlu memahami pentingnya
penggunaan metode mengajar bagi anak. Penggunaan metode yang tepat akan memberi
dampak positif, tidak hanya pada hasil pendidikan yakni berupa pelaksanaan
shalat, tetapi juga dalam perkembangan psikologisnya. Untuk itu perlu
dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan metode Reward dan Punishment
Dalam pengajaran shalat, pemberian hadiah sebagai
motivasi serta hukuman (bila diperlukan) mempunyai pengaruh dan penting
diberikan. Dr. Adnan Ali Ridha An Nahwi mengatakan bahwa reward dan punishment
keduanya merupakan perkara yang telah ditetapkan dalam Islam, dalam kehidupan
maupun dalam dunia pendidikan. Tetapi masing-masing memiliki aturan dan
kaidah-kaidah tertentu. [139]
Reward (hadiah) merupakan efek yang dilakukan seorang
orang tua terhadap anak didiknya, sehingga perilaku sang anak menjadi positif,
jiwa dan fisik merasa nyaman, terdorong untuk mengulangi perilaku positifnya
kembali dan ingin terus melakukannya. Reward juga bisa sebagai motivasi yaitu
menumbuhkan kesadaran untuk maju, untuk menentukan niat, rencana, serta tujuan
yang akan dicapai.
Menurut Ma’athi, salah satu manfaat terpenting dari
pemberian hadiah dan penghargaan kepada anak adalah lahirnya keadaan emosianal
yang tenang dalam diri anak.[140]
Kondisi yang seperti ini akan membawa ketentraman dalam keadaan yang penuh
keridhaan, kenikmatan dan kegembiraan, sehingga menyebabkan penguatan faktor
pendorong yang bekerja untuk menjadikannya disiplin dan rajin dalam menetapi
perilaku serta mengarahkannya dalam jangka waktu yang lama. Kondisi seperti ini
akan sangat berpengaruh dalam kesuksesan dalam pelaksanaan shalat anak.
Lebih dari itu, menurut para penganut behavioristik,
reward merupakan pendorong utama dalam proses belajar mengajar. Reward dapat
berdampak positif bagi anak, yaitu (1) menimbulkan respon poeitif; (2)
menciptakan kebiasaan yang relatif kokoh di dalam dirinya; (3) menimbulkan
perasaan senang dalam melakukan pekerjaan yang mendapat ombalan; (4)
menimbulkan antusiasme, semangat untuk terus melakukan pekerjaan; dan (5)
semakin percaya diri.[141]
Reward ini bisa
berupa pemberian penghargaan (penghormatan), pujian dan juga bisa berupa
hadiah.
Pemberian penghargaan (ta’ziz) ini diberikan karena
anak telah melakukan ibadah shalat walaupun belum sepenuhnya keinginan mereka
sendiri. Pemberian penghargaan ini secara psikologis dapat memberi efek positif
berupa kebanggaan, kepercayaan diri dan terlebih keinginan untuk kembali
melakukan shalat.
Pemberian penghargaan dapat dilakukan melalui dua
teknik, yaitu verbal dan non verbal. Penghargaan verbal bisa berupa pujian dan
sanjungan akan kemauannya melakukan shalat. Sedangkan non verbal bisa berupa
senyuman yang tulus, pelukan yang hangat, maupun ciuman dari orang tua.
Pujian yaitu keluarnya kata-kata baik yang merupakan
respon dari kemauan anak melakukan shalat. Kata-kata yang baik akan berdampak
positif terhadap psikologis anak karena dia akan merasa dihargai dan dihormati
sehingga yang dilakukannya tidak sia-sia. Walaupun pujian dan sanjungan
merupakan kebanggaan anak terhadap usahanya tetapi sejak dini harus ditegaskan
bahwa setiap perbuatan baik, termasuk ibadah hanya wajib diperuntukkan karena
Alloh Ta’ala, bukan untuk mengharap pujian dan sanjungan dari makhluk.
Dalam Sukses Mendidik Anak Tanpa
Kekerasan, terdapat beberapa tips dalam memberikan pujian, yaitu : (1)
Pujian yang diberikan harus jelas dan sesuai dengan tingkah laku dan kegiatan
yang dilakukannya, (2) hargai dan nilailah keberhasilan yang diraihnya, (3)
muliakan prestasi anak atas keseriusan dan kemampuan yang dimilikinya, (4)
mintalah dari orang lain untuk mengungkapkan problematika yang menghalangi
kesuksesannya dan kemudian jelaskan jalan keluarnya, dan (5) buatlah anak
selalu konsentrasi terhadap aktivitas dan prestasi yang diraihnya.[142]
Seorang anak, sebelum dia dewasa, yaitu hingga usia sepuluh tahuan atau tiga
belas tahun mereka membutuhkan pelukan ibunya disaat dia akan melakukan
perbuatan yang membutuhkan keseriusan. Pelukan seorang ibu atau orang yang tua
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menggambarkan hangatnya kasih sayang.
Mungkin pada usia setelahnya, sikap tersebut bisa dilanjutkan dengan kecupan
pada pipi, kata-kata yang baik dan doa yang mengandung kebaikan.
Perlakuan semacam ini akan memberikan motivasi yang
kuat kepada anak untuk bahagia, aktif dan kreatif. Jika anak telah bahagia, dia
akan sengan melakukan kebaikan dan hal-hal yang diperintah orang tua. Hal ni
pun telah dicontohkan Rasulullah saw terhadap anak-anak kecil, diriwayatkan
oleh Imam Muslim bahwa suatu saat beliau saw pergi bersama para sahabatnya ke
ujung Madinah hanya untuk mencium anak-anak keil disana, yang ada di dalam
rumah-rumah di kota tersebut, kemudian setelah itu beliau kembali kepada
pekerjaan dan jihadnya. [143]
Semantara itu hadiah dikategorikan sebagai pujian atas
sebuah kesuksesan atau perilaku yang baik, meskipun hanya sekedar simbolik.
Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian hadian yaitu, hendaklah hadiah yang
akan diberikan itu dikaitkan dengan perilaku baik atau kesuksesan, hadiah
diberikan sesuai dengan usia dan kebutuhan anak, hendaknya berupa barang yang
sederhana dan awet (kecuali berupa makanan atau minuman), hendaknya diberikan
pada momen-momen tertentu agar tidak menjadi hal yang biasa karena sering dan
mudah dalam mendapatkannya sehingga tidak lagi berpengaruh. Hadiah merupakan sunnah dalam Islam,
sebagaimana sabda Nabi saw dari Abu Hurairah ra, “Hendaklah kalian saling
memberi hadiah agar saling mencintai.”[144]
Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam
pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang
benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman
fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih besar pengaruhnya
daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi
kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua hukuman. Tentu
tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah
mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut,
maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan
memberikan hukuman pukulan, antara lain:[145]
a)
Pendidik tidak terburu-buru.
b)
Pendidik tidak memukul ketika
dalam keadaan sangat marah.
c)
Menghindari anggota badan yang
peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
d)
Tidak terlalu keras dan tidak
menyakiti.
e)
Tidak memukul anak sebelum ia
berusia 10 tahun.
f)
Jika kesalahan anak adalah untuk
pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan
berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
g)
Pendidik menggunakan tangannya
sendiri.
h)
Jika anak sudah menginjak usia
dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan
mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru
boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan
atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada
kesehatan dan perkembangnnya
Rasulullah Saw menjelaskan tahapan bagi orang tua untuk
memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk
moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku
Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan dengan:[146]
a)
Pengarahan
b)
Ramah tamah
c)
Memberikan isyarat
d)
Kecaman
e)
Memutuskan hubungan (memboikotnya)
f)
Memukul
g)
Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir
setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa orang tua tidak
boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat.
Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh
menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika orang tua menghukum anak yang
berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan
bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan
seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka
bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika orang tua tahu bahwa dengan salah satu tahapan
ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan
problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap
misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka
dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman terakhir ini
dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga dapat dijadikan
pelajaran oleh mereka.
Islam memang membolehkan orang tua untuk memberi
hukuman kepada anak, tetapi tidak perlu menghukum anak kecuali sudah benar-benar
terpaksa. Hukuman pun harus disesuaikan dengan keadaan anak dan tidak boleh
dilakukan dengan kekerasan. Ibnu Khaldun menetapkan bahwa kekerasan yang
diberlakukan terhadap anak justru akan membiasakannya bersifat penakut dan lari
dari tugas-tugas kehidupan. Dia berkata, “Jika orang yang mendidik anak suka
bersikap keras dan memaksa, maka sikap keras dan paksaan ini akan menekan
jiwanya, sehingga menghilangkan semangatnya, mendorongnya bersikap malas, suka
berdusta dan berkilah, karena dia takut tamparan tangan yang dijatuhkan
kepadanya. Pola kekerasan ini juga mengajarinya untuk melakukan tipu muslihat
dan mencari-cari alasan, yang akhirnya hal ini menjadi kebiasaannya dan merusak
makna-makna kemanusiaan dalam dirinya.” [147]
Rasulullah saw membolehkan orang tua untuk memukul
anak jika telah berusia sepuluh tahun dan ia meninggalkan shalat. Memukul di
sini bukan berarti memberi hukuman fisik dengan kekerasan atas kemauan orang
tua. Memang hukuman fisik diperbolehkan tetapi itu adalah jalan terakhir apabilan
hukuman ringan sudah tidak berhasil. Beberapa pendapat dibawah ini memberikan
gambaran tentang efek buruk dari hukuman berbentuk memukul secara berlebihan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif
dari hukuman, yaitu:[148] (1)
Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena
hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung
jawab. (2) Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah
akibat yang diharapkan oleh pendidik. (3) Si pelanggar menjadi kehilangan
perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya dengan
hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian
hukuman yang tidak efektif, antara lain:[149] (1)
Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri. (2)Anak akan
selalu merasa sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka
berdusta (karena takut dihukum). (3) Mengurangi keberanian anak untuk
bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat
bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:[150]
a)
Mengacaukan dan menghambat
jalannya pelajaran bagi anak secara keseluruhan.
b)
Guru dan anak akan terpengaruh
ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan membekas pada keduanya secara
bersamaan.
c)
Adanya bekas yang merugikan pada
diri anak yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota
badan lainnya.
d)
Kesulitan pemahaman terhadap
pelajaran bagi anak yang dihukum
e)
Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk
mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga dan penyidik
f)
Terbuangnya waktu anak untuk
belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika
pelajaran berlangsung
g)
Hilangnya rasa saling memuliakan
dan menghormati antar anak dan guru.
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek
bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu: (1) Mewariskan pada diri anak kebodohan dan
kedunguan (2) Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan
diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun (3) Suka membangkang sebagai
bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Karena itu tidak diperbolehkan menghukum anak dengan
berlebihan terutama memukul karena kesewenang-wenangan orang tua. Rasulullah
Saw harus dicontoh oleh orang tua dalam bersikap kepada anak, yaitu tidak
terburu-buru memberi pukulan dan sedapat mungkin menghindari pukulan.
Pemberian hukuman terhadap keteledoran anak dalam
melakukan shalat memang diperlukan selama hal itu sesuai dengan keadaan dan
tidak bertentangan dengan sifat agama Islam yang memberikan kemudahan kepada
umatnya. Berikut ini pendapat tentang sisi positif dari pemberian hukuman yang
efektif.
Armai Arief mengatakan dampak positif dari hukuman
antara lain: (1) Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid. (2)
Anak tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.(3) Merasakan akibat perbuatannya
sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman
menjadi dua, yaitu: 1) Memperbaiki tingkah laku
si pelanggar.
2) Memperkuat kemauan
si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
Perlu diingat bahwa pelaksanaan shalat bagi anak belum
sebuah kewajiban tetapi lebih kepada pembiasaan sehingga jangan sampai meniggalkan
prinsip kemudahan dalam pendidikan dan pelaksanaan shalat.
Untuk meningkatkan kegemaran dan
kesungguhan anak dalam melakukan shalat, maka orang tua juga perlu untuk
memberikan motivasi. Motivasi yang bersifat materi mauupun maknawi sangatlah
baik. Ia juga merupakan salah satu unsur penting diantara unsur-unsur
pendidikan Islam yang sangat dibutuhkan. Alangkah banyaknya penyebutan tentang
motivasi dan ancaman dalam al quran, khususnya pada setiap dosa besar, selalu
diiringi dengan ancaman neraka agar kita meninggalkannya dan kabar gembira
dengan surga bagi siapa yang menjauhi dosa besar. Dalam upaya menumbuhkan minat
anak untuk gemar shalat, maka metode pemberian motivasi ini sangat penting,
sebagaimana yang dikatakan Ma’athi:
Kita harus memotivasi anak-anak untuk shalat, hal itu bisa dilakukan
dengan menjelaskan keutamaan shalat dan bahwa orang yang shalat akan menjadi
penduduk surga.
Kita juga harus memberikan gambaran-gambaran tentang surga beserta
istana, sungai, pepohonan, buah-buahan, daging burung dan madu yang disaring
yang ada di dalamnya.[151]
Namun jangan sampai memberikan
motivasi secara berlebihan. Motivasi itu diharapkan bisa memberi peran yang
besar terhadap jiwa anak dan juga terhadap kemajuan gerakannya yang positif dan
membangun dalam menyingkap potensi-potensi dan kecondongan-kecondongan yang
dimilikinya.
Di sinilah perlunya orang tua untuk
memberi pemahaman tentang keutamaan shalat dan keutamaan menjalankannya,
ancaman bagi yang meninggalkannya sebagai upaya untuk memotivasi anak agar
selalu diingat dalam hidupnya kelak.
Ingatlah bahwa shalat adalah nafas kehidupan
seorang muslim, dimana wajib selalu dilaksanakan sampai nafas badan berhenti.
Seorang muslim yang sengaja meninggalkan shalat sesungguhnya ia ibarat mayat
berjalan karena nafas Islam telah hilang dari dalam dirinya.
BAB VI
KESIMPULAN
1.
Shalat secara bahasa berarti doa,
menurut syara’ adalah suatu amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan, yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam,
yang sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Hukum shalat adalah
wajib bagi setiap muslim yang telah berusia baligh dan sehat akal. Barangsiapa
yang dengan sengaja meninggalkannya, maka ia adalah kafir. Bagi anak (sebelum
baligh) shalat adalah latihan dan pembiasaan, bukan pelaksanaan kewajiban.
Walaupun begitu, orang tua wajib memerintahkan anak untuk menjalankan shalat
ketika mereka mulai mampu membedakan kanan dan kiri. Shalat memiliki banyak
keutamaan diantaranya: Shalat menjadi pembeda antara yang mukmin dan kafir,
orang yang shalat akan menjadi penduduk surga, shalat mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar, shalat dapat menghapuskan kesalahan-kesalahan, shalat adalah
tiang agama, shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah saw., shalat adalah amalan
yang dihisab pertama kali, dan shalat adalah ibadah yang istimewa. Alloh
mengancam orang yang malas untuk mengerjakan shalat dengan ancaman yang keras,
diantaranya: Menjadi Kafir, berdosa besar, menjadi orang yang munafiq, dapat
menjadi orang yang berbuat zhalim di dunia, mati dalam keadaan su’ul khatimah,
mendapat azab kubur,menjadi penghuni neraka saqar, tenggelam ke jurang hawa
nafsu, mendapat musibah dan bencana, dapat dikuasai setan, berkhianat terhadap
amanat, dan mendatangkan azab Alloh swt.. di dunia dan di akhirat.
2.
Orang tua memiliki tanggung jawab
yang sangat besar terhadap pendidikan keluarga karena mereka diperintah untuk
membawa keluarganya terbebas dari siksa api neraka. Tanggung jawab tersebut
meliputi tanggung jawab pendidikan iman, moral, jasmani, rasio, kejiwaan,
sosial dan sosial. Peran orang tua dalam pendidikan anak adalah sebagai
madrasatul awal, pembiming langsung, figur keteladanan dan penyedia fasilitas
belajar.dalam pedidikan keluarga, orang tua harus memberi kenyamanan dan kemudahan
kepada anak dengan memberi pola asuh yang terbaik dan interaksi yang
komunikatif.
3.
Secara umum anak usia 6-12 tahun
digolongkan sebagai masa sekolah dan masa intelektual, yaitu masa untuk anak
memiliki keingintahuan yang besar terhadap suatu hal, mulai tumbuh rasa sosial dalam
dirinya, dan telah siap untuk menerima pelajaran dalam hidup. Usia ini juga digolongkan dalam fase tamyis, yaitu dimana anak
mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, dimana
tugas perkembangan keagamaannya adalah perubahan persepsi kongkrit menuju pada
persepsi yang abstrak, misanya persepsi tentang ide ketuhanan, alam akhirat,
dan sebagainya dan pengembangan normatif agama melalui institusi sekolah, baik
yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Keberagamaan
anak ditandai dengan ciri-ciri: Sikap keberagamaan anak masih bersifat reseptif
namun sudah disertai dengan pengertian, pandangan dan paham ketuhanan
diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman
kepada indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi keagungan-Nya, dan
penghayaran secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual
diterimanya sebagai keharusan moral.
4.
Anak mulai diperintah untuk
menjalankan shalat ketika mereka mulai mampu membedakan tangan kanan dan kiri
dengan cara memperkenalkan dan mengajak mereka dalam shalat berjamaah. Kemudian
ketika berusia 7 tahun, mereka harus diperintah untuk tertib melaksanakan
shalat dan boleh di pukul ketika mereka berusia 10 tahun dan sengaja
meninggalkan shalat. Langkah pertama untuk mengawali pendidikan shalat adalah
persiapan dari orang tua, diantaranya: Siap
memberikan keteladanan, siap mengajarkan shalat dengan benar, tidak membiarkan
kesalahan, melatih dengan berulang-ulang, menciptakan suasana yang nyaman dan
aman, tidak memaksa, tidak membanding-bandingkan, mendirikan shalat fardu
secara berjama’ah, dan menyediakan peralatan shalat untuk anak. Tahapan dalam
mendidik dan menanamkan kegemaran shalat adalah: Mengajarkan keimanan,
mengajarkan tata cara Thaharah (bersuci), mengajarkan tata cara wudhu dan
keutamaannya, mengajarkan adzan dan memberitahu keutamaannya, mengajarkan tata
cara dan keutamaan shalat, melatih anak melaksanakan shalat malam, membiasakan
anak melaksanakan shalat istikharah, dan membawa dan mengikat anak dengan
masjid. Dalam pendidikan shalat ada metode reward-punishment sebagai bagian
dari reinforcement (peneguhan dan penguatan). Reward ini bisa berupa
pemberian penghargaan (penghormatan), pujian dan juga bisa berupa hadiah.
Punishment diberikan mulai yang ringan dengan memperhatikan kesalahan dan kesiapan
anak dalam menerimanya.
DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem, Tamparan-Tamparan Super Pedas Bagi yang Malas Shalat, Jogjakarta :
Diva Press, 2011.
al ‘Akk, Khalid bin Abdurrahman, Tarbiyah al Abna’ wa al Banat fi Dhau’ al Quran wa al Sunnah (Cara Islam
Mendidik Anak) terj. Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta :
Ad Dawa’, 2006.
al Albani, Muhammad Nashiruddin, Rahasia sifat Shalat Nabi, Riyadh :Dar al
Ma’arif,1996.
--------, Irwa’ul Ghalil, Beirut : Maktab Islami,
1405 H.
Al Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhori, Beirut : Darul Kutb, 2007.
Al Qusyairi, Abul Hasan al Hajaj, Shahih Muslim, Kairo: Darul
Hadits, 1997.
Al-Sijistaniy, Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu
Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut :
Dar al-Fikr, 2007.
Amin, Samsul Munir, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami, Jakarta : Amzah, 2007.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan, Jakarta : Rineke Cipta,
1988.
At Tirmidzi, Muhammad bin Isa, sunan at
Tirmidzi, Beirut :
Darul Kutb, 2007.
Azwar, Saifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004.
Bahresi, Hussein, Al Jami’ush Shahih Bukhori-Muslim, Surabaya : Karya Utama,
t.t.
Bahtiar, Deni Sutan, Mengapa Shalatmu Tak Mampu Menjauhkanmu Dari
Kekejian dan Kemungkaran?, Jogjakarta :
Gara Ilmu, 2009.
Baryaghisy, Muhammad Hasan, Adab al Athfaal Ahdaafuh wa Simaatuh
(Wahai Ummi Selamatkan Anakmu), terj. Slamet Riyadi Sami, Jakarta : Arina, 2005.
Candra, “Cara Mengajarkan Shalat Pada Anak”
dalam http://ustadchandra.wordpress.com/,
diakses 1 Juni 2011
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 2003.
Departemen Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Pedoman
Penyusunan Skripsi, : Departemen Agama, 2010.
Dinata, Arda, “Tahapan - Tahapan Dalam Mendidik Anak” dalam
http://hwaiting.dagdigdug.com/category/tarbiyatul-aulad/htm, diakses 7 April
2011
Djamarah, Syaiful Bahri, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga, Jakarta :
Rineka Cipta, 2004.
el Moekry, Mukhotim, Membina anak beraqidah kokoh, Jakarta : Wahyu press,
2004.
Faridh, Miftah, Rumahku Surgaku:Romantika dan Solusi Rumah Tangga,
Jakarta : Gema
Insani, 2005.
Hadi, Sutrisno, Metode Research, Yogyakarta :
Andi Offset, 1999.
Hafid, Mohammad Nur Abdul, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath
Thifli (Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj.
Mohammad Asmawi, Yogyakarta : Darussalam, 2004.
Huda, Miftahul, Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak,
Malang : UIN Malang Press, 2008.
Islam, Nisa i, “Hukuman
dalam Pendidikan Islam” dalam http://insansalsabila.wordpress.com, diakses
01 Juni 2011
Kartono, Kartini, Psikologi anak, Bandung : Mandar Maju, 2007.
Kazhim, Muhammad Nabil, Sukses Mendidik Anak Tanpa Kekerasan,
Solo: Pustaka Arafah, 2011.
Labib MZ, Etika Mendidik Anak Menjadi Shaleh, Surabaya : Putra Jaya, 2007.
Laily, Asrina, “Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan Islam” dalam
http://asrinalaily.wordpress.com, diakses 7 April 2011
Ma’athi, Mushthafa abul, Kaifa Nurabbi Auladana ‘alas Shalah:
‘amaliyan wa ilmiyyan (Membimbing Anak Gemar Shalat: kiat praktis
menjadikan shalat sebagai kegemaran anak), terj. Abu Abdullah, Surakarta : Insan Kamil,
2008.
Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting, Jogjakarta : Diva Press, 2009.
Mubarrok, Abdulloh, Tuntunan Shalat Madzab Syafii, Surabaya : Arkola, 2005.
Muchtar, Heri Jauhari, Fikih Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005.
Muhyidin, Muhammad, Menanam Tauhid, Akhlaq, dan Logika si Mungil,
Jogjakarta :
Diva Press, 2009.
Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam,
Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002.
Musthofa, Aziz, Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal, Jogjakarta : Diva Press,
2009.
Musthofa, Yasin, EQ Untuk Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Islam,
t.t.p.:Sketsa, 2007.
Nafsin, Abdul Karim, Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan
Realita, Mojokerto: Al Hikmah, 2005.
Najati, Muhammad Utsman, Al Hadits an Nabawi wa ‘Ilm an Nafs
(The Ultimate Psychology:Psikologi Sempurna ala Nabi saw),terj. Hedi Fajar, Bandung : PustakaHidayah,
2008.
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta : At Thahitiyah, 1976.
Rosyidah, Faizatul, “Mendidik Anak Shalat” dalam http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/.
Diakses 1 Juni 2011
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak Bersama
Nabi saw., Solo: Pustaka Arafah, 2006
Ulum, Arif Fathul, Sudah Benarkah Sholat Kita, Gresik: Majelis
Ilmu Piblisher, 2008.
Ulwan, Abdullah Nashih, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami,
Jogjakarta :
Darul Hikmah, 2009.
Warsidi, Edi, Pentingnya Pendidikan Agama Sejak Dini, Bandung : Pustaka Madani,
2006.
Yaman, Askar, “Perkembangan Anak Usia TPA (7-12 tahun) Serta
Implikasinya Dalam Pendidikan” dalam http://www.fajaronseven.co.cc, diakses 15
Mei 2011
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1989.
Yusuf , Syamsu, Psikologi Belajar Agama, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005
Zulfajri, Em dan Ratu Aprilia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
t.t.p.: Difa Publisher, t.t.
Zullkifli L., Psikologi Perkembangan, Bandung : RemajaRosdakarya, 2003.
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang
bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: AHMAD NUR SANTO
NIM : 3211073004
Jurusan : Tarbiyah
Prodi PAI
Menyatakan
dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang
lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di
kemudian hari terbukti dan dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, maka
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Tulungagung,
Juli 2011
Penulis
AHMAD
NUR SANTO
NIM.
3211073004
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama :
Ahmad Nur Santo
TTL :
Tulungagung, 06 Maret 1990
Agama : Islam
Alamat : RT./RW. 01/01 Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, Tulungagung
Orang Tua : Tuwat dan Bingatun
Saudara : Siti Nur Aminah dan
Siti Nur Khasanah
Riwayat Pendidikan :
·
TK Darma Wanita Nglurup : Tamat tahun 1995
·
SDN Nglurup I : Tamat tahun 2001
·
SMPN 02 Tulungagung : Tamat tahun 2004
·
SMAN 01 Boyolangu : Tamat tahun 2007
[1] Hussein Bahresi, Al
Jami’ush Shahih Bukhori-Muslim, (Surabaya : Karya Utama,
t.t.), hal 50
[3] Rizem Aizid, Tamparan-Tamparan Super Pedas Bagi yang
Malas Shalat, (Jogjakarta :
Diva Press, 2011), hal. 11
[6] Ibid,
hal. 446
[7] Abdullah Nashih Ulwan, Mencintai
dan Mendidik Anak Secara Islami. (Jogjakarta
: Darul Hikmah, 2009), hal. 83
[9] Mushthafa abul Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana ‘alas Shalah: ‘amaliyan wa ilmiyyan (Membimbing
Anak Gemar Shalat: kiat praktis menjadikan shalat sebagai kegemaran anak),
terj. Abu Abdullah, (Surakarta :
Insan Kamil, 2008), hal. 50
[11] Mohammad Nur Abdul Hafid, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia
Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, (Yogyakarta : Darussalam, 2004), hal. 125
[12] Djamarah, Pola
Komunikasi Orang Tua …,hal. 33
[13] Ibid., hal.
34
[14] Muhammad Hasan Baryaghisy, adab al Athfaal Ahdaafuh wa Simaatuh (Wahai Ummi Selamatkan
Anakmu), terj. Slamet Riyadi Sami, (Jakarta
: Arina, 2005), hal . 23
[15] Em Zulfajri dan Ratu Aprilia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. (t.t.p.: Difa Publisher, t.t.),
hal. 273
[16] ibid., hal. 251
[17] Baryaghisy, Adab
al Athfaal…, hal. 4
[18] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002),
hal.105
[19] Sutrisno Hadi, Metode
Research. (Yogyakarta: Andi Offset, 1999), hal. 2
[20] Departemen Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Pedoman Penyusunan Skripsi.
(Tulungagung: Departemen Agama, 2010), hal. 39
[21] ibid.
[23] Ibid., hal. 91
[24] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan. (Jakarta: Rineke Cipta, 1988), hal. 236
[25] Hadi, Metode
Research…, hal. 40
[26] Sulaiman Rasyid,
Fiqh Islam, (Jakarta: At Thahitiyah, 1976), hal 64
[28] Deni Sutan Bahtiar, Mengapa
Shalatmu Tak Mampu Menjauhkanmu Dari Kekejian dan Kemungkaran?, (Jogjakarta : Gara Ilmu,
2009), hal 42
[29] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal. 18
[30] Bahresi, Al Jami’ush
Shahih …, hal 50
[31] Bahtiar, Mengapa
Shalatmu Tak Mampu…, hal. 43
[32] Muhammad Nashiruddin al Albani, Rahasia sifat Shalat
Nabi, (Riyadh:Dar al Ma’arif,1996), hal. xi
[34] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana.., hal. 18
[36] DEPAG RI ,
Al Quran dan Terjemahnya…, hal. 425
[37]
Ibid, hal. 352
[39] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal. 50
[40] ibid.
[41] Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistaniy, Sunan
Abi Dawud, (Beirut :
Dar al-Fikr, 2007), hal. 133
[42] Hafid, Manhaj at Tarbiyah …, hal. 123-124
[43] Ibid., hal. 125
[44] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…hal. 24-25
[45] Ibid., hal 25.
[46] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa …, hal 75
[47] DEPAG RI ,
Al Quran dan Terjemahnya…, hal. 837
[48] Hussein Bahresi, Al
Jami’ush Shahih …, hal 2
[49] DEPAG RI ,
Al Quran dan Terjemahnya…, hal.566
[50] Bahtiar, Mengapa
Shalatmu Tak Mampu…, hal. 84
[51] Hussein Bahresi, Al
Jami’ush Shahih …, hal 51
[52] Abdul Karim Nafsin, Menggugat Orang Shalat Antara
Konsep dan Realita. (Mojokerto: Al Hikmah, 2005), hal. 6
[53] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal 18.
[54] Nafsin, Menggugat Orang Shalat…, hal 6
[55] Rizem Aizid, Tamparan-Tamparan Super Pedas…,hal. 11
[56] Edi Warsidi, Pentingnya
Pendidikan …, hal. 38
[57] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana …, hal. 11
[58] Amin, Menyiapkan
Masa Depan Anak… , hal. 2.
[59]
Imam al Bukhori, Shahih Bukhori, Surabaya :
Al Asriyah, 1989), hal. 9
[60] Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak… , hal.4
[61] Asrina Laily, “Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan
Islam” dalam http://asrinalaily.wordpress.com, diakses 7
April 2011
[62] Warsidi, Pentingnya
Pendidikan Agama…, hal. 50
[63] Arda Dinata, “Tahapan - Tahapan Dalam Mendidik Anak” dalam
http://hwaiting.dagdigdug.com/category/tarbiyatul-aulad/htm,
diakses 7 April 2011
[64] Hussein Bahresi, Al
Jami’ush Shahih…, hal. 30
[65] ibid,…hal. 4
[66] Abdullah Nashih Ulwan, Mencintai
dan Mendidik Anak Secara Islami, (Jogjakarta
: Darul Hikmah, 2009), hal. 83
[68] Ibid., hal 45
[69] Ibid., hal. 54
[70] Muallifah, Psycho
Islamic…, hal. 62
[71] Ibid.,hal 60
[72] Yasin Musthofa, EQ
Untuk Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Islam, (t.t.p.:Sketsa, 2007), hal. 96
[73] Muallifah, Psycho
Islamic…, hal. 63
[74] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an
Mendidik Anak, (Malang :
UIN Malang Press, 2008), hal 344-345
[75] ibid., hal 348
[76] ibid., hal 353
[77] ibid., hal 356
[78]
Zullkifli L., Psikologi Perkembangan.
(Bandung :
RemajaRosdakarya, 2003), hal. 18-21
[79]
Kartini Kartono, Psikologi anak. (Bandung : Mandar Maju,
2007), hal. 34
[80]
Muhammad Utsman Najati, Al Hadits an
Nabawi wa ‘Ilm an Nafs (The Ultimate Psychology:Psikologi Sempurna ala Nabi
saw),terj. Hedi Fajar, (Bandung :
PustakaHidayah, 2008), hal. 278-280
[81]
Mujib, Nuansa-Nuansa …, hal.105
[83]
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan,. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 68
[84]
Miftah Faridh, Rumahku Surgaku:Romantika
dan Solusi Rumah Tangga, (Jakarta :
Gema Insani, 2005), hal 254
[85] Ibid., hal 255
[86]
Mujib, Nuansa-Nuansa…, hal. 97
[87]
Imam al Bukhori, Shahih Bukhori, Surabaya :
Al Asriyah, 1989), hal. 9
[88] DEPAG RI ,
Al Quran dan Terjemahnya…, hal.574
[89]
Muhyidin, Menanam Tauhid…,hal 45
[90]
Najati, Al Hadits an Nabawi…,hal. 296
[91]
Musthofa, EQ Untuk Anak …, hal. 72
[92]
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa …, hal. 45
[93]
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 51
[94] ibid.,
hal. 52
[95] Amin,
Menyiapkan Masa Depan…, hal. 155
[96] ibid.,hal. 125
[97]
Labib MZ, Etika Mendidik Anak Menjadi Shaleh, (Surabaya : Putra Jaya, 2007), hal. 10
[98]
Miftah Faridh, Rumahku Surgaku…, hal 257
[99]
Mohammad Nur Abdul Hafid, Manhaj at
Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga
Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, (Yogyakarta :
Darussalam, 2004), hal. 123-124
[100]
Miftah Faridh, Rumahku Surgaku…,hal.
260
[101] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal. 50
[102] ibid.
[103] Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistaniy, Sunan
Abi Dawud, (Beirut :
Dar al-Fikr, 2007), hal. 133
[104]
Khalid bin Abdurrahman al ‘Akk, Tarbiyah al Abna’ wa al Banat
fi Dhau’ al Quran wa al Sunnah (Cara Islam Mendidik Anak) terj. Muhammad
Halabi Hamdi, (Yogyakarta : Ad Dawa’, 2006),
hal. 145 - 150
[105] Hafid, Manhaj at Tarbiyah…, hal. 134
[106] Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistaniy, Sunan
Abi Dawud, (Beirut : Dar al-Fikr, 2007),
hadits no. 494 dan Muhammad bin Isa at Tirmidzi, sunan at Tirmidzu, (Beirut : Darul Kutb, 2007),
hadits no. 407
[107] Ibid.
[108]
Azaz Musthofa, Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal. (Jogjakarta : Diva Press, 2009), hal 41.
[109]
Al ‘Akk, Tarbiyah al Abna’…, hal. 150
[110]
Mukhtim el Moekry, Membina anak beraqidah kokoh. (Jakarta : Wahyu press, 2004), hal. 4
[111] ibid.,
hal 140
[112] Candra, “Cara Mengajarkan Shalat Pada Anak” dalam http://ustadchandra.wordpress.com/,
diakses 1 Juni 2011
[113] Ibid.
[114] ibid.
[115]
Faizatul Rosyidah, “Mendidik Anak Shalat” dalam http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/.
Diakses 1 Juni 2011
[116]
Layla TM, Anak Bertanya Anda Kelabakan, (Solo: Aqwam, 2009), hal. 21
[117] Hafid, Manhaj at Tarbiyah …, hal. 123
[118] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal. 41
[119]
Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi saw., (Solo: Pustaka Arafah, 2006), hal 122
[120] ibid.
hal. 135
[121]
Rasyid, Fiqh Islam…, hal. 76
[122]
Ulum, Sudah Benarkah…, hal. 14
[123]
Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Hadits,
1997), no. 1/ 140
[124] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal. 53-56
[125]
Ulum, Sudah Benarkah…, hal. 20
[126]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut : Darul Kutb, 2007)
no. 1/135 dan Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim, (Kairo:
Darul Hadits, 1997), no. 1/ 225
[127] Hussein Bahresi, Al
Jami’ush Shahih…, hal. 35
[128]
Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Hadits,
1997), no. 1/ 215
[129] Ibid,
no. 1/219
[130] Ibid,
no. 1/217
[131]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori…, no. 2/96,;
dan Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim…, no, 1/325
[132] Ma’athi, Kaifa
Nurabbi Auladana…, hal. 71
[133]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori…, no. 2/84;
dan Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim…, no 1/294
[134]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori…, no 2/87
[135]
Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim…, no 1/290
[136]
ibid., hal. 148
[137]
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 92
[138]
Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan
Anak….hal. 33
[139]
Muhammad Nabil Kazhim, Sukses Mendidik Anak Tanpa Kekerasan. (Solo:
Pustaka Arafah, 2011), hal. 82
[140]
Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana.., hal.
200
[141]
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar …, hal. 94
[142]
Kazhim, Sukses Mendidik.., hal. 89
[143] ibid.,
hal. 92
[144] ibid.,
hal. 93
[145]
Nisa Islami, “Hukuman dalam Pendidikan Islam” dalam http://insansalsabila.wordpress.com,
diakses 01 Juni 2011
[146] Ibid.
[147]
Haya binti Mubarok. Ensiklopedi Muslimah, (Jakarta : Darul Falah, 2006), hal. 267
[148]
ibid.
[149] Ibid.
[150] Ibid.
[151]
Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana.., hal.
181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar