ahmadnursanto

Selasa, 29 Januari 2013

MENANAMKAN KEGEMARAN SHALAT PADA ANAK DALAM LINGKUNGAN KELUARGA




MENANAMKAN KEGEMARAN SHALAT
PADA ANAK
DALAM LINGKUNGAN KELUARGA



SKRIPSI

Diajukan Kepada
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung untuk
Memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
Program Sarjana Strata Satu Ilmu Pendidikan Islam










Oleh

AHMAD NUR SANTO
NIM. 3211073004


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUGAGUNG
Juli 2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING



Skripsi dengan judul “Menanamkan Kegemaran Shalat Pada Anak Dalam Lingkungan Keluarga” yang ditulis Ahmad Nur Santo ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.



Tulungagung, Juni 2011
Pembimbing,



Hj. ELFI MU’AWANAH, S.Ag., M.Pd.
NIP. 19721127 199703 2 001

PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Menanamkan Kegemaran Shalat Pada Anak Dalam Lingkungan Keluarga” yang ditulis Ahmad Nur Santo ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji STAIN Tulungagung pada hari Kamis, 21 Juli 2011, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu dalam Ilmu Pendidikan Islam.


Dewan Penguji Skripsi

                        Ketua,                                                                      Sekretaris,



            Anin Nurhayati, M.Pd.I.                                 Elfi Mu’awanah, S.Ag.,M.Si.
         NIP. 19790511 200312 2 002                              NIP. 19721127 199703 2 001


Penguji Utama



Fathul Mujib, M.Ag.
NIP. 19750523 200604 1 002


Tulungagung, Juli 2011
Mengesahkan,
STAIN Tulungagung
Ketua



Dr. Maftuhin, M.Ag.
NIP. 19670717 200003 1 002
MOTTO

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ
“ Perbedaan diantara seorang laki-laki (muslimin dan muslimat) dengan orang yang kafir yaitu meninggalkan shalat ” (HR. Muslim)[1]
tûïÏ%©!$#ur (#ÿrãxÿŸ2 öNßgè=»uHùår& ¥>#uŽy£x. 7pyèÉ)Î/ çmç7|¡øts ãb$t«ôJ©à9$# ¹ä!$tB #Ó¨Lym #sŒÎ) ¼çnuä!$y_ óOs9 çnôÅgs $\«øx© ……
“ Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun”(An- Nuur[24]:39) [2]

PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
1.      Kedua orang tuaku tercinta Tuwat dan Bingatun, yang senantiasa sabar dalam membesarkan dan membimbingku sejak sebelum aku lahir sampai aku sekarang ini, semoga Alloh swt membalas dengan balasan yang tiada pernah putus di dunia dan di akhirat.
2.      Segenap keluarga besarku yang senantiasa memberi semangat dan bantuan doa serta harapan kepadaku.
3.      Segenap keluarga Bapak Djoewadi yang senantiasa sabar membimbingku dan memberi fasilitas belajar selama 10 tahun terakhir ini. Keluarga yang sudah ku anggap dan ku jadikan sebagai keluargaku sendiri.
4.      Adikku Amin dan Ika yang selalu medoakan dan memberi semangat kepadaku.
5.      Guru-guruku yang senantiasa mendoakan dan memberi semangat kepadaku.
6.      Kawan - kawan yang telah membantuku dalam mencari bahan bacaan dan referensi.
7.      Kawan - kawan seperjuangan di PAI A dan STAIN Tulungagung.
8.      Serta beberapa mantan muridku di SMKN 1 Boyolangu yang telah memberikan dorongan dan doa.
Tulungagung, Juli 2011
Penulis

Ahmad Nur Santo

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh swt. Atas segala karunia serta pertolongan-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, shahabat serta  umat yang melangkah mengikuti petunjuk beliau.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.     Bapak Dr. Maftuhin, M.Ag; ketua STAIN Tulungagung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penulisan laporan penelitian ini.
2.     Ibu Hj. Elfi Mu’awanah, S.Ag.,M.Pd., selaku pembimbing yang juga telah memberikan pengarahan dan koreksi sehingga penelitian dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang yang direncanakan.
3.     Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan laporan penelitian ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Alloh swt. dan tercatat sebagai ‘amal shalih.
Akhirnya, karya ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca, dengan adanya kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi pengembangan dan perbaikan, serta pengembangan lebih sempurna dalam kajian-kajian perndidikan Islam.
Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridha Alloh swt. aamiin Ya Rabbal ‘alamin.

Tulungagung, Juli  2011
Penulis

Ahmad Nur Santo


DAFTAR ISI

Halaman Sampul ……………………………………………………………         i
Halaman Peersetujuan ……………………………………………………...          ii
Halaman Pengesahan  ………………………………………………………         iii
Halaman Motto …………………………………………………………….         iv
Halaman Persembahan ……………………………………………………..          v
Kata Pengantar …………………………………………………………….         vi
Daftar Isi ……………………………………………………………………         viii
Daftar Lampiran        …………………………………………………………...      x
Abstrak ……………………………………………………………………..         xi           

BAB I       :  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah  …………………………………         1
B.     Penegasan Istilah 
1.      Penegasan Konseptual  ……………………………….         10
2.      penegasan operasional  ……………………………….          11
C.     Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 
1.      Identifikasi Masalah ………………………………….         11
2.      Batasan Masalah ……………………………………..          12
3.      Rumusan Masalah ……………………………………          12
D.    Tujuan Kajian  ……………………………………………          13
E.     Kegunaan Kajian  ………………………………………...         13
F.      Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian  …………………………………..          14
2.      Sumber Data ……………………………………...         15
3.      Teknik Pengumpulan Data  ………………………          16
4.      Teknik Analisa Data  …………………………….          16
G.    Sistematika Pembahasan …………………………………          17
BAB II      :  KONSEP SHALAT BAGI ANAK
A.    Pengertian Shalat  ………………………………………..          19
B.     Hukum Shalat Bagi Anak  ……………………………….          23
C.     Keutamaan Shalat  ……………………………………….          29
D.    Ancaman Malas Mengerjakan Shalat  ……………………          35
BAB III    :  PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN KELUARGA
A.   Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua  ………………….         37
B.   Pola Asuh Orang Tua dalam Pendidikan Shalat  …………         45
BAB IV    :  PENDIDIKAN KEAGAMAAN ANAK
A.    Tugas Perkembangan Anak  ……………………………..          58
B.     Perkembangan Keagamaan Anak  ……………………….          64
C.     Usia Pendidikan Shalat  ………………………………….          70
BAB V      :  PENDIDIKAN DAN PENANAMAN KEGEMARAN SHALAT
A.    Tahapan Usia Dalam Pendidikan Shalat …………………          76
B.     Persiapan Orang Tua dalam Pendidikan Shalat ………….          85
C.     Tahapan Mendidik dan Menanamkan Kegemaran Shalat...         94
D.    Pemberian Reward dan Punishment dalam Pendidikan Shalat    111
BAB VI    :  KESIMPULAN  ……………………………………………...         127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN



DAFTAR LAMPIRAN


1.      Pernyataan Keaslian Tulisan
2.      Surat Bimbingan Penelitian
3.      Kartu Bimbingan Penelitian
4.      Pernyataan Kesanggupan Ujian
5.      Daftar Riwayat Hidup


ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Menanamkan Kegemaran Shalat Pada Anak Dalam Lingkungan Keluarga” ini ditulis oleh Ahmad Nur Santo dibimbing oleh Hj. Elfi Muawanah, S.Ag., M.Pd.
Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa di masyarakat masih banyak ditemukan muslim yang meninggalkan kewajiban shalat, padahal shalat bukan hanya kewajiban tetapi juga kebutuhan. Karena itu orang tua dituntut mendidik anaknya agar mau melaksanakan perintah shalat dan terlebih memiliki kegemaran dalam malaksanakannya. Dalam hal ini peneliti mencari metode yang tepat bagi orang tua untuk mendidik anak sehingga gemar melaksanakan shalat.
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah konsep shalat bagi anak? (2) Bagaimanakah peran orang tua dalam pendidikan keluarga? (3) Bagaimanakah perkembangan anak? (4) Bagaimanakah tahapan –tahapan dan metode dalam pendidikan dan penanaman kegemaran shalat ? Adapun yang menjadi tujuan peneltian dalam hal ini adalah (1) Untuk mengetahui  bagaimana konsep shalat bagi anak dalam Islam (2) Untuk mengetahui bagaimana peran orang tua dalam pendidikan keluarga (3) Untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak (4) Untuk mengetahui  bagaimana tahapan – tahapan dan metode dalam pendidikan dan penanaman kegemaran shalat.
Skripsi ini bermanfaat bagi penulis sebagai sumbangsih dan partisipasi dalam pembangunan bidang pendidikan serta mempertambah cakrawala pengetahuan sebagai bekal masa depan penulis ketika menjadi orang tua kelak. Bagi pendidik, terutama orang tua untuk dijadikan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam upaya penanaman kegemaran shalat pada anak. Bagi Peneliti lain dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research) yang menggunakan teknik dokumentasi untuk menggali sumber data. Metode yang digunakan adalah metode induksi yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian fakta-fakta itu diambil kesimpulan yang bersifat umum, dimana penggunaan metode ini adalah dengan mencari bahan referensi tentang isi skripsi dan kemudian menyimpulkan data untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan rumusan masalah .

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa palaksanaan shalat bagi anak adalah sebuah upaya pembiasaan dan bukan sebuah kewajiban, orang tua adalah sosok utama dalam pendidikan keagamaan anak dan diperlukan pola pengasuhan yang tepat dalam pendidikan shalat, anak usia 6-12 tahun berada dalam fase tamyis dan masa belajar dimana ia sudah bisa membedakan antara tangan dan kiri sehingga di usia ini orang tua wajib memerintahkan anak untuk menjalankan shalat, terdapat beberapa tahapan dan metode yang dapat dipergunakan dalam pendidikan shalat sehingga pendidikan akan berjalan dengan bauk, efektif dan efisien.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam buku Tamparan-tamparan Super Pedas bagi yang malas shalat, [3] Rizem Aizid menyebutkan setidaknya ada 12 macam akibat dari meremehkan shalat. Minimal telah melakukan dosa besar, sampai yang terberat adalah menjadi kafir, atau telah keluar dari bingkai keislaman. Hal ini tentunya mengisyaratkan akan pentingnya kedudukan shalat. Berkali-kali Alloh swt. telah  memerintahkan untuk selalu menjaga shalat, baik melalui al Quran ataupun as Sunnah.
Dalam realitas kehidupan, tidak setiap muslim melaksanakan perintah Alloh swt. ini. Banyak saya jumpai dalam masyarakat seseorang yang mengaku muslim tetapi meremehkan bahkan meninggalkan shalat. Padahal shalat tidak hanya kewajiban yang diperintahkan, tetapi juga sebuah kebutuhan dalam mempertahankan keislaman seseorang, dikarenakan seseorang yang sengaja meninggalkan shalat berarti ia adalah kafir. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ
Perbedaan diantara seorang laki-laki (muslimin dan muslimat) dengan orang yang kafir yaitu meninggalkan shalat ” (HR. Muslim)[4]
Fenomena semacam ini memang bukan hal yang aneh. ditengah derasnya arus globalisasi yang semakin pesat. Terlebih saat ini sudah berkembang aliran-aliran yang mendorong kaum muslim pada jurang kebebasan. Dampak yang nyata adalah berkembangnya paham liberalisme dalam Islam. Sampai-sampai banyak yang menganggap bahwa shalat itu adalah kebebasan individu, dimana orang lain (sesama muslim) tak boleh mencampurinya.
Kehidupan yang semakin materialis turut pula mempengaruhi kesadaran individu terhadap pentingnya shalat. Hal ini dikarenakan tolok ukur keberhasilan lebih sering diwujudkan dalam terpenuhinya kebutuhan materi sehingga tidak disadari akan mengurangi pemenuhan akan kebutuhan rohani dan pandangan akan kehidupan akhirat. Seorang muslim yang terbuai kehidupan duania hanya akan mengejar kepuasan nafsu semata. Kehidupan yang berjalan hanya terisi oleh pemenuhan kebutuhan fisik saja.
Di tengah kehidupan yang seperti itu, pendidikan keagamaan sangat diperlukan dan harus benar-benar ditanamkan kepada individu secara kuat sehingga tidak terjebak dalam arus kehidupan yang rusak. Orang tua tidak saja dituntut memenuhi kebutuhan jasmani anak, tetapi jauh lebih penting adalah memenuhi kebutuhan rohani anak, di antaranya dengan memberi pendidikan agama yang benar dan baik. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan shalat yang merupakan ruh pendidikan Islam.
Alloh swt. berfirman :
يَـأَ يُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْاأَنْفُسِكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا...
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…  “ (QS. At Tahrim [66]:6)[5]
Ayat di atas menggambarkan bahwa orang tua dituntut memberikan pendidikan yang terbaik bagi keluarganya karena ia dikenai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Tidak ada alasan sedikit pun untuk menelantarkan pendidikan agama bagi keluarga karena keluarga yang tidak terbimbing agamanya akan berpotensi besar untuk masuk dalam neraka.
Alloh swt. memerintahkan kepada orang tua untuk memerintah anggota keluarganya mengerjakan dan mendirikan shalat(QS. Thahaa [20] : 132). 
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا....
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. ”[6]
Melaksanakan perintah ini berarti orang tua telah mempersiapkan generasinya menjadi penegak agama dan melanggar perintah ini sama artinya mencetak generasi peroboh agama (kafir). Sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa shalat adalah tiang agama dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Orang tua harus memahami bahwa sesungguhnya anak merupakan anugerah yang diberikan Alloh swt. Al quran menggambarkan anak sebagai nikmat yang besar (QS.Al Isra’[17]:6). Anak juga  keindahan yang tidak dapat dilukiskan dengan perkataan, terlebih jika anak tersebut memiliki akhlaq yang mulia, berbakti kepada orang tua dan terlebih menjadi anak yang bertaqwa ( QS Al Furqan [25] : 74 )[7]. Dengan kesadaran akan kedudukan anak, tidak selayaknya orang tua membiarkan anaknya rusak ditelan hebatnya arus perubahan zaman yang rusak. Kesadaran bahwa anak adalah anugrah akan mendorongnya untuk selalu bersyukur dan teguh manjaga fitrah anak.
Rasulullah saw. memikulkan tanggung jawab pendidikan anak secara utuh kepada kedua orang tua.[8]Tersebut dalam sebuah hadits riwayat Bukhori dan Muslim bahwa setiap orang adalah pemimpin, orang tua adalah pemimpin dalam rumah tangga dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Islam menetapkan tanggung jawab pada diri seorang mukmin terhadap keluarganya serta kewajibannya di dalam rumahnya. Islam telah menegaskan bahwa orang tua bertanggung jawab sepenuhnya dalam keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab membentuk keluarga yang Islami, karena rumah tangga yang Islami merupakan cikal bakal generasi kaum muslimin.
Secara umum, untuk pertama kalinya seorang anak belajar shalat serta hukum-hukum agama dari bapak dan ibunya.[9] Keteladanan menjadi kunci pendidikan orang tua, karenanya orang tua harus lebih dahulu istiqomah dalam mendirikan shalat sehingga dalam pandangan anak mereka adalah sosok yang sangat patut dicontoh.
Mengingat saat ini perubahan zaman begitu cepat dan globalisasi telah mendarah daging dalam dunia modern yang ditunjang pesatnya perkembangan teknologi maka tanggung jawab dan tugas orang tua kian berat. Jangan sampai orang tua membiarkan anaknya bertuhan pada materialisme, mengingat tidak jarang seorang bayi yang telah jauh mengenal teknologi sebelum mengenal Tuhannnya.
Sering saya jumpai anak yang telah pandai bermain handphone, komputer ataupun playstation di usia mereka yang sangat belia (balita). Mereka terlihat begitu aktif mengikuti perubahan zaman. Padahal perubahan zaman cenderung merusak. Memang tidak masalah jika kepandaian mereka dalam teknologi diimbangi pendidikan agama yang bagus. Tetapi jika mereka tidak berbekal pendidikan agama, maka potensi untuk meningalkan agama akan begitu besar. Disinilah letak peran orang tua untuk mengenalkan agama sebelum mereka mengenal teknologi.
Dunia anak adalah dunia fantasi dan khayalan yang memiliki keistimewaan masing-masing. Dunia anak sangat sempit karena hanya sebatas pengamatan indrawi anak, namun juga sebuah dunia yang begitu luas seluas dan sebebas fantasi anak. Untuk melaksanakan kewajiban mendidik shalat anak, orang tua harus mampu memasuki dunia anak yang begitu kompleks dan luas sehingga setiap orang tua perlu dan wajib memiliki bekal pendidikan agama serta metode yang tepat dalam mendidik anak.
Memang pendidikan anak akan kian berat seiring kian kompleks tantangan dalam pendidikan. Anak yang telah terbiasa dengan dunia permainan semacam playstation, fikiran dan otak mereka telah banyak terisi dengan dunia khayalan dan fantasi. Permainan semacam itu memang produk asing yang berasal dari dunia yang liberal dan sekuler. Dengan game super lengkap disertai berbagai tingkat kesulitan permainan, maka otak anak hanya berfikir untuk mengejar kemenangan dan kemenangan dalam permainan. Bila anak telah kecanduan permainan semacam ini, maka pendidikan anak semakin berat.
Faktanya, tidak setiap orang tua mampu menemukan dan memiliki metode serta pendekatan yang tepat dalam upaya pendidikan keagamaan anak. Sehingga seringkali tidak mendapat perhatian anak dan bisa jadi mengekang kehidupan anak yang justru berpotensi menghambat perkembangan keberagamaan anak. Padahal masa anak-anak merupakan kesempatan paling tepat untuk mendidikkan berbagai perilaku keagamaan, termasuk pendidikan shalat fardu, lebih-lebih apabila diterapkan metode dan pendekatan yang tepat. Zakiah Daradjat berpendapat bahwa :
Apabila latihan-latihan agama dilalaikan di waktu kecil atau diberikan dengan cara yang kaku, salah atau tidak cocok dengan anak, maka waktu dewasa nanti ia akan cenderung kepada atheis atau kurang peduli terhadap agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Dan sebaliknya, semakin banyak anak mendapat latihan-latihan keagamaan waktu kecil, sewaktu dewasa nanti akan semakin terasa kebutuhannya kepada agama.[10]

Harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan , latihan dan pembiasaan.[11] Karena itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal mereka ketika memasuki usia baligh, dimana pada masa ini mereka sudah mendapatkan kewajiban dalam beribadah sehingga pelaksanaaan ibadah yang diwajiban oleh Alloh swt.. bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Pelaksanaan ibadah merupakan pekerjaan yang sangat menakjubkan bagi jiwa anak kecil. Karena ketika anak kecil melaksanakan satu ibadah, secara tidak disadari, mereka melakukan hubungan batin dengan Alloh swt.. sehingga dalam menjalani kehidupanya selalu merasa tenang, aman dan tentram.pelaksanaan ibadah, semisal shalat, akan mendorong anak-anak untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya, terlatih dalam menahan nafsu amarah dan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya selalu berada dalam bingkai ajaran agama.
Karena itu mendidik anak tidak hanya cukup bermodalkan watak kebapakan dan keibuan tanpa didukung dengan kemampuan bagaimana cara – cara mendidik yang baik.
Najib Khalid al Amir, sebagaimana menerangkan bahwa kekerasan dan kesalahan dalam mendidik dapat berakibat tidak baik.
Dalam etnik keluarga tertentu serng ditemukan sikap dan perilaku orang tua yang memarahi, menghardik , mencela bahkan memberi hukuman fisik sekehendak hati kepada anak apabila melakuka kesalahan. Padahal, penggunaan cara-cara seperti diatas secara psikologis mendatangkan efek negatif bagi perkembangan jiwa anak. Efek negatif dari celaan misalnya, dapat melahirkan kedengkian dan dendam bagi anak yang dicela dan melahirkan sikap takabur bagi orang tua yang melakukan celaan.[12]

Demikian juga memberikan sangsi berupa pukulan. Walaupun memukul dapat dibenarkan oleh agama, tetapi tidak bisa dilakukan disembarang tempat ditubuh anak.
Abdullah Nashih Ulwan, sebagaimana dikutib Syaiful, sependapat dengan pernyataan diatas. Dukungannya itu terdapat dalam pernyataannya, bahwa diantara masalah yang hampir menjadi kesepakatan seluruh ahli pendidikan adalah, bahwa jika anak diberlakukan oleh orang tuanya dengan kejam, dididik dengan pukulan yang keras dan cemoohan pedas dan selalu mendapatkan penghinaan dan ejekan, maka akan menimbulkan reaksi balik yang akan tampak pada perilaku dan akhlaqnya, dan gejala rasa takut serta cemas akan nampak pada tindakan-tindakan anak. Bahkan secara lebih tragis  akan mengakibatkan anak terkadang berani membunuh kedua orang tuanya atau meninggalkan rumahnya demi menyelamatkan diri dari kekejaman, kezaliman dan perlakuan yang menyakitkan.[13]Karena itu perlu kiat jitu dalam proses mendidik anak. Melalui penelitan ini, permasalahan metode pendidikan shalat anak mencoba dicari jawabnya.
Apapun alasannya, mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua dalam keluarga. Pendidikan dengan metode yang tepat dan efisien akan membentuk pribadi yang cinta, taat dan bertaqwa kepada Alloh. Oleh karena itu orang tua wajib memiliki bekal dalam mendidik, yaitu berupa metode dan pendekatan yang sesuai dengan dunia anak.
Tepat sekali apabila dikatakan bahwa orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang lebih mendahulukan pendidikan anak dari pada mengurusi pekerjaan siang dan malam.
Begitulah ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw. Islam memang perintis dalam urusan perhatian terhadap dunia anak dan perlindungannya yang bersifat menyeluruh, melampaui segala ajaran, peradaban dan bangsa apa pun.[14]
Hal tersebut, secara akademis, menjadi pendorong bagi peneliti untuk mengadakan penelitian secara lebih jauh mendalam yang hasilnya dituangkan dalam laporan penelitian dengan tema : Menanamkan kegemaran shalat pada anak dalam lingkungan keluarga.    
Memang permasalah semacam ini telah banyak dikaji dan dicetak dalam tulisan ilmiah, tetapi tetap saja seiring perkembangan zaaman dan keadaan maka selalu memunculkan sesuatu yang baru dalam penelitian seperti ini. Dan penulis berupaya memberikan nuansa baru dalam peneitian nertemakan pendidikan shalat ini.
B. Penegasan Istilah
Untuk mempermudah pembahasan dan menghindari kesalah pahaman pengertian  dan kekeliruan penafsiran terhadap kandungan judul dan agar judul dapat dimengerti secara umum menyangkut isi dan pembahasan, maka perlu penulis kemukakan penjelasan sebagai berikut :
1.      Penegasan Konseptual
a.       Menanamkan adalah Memasukkan, Membangkitkan atau memelihara perasaan,  Memelihara cinta kasih, Memasukkan atau memberi dorongan semangat[15]
b.      Kegemaran adalah Kesukaan yang sangat, kesenangan, sesuatu yang   disenangi[16]
c.       Anak / masa anak-anak adalah masa pertama dalam rentang usia manusia. Masa ini bermula sejak kelahiran sampai masa dewasa (baligh).[17] Tetapi dalam hal ini penulis memilih pendapat Abdul Mujib[18] yang menggolongkan dalam fase tamyis, yaitu dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah. Usia ini dimulai saat usia kurang lebih 6 tahun sampai mencapai fase baligh atau sekitar 12 tahun
2.      Penegasan operasional
Dalam penulisan skripsi ini, untuk menghindari kesalah pahaman maka perlu adanya penegasan operasional. pengertian dari judul adalah cara atau metode dan hal-hal yang terkait dalam rangka membangkitkan perasaan gemar (perasaan senang sekali) untuk melakukan shalat, baik wajib maupun sunnah kepada anak sejak kecil dalam lingkungan keluarga, terutama oleh orang tua. Dalam hal ini penulis membatasi permasalahan hanya pada anak umur 6 sampai 12 tahun, dimana usia ini digolongkan sebagai masa pendidikan shalat.

C.  Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1.      Identifikasi Masalah
Sebagai permasalahan umum, tema penelitian di atas apabila dicermati  dengan seksama, maka dapat dikenali dan diidentifikasi sub masalah yang relatif banyak  seperti di bawah ini :
§  Peran dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak
§  Kedudukan orang tua dalam pendidikan
§  Konsep pendidikan keluarga
§  Konsep pengasuhan dalam keluarga
§  Aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan anak
§  Tugas pertumbuhan dan perkembangan anak
§  Perkembangan keagamaan anak
§  Hukum, kedudukan shalat bagi anak
§  fungsi shalat bagi anak
§  Tahapan pendidikan shalat
§  Metode pendidikan shalat
§  Kiat menanamkan kegemaran shalat
§  Implikasi pendidikan shalat bagi anak

2.      Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas dapat  diambil empat permasalahan pokok.
1.      Konsep shalat bagi anak.
2.      Peran orang tua dalam pendidikan keluarga.
3.      Perkembangan anak.
4.      Tahapan –tahapan dan metode dalam pendidikan dan penanaman kegemaran shalat.

3.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah konsep shalat bagi anak?
2.      Bagaimanakah peran orang tua dalam pendidikan keluarga?
3.      Bagaimanakah perkembangan anak?
4.      Bagaimanakah tahapan –tahapan dan metode dalam pendidikan dan penanaman kegemaran shalat ?

D.  Tujuan Kajian
1.      Untuk mengetahui  bagaimana konsep shalat bagi anak dalam Islam.
2.      Untuk mengetahui bagaimana peran orang tua dalam pendidikan keluarga.
3.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak.
4.      Untuk mengetahui  bagaimana tahapan – tahapan dan metode dalam pendidikan dan penanaman kegemaran shalat.

E.  Kegunaan Kajian
  1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk memperkaya khazah ilmiah terutama berkaitan dengan penanaman kegemaran melakukan shalat pada anak  guna membentuk pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh swt.. sehingga keberadaan anak tidak hanya menjadi perhiasan kehidupan orang tua tetapi juga mampu menjunjung kedudukan orang tua di hadapan Alloh swt...
  1. Secara Praktis
a.       Bagi pendidik, terutama orang tua untuk dijadikan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam upaya penanaman kegemaran shalat pada anak
b.      Bagi penulis sebagai sumbangsih dan partisipasi dalam pembangunan bidang pendidikan serta mempertambah cakrawala pengetahuan sebagai bekal masa depan penulis ketika menjadi orang tua kelak.
c.       Bagi Peneliti lain dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

F. Metode Penelitian
  1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian skrisi ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (Library Research). Menurut Sutrisno hadi, Library Research adalah penelitian yang didasarkan studi literatur.[19] Yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil –hasil penelitian yang terkait dengan topik (masalah) kajian.
Kajian pustaka adalah telaah yang dilaksanakan untuk memecahakan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan topik (masalah) kajian. Kajian pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau informasi dari berbagai sumber pustaka yang kemudian disajikan dalam bentuk baru atau untuk keperluan baru.[20]
Kajian pustaka ini memuat dua hal pokok, yaitu deskripsi tentang obyek atau materi kajian dan kesimpulan disertai dengan penjelasan, ulasan dan alasan sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan. Untuk dapat memberikan deskripsi teoritis terhadap variabel yang dikaji, maka diperlukan kajian secara kritis, tajam dan mendalam.[21]

  1. Sumber Data
Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai data prmer dan sekunder.
a.       Data Primer adalah data yang diperolah langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai informasi yang dicari.[22] Dalam skripsi ini data primer yang penulis peroleh dari buku-buku tentang pendidikan shalat kepada anak dalam lingkungan keluarga, metode yang digunakan dalam mendidik anak serta buku-buku yang berkaitan dengan cara Rasulullah saw. mendidik anak, terutama dalam hal ibadah shalat.
Adapun buku utama yang menjadi rujukan penulis diantaranya Mushthafa abul Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana ‘alas Shalah: ‘amaliyan wa ilmiyyan(Membimbing Anak Gemar Shalat: kiat praktis menjadikan shalat sebagai kegemaran anak), terj. Abu Abdullah, Surakarta: Insan Kamil, 2008 ; Mohammad Nur Abdul Hafid, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, Yogyakarta: Darussalam, 2004 ; Khalid bin Abdurrahman al ‘Akk, Tarbiyah al Abna’ wa al Banat fi Dhau’ al Quran wa al Sunnah (Cara Islam Mendidik Anak) terj. Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta: Ad Dawa’, 2006
b.      Data Sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.[23] Data sekunder yang dipakai penulis berupa buku, jurnal, surat kabar, majalah, maupun internet yang berkaitan dengan pembahasan isi skripsi ini.

  1. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode yang digunakan, maka pengumpulan data yang digunakan dalam library research adalah teknik dokumentasi. Menurut Suharini Ariunto, metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip dan sebagainya. [24] Maka penulis akan mengumpulkan data dari buku dan sumber lain terkait dengan penanaman kegemaran mengerjakan shalat pada anak.

  1. Teknik Analisa Data
Dari pengumpulan data yang diperoleh, penulis menggunakan metode induksi. Metode Induksi adalah cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian fakta-fakta itu diambil kesimpulan yang bersifat umum.[25]
Dalam penggunaan metode tersebut penulis mencari data yang diperolah dari berbagai sumber dan kemudian dianalisa dari hal-hal yang khusus dan digeneralisasikan atau dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang diangkat.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penilisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
A.    Bagian awal: Halaman sampul depan, Halaman judul, Halaman persetujuan, Halaman pengesahan, Halaman Motto, , Kata pengantar, Halaman daftar isi dan Halaman abstrak
B.     Bagian inti
1.      BAB I  : Pendahuluan, yang didalamnya terdapat sub bab antara lain: Latar belakang, identifikasi, batasan dan rumusan masalah; tujuan kajian; kegunaan kajian; metode penelitian dan sistematika pembahasan.
2.      BAB II  : Konsep Shalat Bagi Anak, yang didalamnya terdapat sub bab antara lain: Pengertian shalat, Hukum shalat bagi anak, Keutamaan shalat, Ancaman malas mengerjakan shalat
3.      BAB III: Peran orang tua dalam pendidikan keluarga, yang didalamnya terdapat sub bab: Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan keagamaan anak, Pola asuh orang tua dalam pendidikan shalat anak
4.      BAB IV : Perkembangan Anak, yang didalamnya terdapat sub bab antara lain : Tugas perkembangan anak, Perkembangan keagamaan anak, Usia  pendidikan shalat
5.      BAB V  :  Pendidikan dan Penanaman Kegemaran Shalat, yang didalamnya terdapat sub bab antara lain: Tahapan usia dalam pendidikan shalat, Persiapan orang tua dalam pendidikan shalat, Tahapan mendidik dan menanamkan kegematan shalat, Pemberian reward dan punishment dalam pendidikan shalat.
6.      BAB VI  : Kesimpulan
C.     Bagian Akhir :
1.      Daftar Pustaka
2.      Daftar riwayat hidup


BAB II
KONSEP SHALAT BAGI ANAK

A.   Pengertian Shalat
Shalat secara bahasa berarti doa.[26]Sedangkan shalat menurut syara’ adalah suatu amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, yang sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan.[27]
Menurut Hasbi ash Shidiqy, shalat juga mengandung pengertian menghadapkan hati dan jiwa kepada Alloh swt.. dan mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran dan kesempurnaan-Nya.[28]
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan Alloh swt.. Adapun perintah wajibnya disampaikan langsung kepada Rasulullah saw. pada malam mi’raj tanpa memakai perantara. [29]
Sholat merupakan ibadah pokok kedua dalam rukun Islam setelah syahadatain. Sholat merupakan tiang agama dan juga ibadah yang menjadi batasan antara seorang mukmin dengan orang kafir, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ
“ Perbedaan diantara seorang laki-laki (muslimin dan muslimat) dengan orang yang kafir yaitu meninggalkan shalat ”[30]
Ath Thabathaba’i, dikutip Deni menjelaskan bahwa mendirikan shalat tidak lain adalah proses intens dan terus-menerus dari seseorang untuk mempertautkan dimensi dzikir ilmi dan dzikir amali aar tidak pernah lupa dan terlena oleh gemlang kehidupan material duniawi yang serba sementara ini. Atau dengan kata lain, ajaran shalat betul-betul menadi tiang dalam segenap aktivitas khalifah dan kehambaan kita,sehingga pada gilirannya mata lahir (abshar) dan mata batin (qulub) kita tersucikan.[31]
Shalat adalah satu-satunya ibadah dimana Rasulullah secara tegas dan terang-terangan menyangkut kemutlakan tata cara dan pelaksanaannya yang baku. Rasulullah saw. Bersabda, ”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”(HR.Bukhory), artinya bahwa shalat kita harus benar-benar sesuai dengan apa yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah saw. Ketika beliau sedang shalat, kecuali dalam masalah-masalah menyangkut kelengkapan teknis-operasional. Misalnya tentang bentuk pakaian, tempat shalat yang dirasa terbaik, dan semacamnya, tentu menyesuaikan keadaan masing-masing.[32]
Shalat memiliki kedudukan yang tidak tertandingi oleh ibadah lainnya. Ia merupakan tiang penyangga agama ini, Rasulullah saw. bersabda:
رَأْ سُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَ مُ وَعَمُوْدُهُ الْصَّلاَ ةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
"Urusan tertinggi adalah Islam, tiangnya adalah shalat sedangkan puncaknya yang tertinggi adalah jihad." (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).[33]
Shalat menjadi wasiat terakhir Rasulullah saw. kepada umatnya. Wasiat ini beliau sampaikan pada saat detik-detik terakhir menjelang wafatnya beliau saw. Ia juga merupakan perkara terakhir yang akan hilang dari dien ini. Jika ia telah hilang, seluruh ajaran dien ini juga akan hilang. Rasulullah saw. bersabda  :
لَتَنْقُضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَ مِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَ ةُ
Sungguh, ikatan-ikatan Islam ini akan terlepas seikat demi seikat. Ketika terlepas satu ikatan, manusia akan berpegang kepada ikatan setelahnya. Ikatan yang pertama kali terlepas adalah hukum. Sedangkan yang terakhir kali adalah shalat. (HR. Ibnu Hibban)[34]
Alloh swt.. telah memerintahkan agar kita menegakkan shalat di dalam banyak kitab-Nya, diantaranya firman Alloh swt.:
فَأَقِيْمُوا الصَّلَوةَ إِنَّ الصَّلَوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَبًا مَوْقُوْ تًا
Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’[4]:103). Karena itu orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari tentang wajibnya shalat maka dia adalah kafir.[35]
Sungguh, Alloh swt.. sangat mengingkari orang yang menyepelekan shalat dan menancam orang yang menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصَّلَوةَ وَاتَّبَعُوْا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”(QS. Maryam[19]:59).[36]
Karena shalat termasuk perkara besar yang membutuhkan satu hidayah (petunjuk khusus) maka nabi Ibrahim as. pun meminta kepada Rabbnya agar menjadikannya dan keturuannya sebagai orang yang menegakkan shalat, sebagaimana diabadikan dalam surat Ibrahim [14] ayat 40,
رَبِّ اجْعَلْنِى مُقِيْمَ الصَّلَوةِ وَمِنْ ذُرِّ يَّتِى رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِِ
“Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.”[37]


B.   Hukum Shalat Bagi Anak
Shalat diwajibkan bago orang yang telah memenuhi syarat wajib shalat, diantaranya :
1.      Islam, Syarat ini sudah pasti harus dipenuhi, karena orang yang tidak islam tidak wajib mengerjakan Shalat, tetapi Ia pasti akan mendapatkan siksa di Akhirat.
2.      Berakal, karena sholat merupakan jalinan hubungan antara manusia dengan Alloh maka manusia yang bisa berfikir secara logislah yang diwajibkan menjalankan Shalat, orang-orang yang tidak berakal atau orang yang tidak sehat akalnya seperti orang gila, orang yang baru mabuk ( walaupun orang itu normal tapi saat itu sedang dalam keadaan diluar akalnya atau diluar kesadarannya maka ia tidak bisa berpikir, sehingga orang yang mabuk juga termasuk orang yang tidak berakal ), dan juga orang yang pingsan tidak diwajibkan Shalat karena dalam kondisi yang tidak sadar.
3.      Baligh ( dewasa ), orang yang belum baigh tidak diwajibkan mengerjakan shalat, berikut adalah beberapa ciri atau tanda-tanda orang yang sudah baligh :
a.       Sudah menginjak umur kurang lebih 13-15 tahun. ( berarti lebih )
b.      Mimpi bersetubuh ( mimpi basah ).
c.       Mulai keluar darah haidl atau sering disebut datang bulan ( untuk anak perempuan ).
4.      Telah sampainya dakwah kepadanya, orang yang belum pernah mendapatkan dakwah/seruan agama, tidak wajib mengerjakan Shalat, dan dia tidak mendapat siksa diakhirat, belum mendapat seruan disini dimaksudkan seperti seorang anak kecil/bayi yang meninggal, bukan orang yang tidak mau mendapatkan seruan agama, karena belajar Ilmu agama itu wajib.
5.      Dapat melihat dan mendengar, orang yang memiliki kekurangan tidak dapat mendengar ( tuli ) dan tidak dapat melihat ( buta) sejak dia dilahirkan mereka tidak diwajibkan untuk melaksanakan Shalat karena tidak ada jalan baginya untuk mempelajari bagaimana cara mengerjakan Shalat.
6.      Suci dari haidl dan nifas, seorang wanita yang sedang datang bulan atau habis melahirkan tidak diwajibkan melaksanakan Shalat karena dalam kondisi yang tidak Suci.
7.      Jaga, maksudnya orang yang sedang tidur tidak diwajibkan untuk melaksanakan Shalat. ( tanpa disengaja ).
Sementara itu, batas usia baligh bagi anak laki-laki dan perempuan adalah ihtilam. Khusus, bagi anak perempuan, atau ia telah mengalami haidl. Namun apabila ia sulit mengetahui apakah orang tersebut telah ihtilam (atau bagi anak perempuan ia terlambat haidl - atau bahkan tidak mengalami haidl sama sekali), maka tanda balighnya diambil dari tumbuhnya rambut kemaluan.
Bila anak sudah mengalami salah satu tanda di atas, maka ia telah baligh yang dengan itu ia telah sampai pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya pelajaran melaksanakan syari’at.

Belajar menegakkan shalat bagi anak merupakan asas dalam rangka menegakkan aqidah yang sudah difahamkan oleh kedua orang tua. Memang shalat sebagai sebuah ibadah diwajibkan bagi mereka yang berusia baligh, yaitu usia dimana seorang manusia sudah dibebani tanggungjawab melaksanakan kewajiban. Namun, sejak kecil anak harus sudah dibiasakan untuk senantiasa meleksanakan yang merupakan tiang agama Islam ini.
Menurut Mukhotim el Moekry,[38] orang tua sebaiknya memberi pemahaman kepada anak tentang shalat bahwa shalat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, baik anak-anak maupun dewasa.  Selain itu perlu ditegaskan bahwa menegakkan shalat adalah perintah Alloh swt.. dan juga bahwa menegakkan shalat dapat mencegah diriya dari perbuatan jahat dan keji. Lebih dari itu, perlunya melakukan pemahaman bahwa pelaksanaan ibadah shalat sebagai pelatiha disiplin dalam hidupnya. Anak harus diberi keyakinan dalam hidupnya harus ada komunikasi dengan Alloh melalui shalat.
Ma’athi mengatakan bahwa secara umum, untuk pertama kalinya seorang anak belajar shalat serta hukum-hukum agama dari bapak dan ibunya. Oleh sebab itu, kapan seharusnya mulai mengajarkan anak tentang shalat? Jawabannya dari hal itu akan dijelaskan oleh kisah berikut :
Hisyam bin Sa’id bercerita. “Saya dan beberapa orang pernah menemui Muadz bin Abdullah bin Hubaib Al Jahni, lalu ia bertanya kepada istrinya,’Kapan seorang anak mulai melaksanakan shalat?’ Istrinya menjawab, ‘Baiklah, ada seorang laki-laki diantara kita yang ingat jawaban Rasulullah saw. ketika beliau ditanya tentang itu.
Beliau saw. menjawab:” Jika seorang anak sudah bisa membedakan antara arah kanan dan kiri, suruhlah ia untuk mengerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud) [39]
Abdullah bin Umar bin Khatab ra berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda :” Jika Anak-anak kalian telah fasih berbicara, ajarilah mereka kalimat La ilaha illallah, dan janganlah kalian mempedulikan kapan mereka meninggal. Jika telah tumbuh gigi depan mereka, suruhlah mereka mengerjaan shalat.’ (HR. Ibnus Sinni) [40]

Nabi saw. memberikan batasan umur disuruhnya anak-anak kecil mengerjakan shalat, karena umur sebelum itu merupakan masa meniru kedua orang tua mereka dan upaya membuat mereka mencintai shalat. Dan di usia 7 tahun itulah anak sudah memiliki pemahaman tentang shalat sehingga pelaksanaan shalat tidak hanya kegiatan meniru orang tua, tetapi bisa jadi sebuah kesadaran.
Al Hakim  dan Abu Dawud,  meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءَ عَشْرٍ وَفَرِّ قُوهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berumur 7 tahun dan pukullah mereka (jika mereka tidak mau mengerjakannya) ketika mereka telah berumur sepuluh tahun. Pisahkanlah juga tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan).[41]
Adapun rahasia dalam hal ini adalah agar anak-anak belajar shalat semenjak usia pertumbuhannya dan terbiasa untuk mengerjakannya serta mau melaksanakannya semenjak tumbuh kuku jari-jarinya.
Juga agar mereka terdidik untuk taat kepada Alloh, memenuhi hak-Nya, bersyukur, kembali, percaya dan bersandar serta berserah diri hanya kepada-Nya dalam hal-hal yang ia pasrahan dan takuti. Juga agar ia merasakan kesucian jiwanya, kesehatan badannya dan kemurnian akhlaqnya serta perbaikan dalam ucapan dan tindakannya dalam ibadah ini.
Dalam pandangan Mohammad Nur Abdul Hafid, pendidikan ibadah terhadap anak kecil, terutama ibadah shalat merupakan fase penyempurna pada fase pendidikan dan pembinaan akidah yang telah ditanamkan orang tua sebelumnya. Karena makna hakiki dari pelaksanaan ibadah yang dipraktekkan oleh anak-anak dalam kehidupan sehari-harinya akan menambah kebenaran akidah yang diyakini. Dan pelaksanaan ibadah yang dilakukan anak-anak bisa dijadikan barometer adanya akidah yang tertanam secara kokoh pada jiwa mereka. Semakin tinggi nilai-nilai ibadah yang mereka miliki, akan semakin tinggi pula keimanan yang tertanam dalam jiwa mereka. [42]
Dan juga harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan, latihan dan pembiasaan.[43] Karena itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal mereka ketika memasuki usia baligh, dimana pada masa ini mereka sudah mendapatkan kewajiban dalam beribadah sehingga pelaksanaaan ibadah yang diwajiban oleh Alloh swt.. bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Walaupun anak-anak belum dikenai kewajiban untuk shalat, tetapi orang tua harus senantiasa memperhatikan dan mengontrol pelaksanaan shalat anak. Hal ini karena Rasulullah saw. sendiri selalu menanyakan tentang anak–anak kecil yang baru berumur beberapa tahun, apakah mereka telah mengerjakan shalat atau belum.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ma’athi menceritakan bahwa Abdullah bin Abbas ra menuturkan, ‘Saya pernah bermalam di rumah bibi saya, Maimunah. Pada sore harinya, Rasulullah saw. datang dan beliau bertanya kepada bibiku. ‘Apakah anak kecil itu sudah shalat?’ Yang beliau maksud adalah aku. Orang-orang yang ada disitu pun menjawab,’Ya, sudah.’ Kemudian beliaupun berbaring.[44]
Begitu pula Khulafaur Rasyidin, mereka mengikuti jejak beliau saw. Inilah dia Amirul Mukminin Umar bin al Khattab ra, beliau melaksanakan peran berikut. Diceritakan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab ra pernah melewati salah satu jalanan kota madinah. Ternyata ada sekelom[ok anak yang sedang bermain di tempat itu. Ketika Umar ra mendekati mereka, anak-anak itu saling berlarian karena takut kecuali seorang anak.
Umar ra pun bertanya kepadanya. “Mengapa kamu tidak lari seperti teman-temanmu?” Anak itupun menjawab, “Mengapa saya harus lari wahai Amirul Mukminin? Saya tidak melakukan satu kesalahan (dosa) pun yang menyebabkan saya takut kepada anda.” Lalu amitul Mukminin berkata. “Apakah kamu sudah mengerjakan shalat?” Anak itu menjawab.”Ya, sudah. Saya juga sudah membaca al Quran.” Amirul Mukminin pun berkata,” Semoga Alloh memberkatimu wahai anakku.”
Ternyata anak kecil tersebut adalah Abdullah bin Zubair, bayi yang pertama kali lahir sewaktu hijrah, bapaknya adalah si penolong Rasulullah, sedangkan ibunya adalah Asma bin Abu Bakar.[45]
Memang perintah untuk mengerjakan shalat bagi anak kecil hanya sebatas pembiasaan kewajiban, bukan pelaksanaan kewajiban. Hal ini sesuai dengan pendapat zakiyah Darajat[46] bahwa apabila si anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama terutama ibadah dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hal yang diperintah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, serta tidak dilatih untuk menghindari larangannya maka pada waktu dewasanya nanti akan cenderung kepada acuh tak acuh, anti agama, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Tapi sebaliknya anak banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada waktu dewasanya anti akan merasakan kebutuhan akan agama.
C.   Keutamaan Shalat
Diantara keutamaan menjalankan shalat adalah:
1.      Menjadi penduduk surga.
Alloh swt.. menjelaskan bahwa orang yang menjaga shalatnya, mereka akan menjadi penghuni surga. Sebagaimana firman-Nya :
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلاَ تِهِمْ يُحَافِظُونَ أُوْلَـئِكَ فِى جَنَتٍ مُّكْرَمُونَ
Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. (QS al Ma’arij[70]:34-35)[47]
2.      Shalat menjadi pembeda antara yang mukmin dan kafir.
Shalat bukan hanya kewajiban ibadah biasa, tetapi adalah rukun Islam yang mana benar-benar tidak boleh ditinggalkan. Shalat juga menjadi parameter dan pembatas antara mukmin dan kafir. Melaksanakan kewajiban shalat akan menjaga seseorang tetap berada dalam keislaman dan sengaja meninggalkannya adalah bentuk kekafiran.
Rasulullah saw. menjadikan shalat sebagai rukun kedua dari rukun Islam yang lima. Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda:
الْلإِ سْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَالله وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الَمَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ
Islam itu ialah engkau akan menyembah Alloh, dan tidak menyekutukan-Nya akan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, berpuasa ramadhan dan berhaji ke Baitul Haram (masjidil Haram dan sekitarnya). (HR. Bukhori – Muslim)[48]
3.      Mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Alloh swt.. berfirman bahwa dengan mendirikan shalat, seseorang dapat terhindar dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana dalam QS. Al-Ankabut[29] ayat 45:
وَأَقِمِ الصَّلَوةَ  إِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَاالْمُنْكَرِ
Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. [49]
Ketika menjelaskan kepada anak tentang pahala surga, harus disertai dengan keadaan gambaran surga, tentang kenikmatan di dalamnya sehingga anak akan memiliki ketertarikan untuk melaksanakan shalat.
Menurut Deni,[50] tujuan utama shalat adalah membuka kepekaan hati manusia yang menjalankannya. Orang yang shalatnya baik, maka akan memiliki kepekaan hati untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang akan memberi manfaat dan mana yang akan memberi mudharat. Maka shalat yang dilakukan dengan benar dan baik akan mempu menyebabkan manusia terhindar dari perbuatan keji dan munkar.
Siapapun yang telah melakukan shalat tentulah ia harus mampu mengendaikan diri dari berbuat keji dan munkar, serta menghindar dari berbuat aniaya dan kesia-siaan yang lain. Semestinya shalat dijadikan sebagai penyadaran diri, bahwa apapun yang kita lakukan dan dimanapun kita melakukan itu allah senantiasa mengetahui. Sehingga manusia enggan untuk melakukan kemaksiatan dan dosa; manusia akan berjalan di atas kebenaran dan kearifan.
4.      Menghapuskan kesalahan-kesalahan .
Diantara keutamaan shalat adalah dapat menghapuskan kesalahan (dosa) kecil. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bulhori dan Muslim:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانِ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَااجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“ Bagaimana menurut pendapat kalian jika ada sungai di depan pintu seorang dari kalian, dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apakah tersisa dari kotoran tubuhnya sedikitpun ? Para sahabat berkata: Tidak tersisia dari kotoran tubuhnya sedikitpun, maka Rasulullah saw. bersabda: Itulah perumpamaan shalat lima waktu yang Alloh menghapus dosa-dosa dengannya.”[51]
5.      Shalat adalah tiang agama.
Shalat memiliki peranan penting dalam beragama sebagaimana diterangkan Rasulullah saw. bahwa shalat adalah tiang agama. Riwayat dari Umar ra bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ هَدَامَهَا فَقَدْ هَدَامَ الدِّيْنَ
“Shalat itu tiang agama, barang siapa mendirikan shalat, sesungguhnya dia telah mendirikan agama, dan barang siapa meruntuhkan shalat, sesungguhnya dia telah meruntuhkan agama.”[52]
6.      Shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah saw.
Shalat menjadi wasiat terakhir Rasulullah saw. kepada umatnya. Wasiat ini beliau sampaikan pada saat detik-detik terakhir menjelang wafatnya beliau saw. pada saat itu beliau bersabda:
الصَّلاَةُ الصَّلاَةُ, وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَنَكُمْ
“Jagalah shalat, jagalah shalat, dan budak-budak kalian.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan Al Albani dalam As Shilsilah ash shahihah) [53]
Dalam riwayat lain Ummu Salamah ra berkata, sebagaimana dikutip Nafsin: “Adalah diantara akhir wasiat Rasulullah saw. ialah ‘Tetaplah kamu memelihara sholat dan tetaplah berbuat baik kepada budak-budak sahayamu.’(HR. Ahmad).”[54]

7.      Shalat adalah Amalan yang dihisab pertama kali.
Shalat menjadi ibadah parameter keberhasilan karena bila shalatnya diterima, maka otomatis amal lainnya akan diterima. Bila shalatnya ditolak, maka amal lainnya ditolak. Shalat juga menjadi ukuran keberuntungan dan kebahagiaan, atau sebaliknya bisa menjadi kemalangan dan kerugian.
8.      Shalat adalah ibadah yang istimewa karena :
a.             Cara penerimaan perintahnya melalui peristiwa besar, yaitu Isra’ Mi’raj.
b.            Diterima langsung oleh Rasulullah saw. tanpa perantara.
D.   Ancaman Malas Mengerjakan Shalat
Shalat memang kewajiban bagi setiap Muslim, namun kenyataannya tidak semua umat Islam menjalankan perintah Alloh swt. yang satu ini. Meskipun Alloh swt.. berkali-kali memerintahkan hamba-Nya untuk menegakkan shalat, bahkan sampai Alloh swt.. menurunkan adzab kepada mereka yang lalai sebagai peringatan, tapi tetap saja banyak hamba-hamba Alloh yang meninggalkan kewajiban ini. Sangat banyak hamba Alloh yang lalai atau malas mengerjakan kewajibannya sebagai seorang hamba. Mulai dari yang shalat kadangkala (jarang-jarang), hanya mengerjakan tiga waktu saja, hingga yang tidak mengerjakan shalat sama sekali. Padahal hampir setiap Muslim mengetahui kewajiban shalat, namun masih banyak yang meninggalkannya.
Rizem Aizid menuliskan 12 macam ancaman dan peringatan bagi yang malas atau meninggalkan shalat. Tulisan ini dapat menjadi bekal bagi orang tua dalam memberi pengajaran shalat kepada anak yaitu dengan membacakan ancaman tersebut sehingga anak akan memiliki rasa bersalah dan takut ketika meninggalkan shalat
Diantara ancaman dan peringatan tersebut sebagaimana ditulis Aizid adalah:[55]
1.      Menjadi Kafir
2.      Berdosa besar
3.      Menjadi orang yang munafiq
4.      Dapat menjadi orang yang berbuat zhalim di dunia
5.      Mati dalam keadaan su’ul khatimah
6.      Mendapat azab kubur
7.      Menjadi penghuni neraka saqar
8.      Tenggelam ke jurang hawa nafsu
9.      Mendapat musibah dan bencana
10.  Dapat dikuasai setan
11.  Berkhianat terhadap amanat
12.  Mendatangkan azab Alloh swt.. di dunia dan di akhirat.
Mengingat begitu besar akibat bagi mereka yang meninggalkan shalat, maka sudah menjadi setiap musllim untuk selalu memperhatikan shalatnya. Hal ini akan mendorong dirinya untuk saling menasihati saudara sesama muslim karena rasa kasih sayang di antara mereka.
Ancaman-ancaman ini juga seharusnya menjadi cambuk pelecut bagi orang tua untuk serius dalam mendidik anak agar mau melaksanakan shalat, karena menjadi naluri orang tua jika tidak ingin melihat anaknya sengsara di dunia terlebih di akhirat kelak.

BAB III
PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN KELUARGA

A.   Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua
Keluarga adalah suatu institutsi yang terbentuk karena ikatan perkawinan antara sepasang suami istri untuk hidup bersama, seiya dan sekata, seiring dan setujuan dalam membina mahligai rumah tangga untuk mencapai keluarga sakinah dalam lindungan dan ridha Alloh swt.. Didalamnya selain ada ayah dan ibu, juga ada anak yang menjadi tanggung jawab orang tua.
Perlu dipahami bahwa keluarga, terutama orang tua berfungsi sebagai madrasatul awwal (sekolah awal).[56] Dimana pertama kali anak belajar tentang kehidupan, mengenal lingkungan baru dan belajar melihat dunia.
Islam menetapkan bahwa tanggung jawab pada diri seorang mukmin terhadap keluarganya serta kewajibannya di dalam rumahnya.[57] Rumah tangga yang Islami merupakan cikal bakal generasi kaum muslimin.
Rasulullah saw. memikulkan tanggung jawab pendidikan anak secara utuh kepada orang tua[58]. Tersebut dalam hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. menyatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan ia bertanggung jawab atasnya. Begitupun istrinya, bertanggung jawab dalam kepengurusan rumah tangganya.
 Rasulullah saw. meletakkan kaidah mendasar bahwa seorang anak itu tumbuh dan berkembang mengikuti agama kedua orang tuanya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
كُلُّ مَوْلُودِ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِدَّنِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِرَانِهِ
“Tiadalah seorang bayi pun yang lahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Majusi, atau Nasrani.”[59]
Alloh swt.telah memerintahkan orang tua untuk mendidik anak – anak mereka, mendorong mereka untuk itu dan memikulkan tanggung jawab kepada mereka (QS. At Tahrim[66]:6).dalam ayat ini Alloh swt. memerintahkan orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarga dari siksaan api neraka. Juga perintah untuk membimbning keluarga agar tidak mendurhakai perintah Alloh serta mengerjakan apa yang diperintah-Nya.
Ibnu al Qayyim mengatakan: ”Siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah berbuat kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat oirang yua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah agama. Lalu menyia-nyiakan dari diri mereka dan merekapun tidak dapat memberikan manfaat kepada ayah mereka ketika dewasa.” [60]
Kelahiran anak dalam suatu keluarga selain memberikan kebahagian tersendiri juga menimbulkan tugas baru bagi kedua orang tuanya, tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pendidikannya. Islam memandang anak adalah amanah Allah yang harus dipelihara dengan baik dari segala sesuatu yang membahayakan baik yang berhubungan dengan badaniah maupun rohaniah.(Q.S An-Nisa’[4]: 9)[61]
Telah jelas bahwa orang tua adalah yang paling bertanggung jawab atas masa depan anaknya. Karena itu tidak ada satupun alasan bagi mereka untuk menghindar dari beban ini. Setiap orang tua dituntut memberikan pendidikan yang sesuai dengan agama, agar fitrah anak tetap terjaga.
Para ulama Islam banyak memberi perhatian dan mambahas pentignya pendidikan melalui keluarga. Warsidi menulisakan bahwa ketika Al Ghazali membahas peran kedua orang tua dalam pendidikan anak, ia mengatakan, ”Ketahuilah bahwa anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan. Dia siap diberi pahatan apa pun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan, dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tua dan gurunya di dunia dan di akhirat. Namun, jika dibiasakan dengan kejelekan dan dibiarkan tidak dididik sebagaimana binatang ternak, niscaya dia akan menjadi jahat dan binasa.”[62]
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, secara hirarkis pokok-pokok dalam mendidik anak secara Islam itu meliputi tujuh tahapan tanggung jawab yang harus dilakukan orangtua dan pendidik, yaitu :[63]
Pertama, tanggung jawab pendidikan iman. Di dalamnya menyangkut tentang membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah; mengenalkan hukum halal dan haram kepada anak sejak dini; menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun; dan mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, serta membaca Al-Qur’an.
Kedua, tanggung jawab pendidikan moral. Jika sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan, dan berserah diri kepadaNya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa dengan akhlak mulia. Sehingga dari sini, anak akan terhindar dari jeratan perilaku suka berbohong, suka mencuri, suka mencela dan mencemooh, serta terhindar dari kenakalan dan penyimpangan yang dilarang agama.
Ketiga, tanggung jawab pendidikan fisik. Tanggung jawab ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Amanat ini di dalamnya berisi tentang tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dan anak; mengikuti aturan kesehatan dalam makan, minum, dan tidur; melindungi diri dari penyakit menular; merealisasikan prinsip tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain; membiasakan anak berolah raga; membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan; membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari penggangguran, penyimpangan, serta kenakalan.
Keempat, tanggung jawab pendidikan rasio (akal). Orangtua dan pendidik hendaknya mampu membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu agama, kebudayaan, dan peradaban. Di sini, anak diusahakan untuk selalu belajar, menumbuhkan kesadaran berpikir, dan kejernihan berpikir.
Kelima, tanggung jawab pendidikan kejiwaan. Pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik anak berani bersikap terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Salah satu bentuknya adalah bagaimana mendidik anak untuk tidak bersifat minder, penakut, kurang percaya diri, dengki, dan pemarah.
Keenam, tanggung jawab pendidikan sosial. Yakni mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama. Di antaranya berupa penanaman prinsip dasar kejiwaan yang mulia didasari pada aqidah Islamiah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam. Sehingga si anak di tengah-tengah masyarakat nantinya mampu bergaul dan berperilaku sosial dengan baik, memiliki keseimbangan akal yang matang, dan tindakan yang bijaksana.
Ketujuh, tanggung jawab pendidikan seksual. Di sini, orangtua dan pendidik hendaknya mampu mendidik tentang masalah-masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Sehingga ketika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia diharapkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis.
Mengingat keimanan adalah kunci pokok keselamatan, baik di dunia terlebih di akhirat, maka tanggung jawab terhadap keimanan / keagamaan anak menjadi prioritas utama dari orang tua. Orang tua harus mamiliki lepedulian dan kesadaran untuk mendidik anaknya agar memiliki keimanan yang kuat dan melakukan amal shalih (ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhoh). Pendidikan shalat menjadi kunci pokok dalam pendidikan keimanan ini karena ia adalah tiang agama dan menjadi jaminan keselamatan sebagaimana dijelaskan bahwa shalat adalah pembeda antara muslim dan kafir yang didalamnya terkandung nilai-nilai keimanan.
Orang tua yang berhasil mendidik anaknya menjadi manusia yang sholeh akan mendapat keberuntungan, tidak hanya di dunia tetapi hingga akhirat, dimana hal tersebut berupa pahala yang terus mengalir kepadanya sekalipun tubuh sudah lebur lapuk dimakan tanah.
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا مَاتَ ابْنِ أَدَامَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ, صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ
” Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan untuknya.”[64]
Tidak ada jalan lain untuk mendapatkan anak sholeh kecuali dengan memberikan pendidikan agama dengan tepat dan sesuai petunjuk Rasulullah saw. sekali lagi ini adalah motivasi bagi orang tua untuk menciptakan generasi religius, tidak hanya generasi yang berguna dan terpandang dimata dunia.
Karena mendidik anak adalah sebuah tanggung jawab, maka menyia-nyiakan mereka sama halnya dengan mengundang murka Alloh swt.. tersebut dalam hadits bahwa sanksi mengabaikan anak tidaklah ringan.
Diriwayatkan pula bahwa Al Kasykasy al Anbari berkata,”Aku datang menghadap Nabi saw. dengan membawa anak laki-lakiku. Beliau bertanya: Apakah ini Anakmu ? aku menjawab:’Ya’. Beliau kemudian bersabda:’Janganlah sampai engkau menyakitinya, jangan pula ia menyakitimu. ( HR. Imam Ahmad, Ibnu Majah, Abu Ya’la, Al Baghawi, Ibnu al Qani, Ibnu Majah dan Ath Thabrani)
Barangkali diantara makna anak yang menyakiti orang tua adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qayyim “Maka ada sebagian anak yang menyalahkan ayahnya sendiri atas tindakannya dalam mendurhakai orang tuanya dengan mengatakan:’Ayah, engkau telah berbuat jahat terhadapku ketika aku kecil. Kini akupun balas mendurhakaimu ketika dewasa. Engkau menyiakanku ketika aku kecil. Kini akupun mengabaikanmu ketika engkau sudah tua renta”.[65]
Tentu tidak ada seorang pun yang menginginkan keadaan seperti itu. Sadar akan tanggung jawab dan kemudian bergerak untuk mendidik anak dengan seluruh kemampuan adalah hal yang wajib dilakukan orang tua.
Perlu disadari setiap orang tua bahwa anak adalah anugerah yang diberikan Alloh swt. kepada orang tua. Al quran menggambarkan anak sebagai nikmat yang besar (QS.al Isra’[17]:6). Anak juga  keindahan yang tidak dapat dilukiskan dengan perkataan, terlebih jika anak tersebut memiliki akhlaq yang mulia, berbakti kepada orang tua dan terlebih menjadi anak yang bertaqwa ( QS Al Furqan [25] : 74 )[66]
Dan keberhasilan anak merupakan dambaan orang tuanya. Keberhasilan tidak hanya dilihat dari sisi materi belaka, akan tetapi dalam Islam keberhasilan adalah perpaduan dari sisi duniawi maupun ukhrawi.

B.   Pola Asuh Orang Tua dalam Pendidikan Shalat
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif.
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anak nya disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi anak dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh.
Sementara itu menurut Baumrind,[67]pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control, yakni bagaimana orang tua mengontrol, membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannnya menuju proses pendewasaan.
Karena pendidikan shalat adalah suatu proses yang membutuhkan waktu lama, maka pola asuh orang tua memiliki pengaruh dalam pengajarannya. 
Model dan teori pengasuhan Baumrind[68]:
1.  Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
Pola asuh semacam ini sangat tidak sesuai dengan jiwa anak. Dalam pendidikan shalat, pola asuh semacam ini akan menyebabkan anak kehilangan ruh dalam mengerjakan perintah orang tua. Anak yang dididik dengan pola ini memiliki kebebasan yang luas sehingga sangat tidak tepat digunakan oleh keluarga muslim.
2.   Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.
Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3.   Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
Melihat kelebihan dan kekurangan berbagai pola asuh diatas, maka pola asuh yang paling efektif dalam pendidikan shalat adalah yang bersifat otoritatif. Didalamnya anak tidak hanya sering mendapat masukan tentang agama, tetapi juga diberi kebebasan untuk bertanya dan berfikir kritis yang nantinya menjadi modal dalam membangun kesadaran dalam melaksanakan perintah Alloh, shalat misalnya.
Sedangkan Hauser mengemukakan tiga model pengasuhan dari sisi interaktif antara anak dan orang tua yaitu [69]:
1.      Pola asuh yang bersifat Mendorong dan Menghambat
Pola asuh ini hampir sama dengan jenis pola asuh yang bersifat otoritatif yang dikemukakan Baumrind, yakni pola asuh yang dilakukan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak bersifat mendorong (enablling) dan juga bersifat menghambat (constraining). Pola asuh yang bersifat mendorong dan menghambat ini mengandung komponen kognitif dan afektif.
2.      Pola asuh yang bersifat Mendorong (Enabling)
Bermakna adanya dorongan terhadap anggota keluarga untuk mengekspresikan pikiran-pikiran dan persepsi mereka. Pengasuhan yang bersifat mendorong kognisi meliputi: memfokuskan pada pemecahan masalah, mengikutsertakan dalam bereksplorasi tentang masalah-masalah keluarga, dan menjelaskan sudut pandang individu pada anggota keluarga yang lain. Pola asuh yang mendorong secara efektif adanya ekspresi empati dan penerimaan dari anggota keluarga yang lain.


3.      Pola asuh yang bersifat Menghambat
Menandakan adanya hambatan yang dilakukan oleh orang tua. Adapun menghambat yang bersifat kognitif meliputi: mengalihkan anggota keluarga dari masalah-masalah yang mereka hadapi, tidak memberi / menyembunyikan informasi pada anak, dan mengabaikan anggota keluarga dari masalah-masalah keluarga. Sedangkan, menghambat yang bersifat afektif meliputi: penilaian yang berlebihan (bersifat negatif atau positif) terhadap anggota keluarga dan pandangan mereka.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial,  ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orang tua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter).
Berdasar beberapa tipe pola asuh diatas, dalam pandangan saya maka pola asuh yang paling baik/ideal adalah yang bersifat otoritatif (teori Baumrind) dan model Mendorong dan Menghambar (teori Hauser). Hemat saya hal ini karena keluarga tipe otoritatif memberi keseimbangan antara pembatasan dan kebebasan. Keluarga yang seperti ini dapat mengembangkan rasa percaya diri anak, kebebasan berekspresi tetapi orang tua memiliki standar kontrol terhadap kebebasan anak.
Konsep pola asuh dalam Islam lebih berorientasi pada praktik pengasuhan, bukan pada gaya pola asuh dalam sebuah keluarga.[70]hal ini sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang mengajarkan bahwa pola asuh yang dilakukan orang tua adalah bagaimana membentuk insanul kamil pada anak-anaknya, yang didalamnya mencangkup tentang model pengasuhan yang bagaimana seharusnya diterapkan orang tua dan disesuaikan dengan karakter anak.
Beberapa ayat dalam al Quran menggambarkan bahwa pengajaran disesuaikan dengan usia dan karakter anak. Sebagaimana ibu dianjurkan menyusui anaknya selama 2 tahun awal (QS. Al Baqarah[2]:233). Terlihat pula bagaimana metode pengajaran yang dilakukan Lukman terhadap anaknya, sebagaimana usia anaknya mulai beranjak remaja(QS. Lukman[31]: 13-18). Ayat-ayat tersebut manunjukkan bahwa pola asuh dalam konsep Islam memang tidak menjelaskan gaya pola asuh yang terbaik atau yang lebih baik, namun lebih menjelaskan tentang hal yang selayaknya dan seharusnya dilakukan oleh setiap orang tua yang semuanya itu tergantung situasi dan kondisi serta karakter anak.
Menurut Muallifah, [71] pengaruh orang tua bisa menyangkup lima dimensi potensi anak, yaitu fisik, emosi, kognitif, sosial dan spiritual. Kelima hal tersebut berpengaruh dalam model pengasuhan orang tua. Mengingat begitu kompleksnya dunia anak, maka perlu kiranya bagi orang tua untuk memberikan pengasuhan yang lebih proposional.
Nashih Ulwan, sebagaimana dikutip Muallifah, mendeskripsikan pengasuhan yang lebih mengarah pada metode pendidikan yang berpengaruh terhadap anak. Diantaranya:
  1. Pola asuh yang bersifat keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang sangat efektif dan sangat berpengaruh dalam mempersiapkan dan membentuk keimanan, amal ibadah dan akhlaq anak yang diharapkan akan berpengaruh juga terhadap tumbuhnya ketaqwaan dalam diri sang anak yang tentunya akan mengandung di dalamnya yakni kecerdasan emosi.
Faktor anak didik sendiri yang tengah mrngalami masa kanak-kanak awal berada pada tahap perkebangan yang cukup untuk menerima pendidikan melalui keteladanan ini, sebab masa ini anak memiliki rasa ingin tahu dan menjelajah. Sementara dari segi intelektual, pemikiran anak masih sangat bersifat indrawi, yakni melalui penglihatan sekitar 83 %. Sedangkan melalui pendengaran hanya 11 % sehingga cara belajar pada anak masa ini masih apa yang dapat diindra oleh mereka, khususnya indra penglihatan dan pendengaran.[72] Dengan demikian keteladanan ini menjadi sangat utama dan pokok.
Dalam masalah keteladanan ini maka Rasulullah saw. Merupakan seorang figur yang sangat perlu untuk dicontoh dalam segenap pendidikan Islam. Hal ini ditegaskan oleh firman Alloh swt.. Yang terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang artinya: “Sesungguhnya telah ada 9diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.”
  1. Pola asuh yang bersifat nasihat,
Di dalamnya mengandung beberapa hal. Pertama, seruan/ajakan yang menyenangkan disertai dengan penolakan yang lemah lembut jika memang ada perilaku anak yang ddianggap tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Kedua, metode cerita yang disertai perumpamaan yang mengandung pelajaran dan nasihat. Ketiga, gabungan antara metode wasiat dan nasihat.
Dalam menerapkan metode ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti: dilakukan dengan menyenangkan, penuh kelembutan, melalui cerita atau perumpamaan, melalui dialog yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman anak, memulai nasihat dengan bersumpah kepada alloh, dilakukan dengan sederhana dan diiringi dengan humor yang tetap berwibawa agar tidak membosankan dan menggunakan peragaan tangan dan gambar atau dipraktikkan secara praktis serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
  1. Pola asuh dengan perhatian atau pengawasan yang meliputi perhatian dalam pendidikan sosialnya, terutama praktik dalam pembelajaran, pendidikan spiritual, moral, konsep pendidikan yang berdasarkan pada nilai imbalan (reward) dan hukuman (punishment) terhadap anak.[73]
Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan ini bisa memberi hasil yangpositif, karena anak kecil memiliki kecenderungan kepada kebaikan, kesiapan fitrah, kejernihan jiwa sehingga sangat mudah untuk menjadi baik terutama mental, moral dan spiritualnya. Hal ini bisa diperoleh apabila tersedia faktor pendidikan yang Islami dan lingkungan yang baik dan kondusif.
Ketiga metode pendidikan yang disebutkan oleh Ulwan tersebut sangat sesuai diterapkan dalam melaksanakan pendidikan shalat kepada anak. Karena itu orang tua harus bisa menjadi figur teladan bagi anak, bisa menjadi seorang penasihat dan penceramah yang baik serta harus bisa memberi pengawasan dengan memberi reward (hadiah)  dan punishment (hukuman) secara adil, seimbang dan proposional.
Karena secara umum pola asuh dalam Islam adalah mempersiapkan generasi muda yang berakhlaqul karimah untuk menuju manusia yang sempurna (insanul kamil), maka sesungguhnya Islam memberi penjelasan bahwa pendidikan tidak hanya dimulai ketika anak lahir dan tumbuh berkembang, tetapi jauh-jauh hari sebelum anak lahir dan bahkan sejak orang tua belum menikah. Diantaranya dengan memilih jodoh yang beragama, berkualitas dan berakhlakul karimah.
Miftahul Huda dalam penelitian interaksi pendidikan dalam al quran[74] menjelaskan bahwa interaksi yang dikehendaki adalah pendidikan yang bersifat prenatal dan postnatal dalam lingkungan keluarga. Pendidikan prenatal merupakan usaha yang dilakukan orang tua dalam rangka mempersiapkan generasinya yang dilakukan melalui doa dan nazar. Pendidikan postnatal dimulai dengn memberi nama bayi baru lahir dengan baik, mendoakannya dan memintakan perlindungan kepada Alloh swt.. dari gangguan syetan. Demikian halnya pendidikan secara dasar meliputi  usaha mengasuh dan merawat bayi dengan memberi makan dan minum untuk pertumbuhan jasmaninya. Pada saatnya pendidikan juga tampil dalam bentuk pemberdayaan akidah, syariah, dan akhlaq.
Pendidik anak memiliki kompetensi dasar bijak, sabar, demokratis, memahami kejiwaan anak, dan intuitif (mandapat bimbinga Ilahi). Sifat anak didik digambarkan dengan assosiatif, patuh, komunikatif dam kritis sehingga mendukung keberhasilan pendidikan. Sebaliknya kegagalan pendidikan disebabkan oleh sikap disassosiatif, sikap menentang anak didik dan pengaruh lingkungan pergaulan.[75]
Karakter pendidik (orang tua) dalam al Qur’an dipetakan dalam tiga ranah yaitu; sikap, tindakan dan keyakinan. Pertama, karakter sikap mendidik ditunjukkan dengan kompetensi bikjaksana (karakter Luqman) dan sabar (karakter Nuh). Kedua, karakter tindakan mendidik tertuju pada sikap demokratis (karakter Ibrahim), dialogis dan psikologis (karakter Ibrahim dan Ya’qub)/ ketiga, karakter keyakinan memfokuskan pada dasar gerak pendidikan pada aspek transendensi-intuitif (karakter Maryam, Hannah dan Zakaria).[76]
Huda melanjutkan bahwa netode pendidikan anak dalam al Quran terdiri dari metode searah dan metode interaktif. Metode searah menggambarkan sentralisasi kegiatan pendidikan pada pendidik (orang tua)/ metode ini memiliki relevansi dengan materi pengajaran yang bersifat dogmatis. Sikap tegas orang tua disertai tanggung jawab atas pendidikan mampu mengkondisikan sikap patuh bagi anak.
Metode interaktif menggambarkan interaksi pendidikan berjalan dua arah antara orang tua dan anak. Metode ini menjadikan dialog sebagai sarana komunikasi untuk penyampaian pesan pendidikan. Efektifitas metode ini mengkondisikan pendidikan pada sifat demokrartis dan humanis, karena memberdayakan potensi anak didik secara emosional dan rasional.[77]
Kedua metode yang disebutkan di atas hampir mirip dengan yang diterapkan dalam pla asuh otoritatif milik Baumrind. Keduanya menekankan pada pemberian kebebasan anak melalui pemberian kesempatan berkreatifitas dan kontrol orang tua, yang digambarkan Huda sebagai metode searah, dimana orang tua menjadi sosok utama yang hadir dalam pengajaran dogmatis seperti pelajaran tentang hukum dan rukun serta tata cara shalat.
Dengan menerapan metode ini, pendidikan shalat akan kepada anak akan menyenangkan dan tidak bersifat pemaksaan sehingga akan lebih effektif dan efisien.


BAB IV
PENDIDIKAN KEAGAMAAN ANAK

A.  Tugas Perkembangan Anak
Pandangan para pakar mengenai keberadaan fase perkembangan anak usia 6-12 tahun ternyata amat variatif dengan macam-macam sebutan. Dicatat oleh Zulkifli L.[78],bahwa anak dalam rentang usia 6-11 tahun, secara biologis, Aristoteles menyebut sebagai masa anak-anak, masa sekolah, dan masa sekolah. Joham Amos Comenius, dalam Didactica Magna menyebut sebagai masa sekolah bahasa ibu. Karena pada periode ini anak baru mampu menghayati setiap pengalaman dengan pengertian bahasa sendiri (bahasa ibu) yang dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain yaitu untuk mendapatkan impresi dari luar sebagai pengaruh, sugesti serta tranmisi kultural dari orang dewasa, juga untuk mengekspresikan kehidupan batinyya pada orang lain.[79] Sementara itu Charlotte Buhler menyebut anak usia 5-8 tahun sebagai masa sosialisasi anak dimana anak mulai memaasuki masyarakat luas sehingga rasa sosial mlai berkembang dan mengenal dunia sekitar secara obyektf. Di usia 9-13 tahun disebut masa sekolah rendah, dimana jasmani berkembang pesat diikuti oleh keinginan yang sangat besar akan sesuatu dan kejiwaaannya mulai nampak tenang. Di usia ini mulai timbul kritik terhadap diri sendiri, kesadaran akan kemauan, penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri disertai dengan berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.
Kohnstamm menyebut usia ini sebagai masa anak sekolah / masa intelektual. Oswald Kroh menggolongkan dalam masa menentang kedua atau masa keserasian atau masa bersekolah. dalam pandangan Jean Jacques Rousseau berada pada masa pendidikan jasmani dan latihan panca indra. Pendapat yang variatif dari para pakar mengenai keberadaan perkembangan anak usia 6-11 tahun dengan sudut pandang biologis, didaktis, dan psikis ini manakala dicermati ternyata antar pandangan dapat saling melengkapi.
Sementara itu Muhammad Utsman Najati dalam, Al Hadits an Nabawi wa ‘Ilm an Nafs, menyebut usia ini dalam fase kanak-kanak menengah dan kanak-kanak akhir. Fase kanak-kanak menengah dimulai dari usia pertama kali nak-anak berangkat ke sekolah untuk belajar di luar lingkungan keluarga. Fase ini juga merupakan awal mereka bergabung dengan komunitas sosial ditengah –tengah sekolah dan diantara para pendidik. Di fase ini wawasan anak ulai terbuka, selain itu uga mulai memaasuki masa tamyiz (mampu membedakan hal yang baik dan buruk). Karena itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk mulai mangajarkan perintah agama, termasuk sholat pada fase ini, sekitar 7 tahun.
Fase kanak-kanak terakhir dimulai sejak usia 9 tahun sampai 12 tahun. Dimana merupakan masa perkembangan kecerdasan anak dan yang menentukan separo kecerdsan seorang anak di masamendatang. Fase ini adalah fase  perkembangan yang sangat penting untuk mendidik anak tentang nilai-nilai etika dan kaidah-kaidah dasar agama. Rasulullah saw. sendiri telah memerintahkan memukul anak berusia sepuluh tahun yang tidak mau mengerjakan shalat.[80]
Sejalan dengan itu Abdul Mujib dalam buku Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, menulis bahwa masa ini digolongkan dalam fase tamyis, yaitu dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah. Tugas perkembangannya adalah (1) perubahan persepsi kongkrit menuju pada persepsi yang abstrak, misanya persepsi tentang ide ketuhanan, alam akhirat, dan sebagainya;(2) pengembangan normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.[81]
Seperti halnya perubahan fisik, perubahan psikis juga berkembang dalam diri anak, yaitu :
1.      Perkembangan kecerdasan.
 Perkembangan yang sangat menonjol adalah perkembangan pikiran, khusunya kecerdasan. Perkembangan kecerdasan terjadi cepat sekali. Anak sudah mulai dapat memahami hal yang abstrak. Kecerdasannya untuk berfantasi/berkhayal sangat besar. Anak sangat suka mendengar cerita, kisah atau dongeng yang diceritakan oleh orang tua dan guru.[82]
Bagi pendidik usia ini merupakan periode kritis, karena dalam dorongan berprestasi anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses atau sangat sukses. Sekali terbentuk kebiasaan, maka cenderung akan menetap sampai dewasa.[83]
Pada umr 8-9 tahun, kemampuan membaca pada anak sudah mulai muncul. Apabila orangtua dan guru dapat menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak dan mendukung keimanan maka tentu sangat bermanfaat. Kisah cerita yang disukai anak pada usia ini adalah cerita yang sesuai dengan keadaan mereka, misalnya tokoh cerita anak yang sebaya dengannya. Mereka suka mendengar atau membaca cerita tentang hewan yang pernah dilihatnya, pemandangan alam yang indah memesona.
Pada usia 10-12 tahun perkembangan kecerdasan anak berjalan cepat, sehingga kemampuan memahami hal-hal yang abstrak semakin meningkat  dan pada usia 12 tahun anak barulah mampu memahami hal-hal yang abstrak. Penjelasan keimanan secara sederhana sudah dapat diberikan kepada anak usia ini sesuai dengan perkembangan kecerdasannya.
2.      Perkembangan sosial
Kecenderungan anak usia 6-9 tahun untuk bergaul dengan teman sebaya, membentuk kelompok, dan membuat kesepakatan diantara mereka. Teman-temannya itu kadang lebih mendapat perhatian dan prioritas daripada orang tuanya. Mereka mulai menjauh dari orang dewasa, karena mereka ingin berbincang dan bercerita sesama mereka tanpa diganggu oleh orang dewasa. Mereka tidak ingin terkucil dari teman-temannya. Apa yang dilakukan temannya, ia pun melakukannya. Misalnya mode pakaian , cara berbicara, gaya berjalan dan sebagainya ingin ia tiru seperti teman-teman dalam kelompoknya. Jika teman-temannya pergi mengaji, ia pun pergi mengaji. Apabila anak pada usia ini tidak mempunyai teman atau terkucil dari teman sepergaulan maka mereka akan merasa menderita, akibatnya perkembangan jiwa sosialnya akan tidak sehat.
Anak pada usia 10-12 tahun, telah mampu menghubungkan agama dan masyarakat. Mereka sudah tahu bahwa mencela atau melecehkan agama, menyakiti pemeluknya, adalah tidak baik. Oleh karena itu kefanatikan dan kecintaan kepada agamanya semakin nyata bahkan terkadang sikap sebaliknya terhadap agama lain mulai muncul. Disinilah peran orang tua dan guru untuk mengarahkan sikap cinta agama dan kefanatikan, agar mereka tidak menjurus kepada mencela atau memusuhi orang yang tidak seagama dengan dirinya. Harus pula dijaga jangan sampai terpahami oleh anak bahwa agama itu sama. Jika hal ini terjadi, kebanggaan dan kecintaan kepada agamanya (Islam) menjadi berkurang.
3.      Perkembangan Kepribadian
Anak yang berkembang kepribadiannya pada umur balita baik, akan dapat meneruskan perkembangan kepribadian yang baik pada masa selanjutnya. Suasana keluarga yang nyaman,tenang,dan penuh perhatian antara satu sama lainnya akan menjadikan si anak berkembang dengan ceria,lincah dan bersemangat. Masalah yang berat bagi anak pada usia ini adalah apabila sikap negatif dan perlakuan kasar dari orang tuanya terlalu keras,bersikap otoriter, selalu memerintah,melarang dan memaksakan disiplin yang kaku kepada anakanaknya, anak akan merasa tertekan, sehingga hatinya akan berontak kepribadiannya menjadi kaku. Ia akan merasa dirinya tidak berharga dan takut bergaul dengan orang lain. Bahkan sikap benci dan perasaan negatif yang dialaminya dapat berkembang kepada semua orang. Hal ini dapat berakibat orang lain sulit untuk menerimanya dan mugkin membencinya karena sikap dan perilakunya negatif.
Dalam psikologi dikenal umur kejam atau masa pueral. Masa ini biasanya berkisar antara 10-11 tahun. Ciri-cirinya seorang anak memperlihatkan sikap tidak bersahabat dengan lingkungannya. Mereka cenderung bertingkah kurang ajar suka mengganggu,menyakti dan merusak. Belas kasihan kepada dirinya menjadi berkurang walauun dia tidak sedang menyakiti orang lan. Walaupun masa ini berlangsung sangat singkat, namu pengaruhnya bisa menjalar sampai usia dewasa. Apanila sikap menyakiti, merusak, atau mengganggu ini dibiarkan dan tidak diantisipasi, makaakan terbawa-bawa  sampai saat kedewasaannya.[84]
Sikap seperti itu justru membawa anak pada kondisi yang anti disiplin. Tidak mau disuruh dan bersikap melawan. Perintah shalat di usia 7-10 tahun laksana sedia payung sebelum hujan. Ini merupakan tindakan antisipasi yang tepat dan bermanfaat. Sudah tentu jika bimbingan shalat itu berhasil pada usia itu, pembentukan pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab akan berjalan mulus sampai dewasa.
Masa umur kejam kemudian tergantikan dengan masa pueral, dimana anak mulai memperhatikan dirinya.tahapan ini disebut para ahli psikologi sebagai periode subjektif (12-14 tahun). Hidup sang anak tidak lagi diarahkan keluar dirinya me;ainkan kedalam dirinya. Di usia seperti ini tampaknya kehidupan kerohanian dan perintah-perintah agana sudah mulai manarik perhatiannya.saat itulah tiba saatnya anak mencapai kematangan utuk mengerti merasai dan menghayati kehidupan orang lainketika itu anak-anak menginjak awal hidup kesusilaan menjelang perkembangan selanjutnya.[85]

B.  Perkembangan Keagamaan Anak
Dalam psikologi Islam, manusia memiliki struktur ruh yang keberadaannya menjadi esensi manusia. Abdul Mujib[86] menuliskan bahwa struktur ruh memiliki alam tersendiri yang disebut alam arwah,yang mana alam tersebut ada di luar dan di dalam alam dunia. Alam ruh diluar alam dunia ada kalanya sebelum kehidupan dunia dan ada kalanya sesudahnya. Oleh sebab itu, kehidupan manusia meliputi tiga alam besar, yaitu: alam perjanjian, alam dunia dan alam akhirat.
Alam perjanjian adalah saat manusia menerima perjanjian primordial dengan Allah tentang pengakuan Alloh swt. sebagai Tuhan. Perjanjian ini sebagai bentuk kesanggupan manusia untuk tetap mentauhidkan Alloh swt..yang akan dipertanggung jawabkan kelak sesudah kembali kepada-Nya. Karena itu sesungguhnya manusia sebelum lahir sudah memiliki jiwa berkeTuhanan.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) dan orang tuanyalah yang nantinya akan memberi warna pada anak itu, apakah tetap membimbingnya dalam keadaan fitrah atau justru mengotori kefitrahan itu. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda :
كُلُّ مَوْلُودِ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِدَّنِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِرَانِهِ
“Tiadalah seorang bayi pun yang lahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Majusi, atau Nasrani.”[87]
Penyebutan fitrah dalam al quran adalah firman-Nya sebaai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. “(QS Ar Rum [30]:30)[88]
Muhammad Muhyiddin[89] menjelaskan bahwa makna fitrah dalam sabda Rasulullah saw. merupakan makna etimologis yang berarti “suci”. Sementara makna fitrah dalam ayat di atas merupakan makna terminologis akan “kesepakatan rabbani” yang telah dibuat oleh manusia dengan Tuhannya sendiri. Dua makna ini –etimologis dan terminologis- bukanlah dua makna yang saling bertentangan atau berlawanan. Bayi yang baru lahir adalah suci secara spiritual karena ia telah mengalami proses  pembentukan dan perkembangan di dalam rahim seorang ibu bervisi ilahi. Jiwanya suci karena terdominasi oleh ruh ketuhanan. Dengan demikian sesungguhnya setiap bayi yang lahir sudah memiliki nilai-nilai keberagamaan.
Menurut  Muhammad Utsman Najati[90], kesiapan yang bersifat fitrah ini perlu dipupuk dan dikembangkan melalui proses pendidikan dan pengajaran. Manusia memiiki potes untukmengenal kebenaran dan melakukan amal baik, dan ia juga memiliki potensi untuk terpengaruh kondisi keluarga dan lingkungannya yang tidak positif, sehingga ia menimpang dari fitrah asalnya. Akhirnya ia pu cenderung kepada kebatilan dan peruatan buruk.
Dengan fitrah yang telah dibawa sejak lahir, manusia mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk. Ia juga memiliki kesiapan untuk memilah jalan yang benar dan jalan yang sesat melalui anugrah Alloh, yakni berupa kemerdekaan berkehendak (QS. Al Balad[90]:10 dan al Insaan [76]:3).
Melalui fitrahnya, manusia mampu mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, serta yang mulia dan yang hina.dengan fitrahnya, manusia cendeerung berbuat baik dan mencari ketenangan jiwa. Jika ia melakukan perbuatan buruk, perasaannya akan terusik dan menjadi tidak tenang. Dan jika ia tidak akan suka jika orang lain sampai mengetahuinya. Jiwa manusia akan merasa aman dengan sesuatu yang bisa menimbulkan pujian. Ia tidak akan mau sesuatu yang mengakibatkan celaan. Fitrah semacam in akan terus tumbuh melalui proses pendidikan yang baik dan akan melemah kalau tidak mendapatkan pendidikan yang baik.
Perkembangan kesadaran beragama seseorang adalah berkelanjutan dan berkesinambungan yang lazim dimulai dari fase anak, fase remaja, fase dewasa, dan fase tua, dan itu bukan terupus-putus. Perkembangan rasa beragama  terjadi melalui pengalaman hidup anak sejak kecil, terutama di lingkungan keluarganya. Semakin banyak pengalaman agama yang diperoleh anak di usia dini, maka pengaruhnya akan semakin dalam di hati sanubari.[91]
Selanjutnya Yasin Musthofa menjelaskan bahwa pada usia anak anak awal, konsep mengetahui Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkebangan intelektualnya. Dalam menanggapi agama, anak masihmanggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang tidak masuk akal bagi orang dewasa.
Dan rasa keagamaan pada anak hampir sepenunya autorotarius, artinya konsep keagamaan pada diri anak dipengaruhi oleh faktor diluar mereka. Anak-anak melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama seperti ikut mengerjakan shalat, menghadiri majlis ta;lim dan lain sebagainya.
Zakiah Darajat dalam Ilmu Jiwa Agama [92]menjelaskan bahwa mulai umur 3 dan 4 tahun anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang ada hubungannya dengan agama, misalnya: “Siapa Tuhan, di mana surga, bagaimana cara pergi kesana?” Dan cara memandang alam ini seperti memandang dirinya, belum ada pengertian yang metafisik. Hal-hal seperti kelahiran, kematian, pertumbuhan dan unsur-unsur lain diterangkan secara agamis.
Ketika anak berumur 6-12 tahun, keberagamaan anak ditandai dengan ciri-ciri:
1.            Sikap keberagamaan anak masih bersifat reseptif namun sudah disertai dengan pengertian.
2.            Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman kepada indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi keagungan-Nya.
3.            Peghayaran secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.[93]
Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia 6-12 tahun ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungan. Oleh karena itu dalam mengenalkan Ruhan kepada anak sebiknya dironjolkan sifat-sifat pengasih dan penyayangnya, jangan menonjolkan sifat-sifat Tuhan yang menghukum, mengadzab atau memberikan siksaan denga neraka.[94]meskipun demikian tidak ada salahnya mengenalkan anak akan kerasnya siksa neraka dan nikmatnya pemandangan surga, tetapi tentu saja disesuaikan dengan nalar dan kemampuan merespon anak.
Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis,sehingga kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil sosialisasi orang tua, guru dan lingkungannya. Oleh karena itu pengamalan ibadahnya masih sering  bersifat peniruan, belum dilandasi kesadarannya.
Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. Anak mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga. Dia mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka shalat berjamaah, atau shalat ‘Idul fitri/’Idul adha, dan ibadah sosial sangatlah menarik baginya.
Dalam pandangan Amin sebenarnya anak-anak memiliki beberapa kemampuan dalam pengembangan kreatifitas keagamaannya. Hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan, anak mempunyai daya pikir dan daya nalar sesuai dengan taraf perkembangan akalnya. Kemampuan-kemampuan anak dalam masalah keagamaan atau spiritualita ini hendaknya diarahkan oleh orang tua untuk memupuk perasaan spiritualitas anak sehingga dalam diri anak sejak dini telah tertanam semangat keagamaan yang tinggi.[95]

C. Usia Pendidikan Shalat
Hukum mendirikan salat fardu lima waktu sehari semalam adalah fardu ‘ain bagi setiap umat Islam yang mukallaf. Artinya, setiap orang Islam yang mukallaf  dibebani kewajiban mendirikan salat fardu dan harus ditunaikan sendiri, tidak dapat dibebankan dan diwakilkan pada orang lain sekalipun pada kerabat dan ahli waris terdekat.
Memang kewajiban mendirikan salat fardu merupakan beban setiap orang Islam yang mukallaf, bukan beban anak-anak yang muslim. Akan tetapi mendidik dan melatih mereka untuk mampu mendirikan salat fardu sampai dengan terbiasa mendirikannya adalah diperintahkan oleh nabi saw. kepada setiap orang tua (ayah dan ibu) yang diberi amanat oleh Allah swt. mengasuh anak-anak buah kasih sayang pernikahan mereka
Harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan , latihan dan pembiasaan.[96] Karena itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal mereka ketika memasuki usia baligh, dimana pada masa ini mereka sudah mendapatkan kewajiban dalam beribadah sehingga pelaksanaaan ibadah yang diwajiban oleh Alloh swt. bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Dalam Islam ada kaidah bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus memperhatikan masa atau umur anak didik. Tahapan umur itu dapat memberi  petunjuk yang jelas bahwa dalam mendidik hendaknya orang tua memperhatikan jenjang biologis, yaitu umur dan fisiknya.[97]dengan demikian pendidikan agama bukan menjadi beban dalam kehidupan kecil mereka. Pendidikan agama menjadi sesuatu yang menarik minat dan perhatian mereka.
Seorang tokoh sekaligus pakar psikologi Barat memberikan pernyataan, sebagaimana ditulis Miftah Faridh, [98]bahwa sebaiknya agama tidak perlu dipaksakan kepada anak-anak. Dunia anak adalah dunia bermain. Kesenangan dan keceriaan selalu berada di sekelilingnya. Mereka belum sempurna akalnya, sehingga segala macam aturan yang bersifat mengikat dikhawatirkan akan mengganggu kejiwaannya.
Perlu tanggapan serius atas pernyataan semacam itu. Menurut Miftah, pernyataan semacam itu adalah bentuk ghazwul fikri (perang pemikiran) terhadap prinsip pendidikan Islam. Memang tidak dapat disangkal bahwa anak merupakan generasi yang nantinya diharapkan jadi penegak agamadan pengibar panji Islam. Mungkin Barat memang iri dengan sifat Islam yang sangat perhatian dengan pendidikan anak. Karena itu, berdalih masalah psikologi, dia menganjurkan supaya anak-anak tidak diberikan, baik materimaupun praktik ibadah keagamaan.
Padahal pendidikan ibadah terhadap anak kecil, terutama ibadah shalat  merupakan fase penyempurna pada fase pendidikan dan pembinaan akidah yang telah ditanamkan sebelumnya. Karena makna hakiki dari pelaksanaan ibadah yang dipraktekkan oleh anak-anak dalam kehidupan sehari-harinya akan menambah kebenaran akidah yang diyakini. Dan pelaksanaan ibadah yang dilakukan anak-anak bisa dijadikan barometer adanya akidah yang tertanam secara kokoh pada jiwa mereka. Semakin tinggi nilai-nilai ibadah yang mereka miliki, akan semakin tinggi pula keimanan yang tertanam dalam jiwa mereka. [99]
Karena itu tepat apa yang dikatakan Miftah faridh :
Secara kejiwaan bisa dipahami bahwa justru tatkala seseorang masih dalam masa kanak-kanak dia harus mendapatkan pendidikan dan praktik agama. Sebagaimana kita ketahui, ada masa-masa yang kehidupan itu akan membekas dalam benak seseorang sampai kapan pun ia hidup. Masa anak-anak sebelum dewasa terbukti paling efektif memberikan pemahaman yang menghujam kedalam diri seseorang. Dalam ilmu biologipun dikatakan, kondisi oprimal otak (sebagai salah satu komponen berfikir) ada pada masa perkembangan.[100]

Secara umum, untuk pertama kalinya seorang anak belajar shalat serta hukum-hukum agama dari bapak dan ibunya. Oleh sebab itu, kapan seharusnya mulai mengajarkan anak tentang shalat? Jawabannya dari hal itu akan dijelaskan oleh kisah berikut :
Hisyam bin Sa’id bercerita. “Saya dan beberapa orang pernah menemui Muadz bin Abdullah bin Hubaib Al Jahni, lalu ia bertanya kepada istrinya,’Kapan seorang anak mulai melaksanakan shalat?’ Istrinya menjawab, ‘Baiklah, ada seorang laki-laki diantara kita yang ingat jawaban Rasulullah saw. ketika beliau ditanya tentang itu.
Beliau saw. menjawab:
إِذاَ عَرَفَ يَمِيْنَهُ مِنْ شِمَالِهِ فَمُرُّوهُ بِالصَّلاَةِ
” Jika seorang anak sudah bisa membedakan antara arah kanan dan kiri, suruhlah ia untuk mengerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud) [101]
Abdullah bin Umar bin Khatab ra berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda :
إِذَ أَفْصَحَ أَوْلاَدَكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهِ ثُمَّ لاَ تُبَالُوْا مَتَى مَاتُوا وَإِذَا أَثْغَرُوْا فَمُرُّوْهُمْ بِالصَّلاَةِ
” Jika Anak-anak kalian telah fasih berbicara, ajarilah mereka kalimat La ilaha illallah, dan janganlah kalian mempedulikan kapan mereka meninggal. Jika telah tumbuh gigi depan mereka, suruhlah mereka mengerjaan shalat.’ (HR. Ibnus Sinni) [102]
Nabi saw. memberikan batasan umur disuruhnya anak-anak kecil mengerjakan shalat, karena umur sebelum itu merupakan masa meniru kedua orang tua mereka dan upaya membuat mereka mencintai shalat. Al Hakim  dan Abu Dawud,  meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءَ عَشْرٍ وَفَرِّ قُوهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berumur 7 tahun dan pukullah mereka (jika mereka tidak mau mengerjakannya) ketika mereka telah berumur sepuluh tahun. Pisahkanlah juga tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan).”[103]
Anak-anak dalam rentang usia 7-10 tahun mulai memiliki kemampuan untuk mengemban amanah. Pada usia tersebut berdasarkan perkembangan intelektualitasnya, seorang anak sudah bisa memahami arti prosedur suatu aktivitas sehingga ia bisa menjalankan urutan-urutan rukun shalat beserta bacaannya. Anak juga sudah memiliki rasa tanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadanya. Jadi tepat sekali Rasulullah saw. memerintahkan  orang tua mendidik anak dengan shalat pada saat anak memiliki kemampuan itu.
Tetapi perintah shalat pada usia itu tidak akan terlaksana jika anak tidak memiliki ilmu tentang shalat. Karena itu orang tua perlu memahamkan tentang shalat sebelum usia 7 tahun. Hal ini diharapkan ketika anak usia 7 tahun dan diperintah shalat, mereka akan mengerjakanya dengan benar.



 BAB V
PENDIDIKAN DAN PENANAMAN KEGEMARAN SHALAT
Shalat adalah tiang agama, rukun iman yang kedua, pembeda antara yang kafir, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa shalat memiliki kedudukan yang sangat utama dalam Islam. Karena itu setiap muslim wajib untuk melaksanakan shalat. Tidak ada ‘uzur ataupun rukhsoh untuk tidak melaksanakannya, walaupun hanya tinggal kesadaran hati tanpa gerak. Di setiap keadaan apapun shalat tetap wajib didirikan walaupun di tengah medan peperangan yang sangat berkecamuk. Hal ini harus benar-benar tertanam dalam diri setiap muslim sehingga ia tidak meremehkan shalat.
Shalat adalah dunia yang sangat luas, bahkan mewakili keimanan dan keislaman seseorang yang didalamnya ada nilai-nilai keimanan seperti beriman kepada Alloh, Malaikat, dan seterusnya. Di sana juga ada perbaharuan ikrar syahadattain yang merupakan kunci keislaman seseorang. Di dalamnya ada penghambaan, pengagungan permintaan, pengharapan  dan kepasrahan. Singkatnya shalat adalah nafas badi seorang muslim.
Begitu luasnya dunia shalat, maka pendidikan shalat pun sangat luas. Mendidik anak untuk shalat ibarat mendidik Islam secara keseluruhan. Ketika mengajarkan syahadat, berarti telah memperkenalkan Alloh dan Rasulnya. Ketika mengajarkan al Fatihah, sama dengan mengajarkan al Quran, karena al Fatihah adalah induk (ummu) Quran. Ketika mengajarkan tentang balasan bagi orang yang shalat, di sana ada pelajaran tentang surga neraka dan kehidupan hari akhirat. Ketika mengajarkan tata cara dan rakaat shalat, disana ada nilai kpatuhan, ketundukan, keseriusan, kejujuran dan sebagainya.karena itu mengajarkan anak tentang shalat sama dengan mengajarkan Islam itu sendiri.
Sebagai muslim yang kelak akan menjadi orang tua tentu berharap memiliki keturunan yang shalihah dan selalu mendirikan shalat, sebagaimana doa Nabi Ibrahim as agar menjadikan dirinya orang yang senantiasa mendirikan shalat dan memiliki keturunan yang senantiasa mendirikan shalat pula.karena itu sedini mungkin marilah serius mempelajari hal yang berkaitan dengan shalat dan menjalankan shalat dengan baik dan benar sehingga nantinya mampu mengajarkan shalat dengan benar kepada anak turun kita. Janganlah sampai shalat yang suci dan mulia menjadi tak berharga dan sia-sia hanya karena kita salah dalam mengajarkannya kepada anak turun kita
A.    Tahapan Usia Dalam Pendidikan Shalat
Pendidikan yang baik adalah disesuaikan dengan subyek pendidikan (anak didik) baik secara fisik maupun psikologis. Pendidikan shalat bagi anak merupakan rangkaian yang bertahap dan integral. Sudah menjadi fitrah manusia bahwa seorang manusia tidak bisa menerima suatu pelajaran yang banyak sekaligus, karena kemampuan manusia untuk berfikir dan bertindak bersifat terbatas, sehingga dalam menyampaikan suatu pelajaran kepada anak perlu menggunakan cara yang benar, yakni secara sedikit demi sedikit atau bertahap supaya anak benar-benar memahami dan menguasainya dan dapat mengamalkanya dengan baik. Pendidikan semacam ini juga digambarkan dengan  turunnya al Quran dengan bertahap sesuai dengan keadaan dan kesiapan penerima.
Orang tua wajib memperkenalkan dan memberi pelajaran pada shalat sejak usia dini sehingga ketika di usia pelaksanaan shalat mereka telah memiliki bekal yang cukup. Salah satu cara memberi pelajaran adalah dengan membiarkan mereka bertanya tentang keimanan, ibadah dan sebagainya. Keinginan mereka untuk bertanya adalah tanda bahwa mereka mulai memiliki ketertarikan dalam agama. Memang mulai usia dua tahun anak kadang bertanya tentang beberapa hal karena mereka melihat orang tua dan orang-orang disekitar mereka sering menyebut kalimat keagamaan dan melihat mereka dalam melaksanakan ibadah yang memancing ketertarikan baginya. Disaat itulah orang tua harus mengembangkan keinginannya bertanya sehingga pelajaran akan sangat membekas mengingat balita memiliki kekuatan mengingat yang sangat besar.
Selanjutnya ketika mereka mulai bisa membedakan tangan kanan dan kiri, maka orang tua memiliki kewajiban untuk memerintah dan membimbing anak untuk menjalankan shalat.
Khalid bin Abdurrahman al ‘Akk dalam bukunya Cara Islam Mendidik Anak[104], menerangkan bahwa terdapat 4 tahapan dalam mengajarkan shalat dalam rentang usia yang berbeda.
1.      Tahapan perintah untuk menjalankan shalat
Kedua orang tua mulai mengarahkan perintahnya pada anak untuk shalat. Hal ini dilakukan sejak anak mengetahui perbedaan antara tangan kanannya dan tangan kirinya.
Menurut Abdul Hafidz pada tahap ini, orang tua mulai memberikan pengertian kewajiban melaksanakan shalat dan berani memerintahkan anak melaksanakannya. Dan cara pembinaan yang terbaik adalah mengajaknya untuk melaksanakan shalat berjamaah. Ini berdasarkan pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan Ath Thabrani dari Abdullah bin Hubaib ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
 “ Apabila seorang anak telah tahu (membedakan ) tangan kanan dan kirinya, maka perintahkanlah dia melaksanakan shalat.”[105]

2.      Tahapan mengajarkan shalat kepada anak
Kedua orang tua mulai dengan mengajarkan rukun-rukun shalat dan hal-hal yang membatalkannya. Nabi saw. memberi batasan umur 7 tahun sebagai awal tahapan ini. Abu Dawud meriwayatkan dari Sabrah bin Ma’bad al Jauhani, yang mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda:
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ فَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا
 ‘Perintahkan anak untuk melakukan shalat, jika ia telah berusia 7 tahun. Lalu apabila ia berusia 10 tahun, pukullah’.” Maksudnya, jika ia sengaja meninggalkannya.
Dalam periwayatan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyatakan,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءَ عَشْرٍ
 “Ajarkan anak-anakmu tentang shalat ketika berusia 7 tahun, dan pukullah saat berusia 10 tahun.” (Abu Daud, no. 494 ; Tirmizi no. 407, sanadnya hasan.) [106]
Bahkan Rasululah saw. pernah mengoreksi langsung kesalahan yang dilakukan anak-anak dalam pelaksanaan ibadah shalat.[107] Sebagaimana yang diriwayatkan At Turmudzi dari Ummu Salamah ra, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw melihat salah seorang anak dari kami melaksanakan shalat, kemudian dikatakan kepada beliau “Perbaikilah bila cara dia bersujud salah!”. Belau menjawab, “Hai anakku, tempatkan dahimu pada tempat sujud,” Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya dan Imam Ahmad dalam kitab Musnad.
Rasulullah saw juga memanggil beberapa anak para sahabat agar tidak menoleh kanan-kiri ketika sedang melaksanakan ibadah shalat, sebagaimana hadits yang diriwayatkan At Turmudzi yang bersyumber dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda :
 “Hai Anakku, jangan kamu menoleh kanan-kiri dalam pelaksanaan shalat. Sebab toleh-toleh adalah merusak sahnya shalat. Seandainya kamu tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh, lakukanlah pada pelaksanaan shalat sunnah, bukan pada shalat fardhu.”
Anak kecil yang melihat tata cara ibadah orang dewasa, semisal shalat, wudhu, dan sebagainya akan memberikan pengaruh yang sangat besar sebagai suatu pelajaran untuk dipraktikkan sehingga tata cara beribadah anak yang bersangkutan menjadi baik dan sempurna.
Penetapan usia tujuh tahun sebagai awal pendidikan rutinitas shalat, sangat tepat dengan perkembangan psikologis anak. Dimana menurut Aziz Musthofa, diusia tersebut anak sudah mulai senang untuk belajar tertib.  Mereka mulai mudah diberi pengertian dan bisa berbuat segala sesuatu berdasarkan pengertian tersebut, bukan sekedar menuruti perintah orang tua. [108]
Abdurrahman al ‘Akk mengatakan bahwa wajib bagi orang tua untuk menanamkan pemahaman-pemahaman yang  benar pada anak-anak secara sederhana dan mudah.[109] Menurut Mukhotim el Moekry,[110] orang tua sebaiknya memberi pemahaman kepada anak tentang shalat bahwa shalat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, baik anak-anak maupun dewasa.  Selain itu perlu ditegaskan bahwa menegakkan shalat adalah perintah Alloh swt dan juga bahwa menegakkan shalat dapat mencegah diriya dari perbuatan jahat dan keji. Lebih dari itu, perlunya melakukan pemahaman bahwa pelaksanaan ibadah shalat sebagai pelatiha disiplin dalam hidupnya. Anak harus diberi keyakinan dalam hidupnya harus ada komunikasi dengan Alloh melalui shalat.

3.      Tahapan memerintahkan shalat dan memukul karena meninggalkannya
Hal ini dilakukan saat anak berusia 10 tahun. Jika ia mempersingkat dalam shalatnya, atau meremehkan atau bermalas-malasan dalam melaksanakannya, orang tuanya boleh memukulnya sebagai pelajaran moral baginya karena bersikap keterlaluan dalam memanjakan hawa nafsunya.
Juga sebagai peringatan atas sikap zalimnya terhadap nafsu, dengan mengikuti jalan-jalan setan. Sebab pada tahapan ini adalah taat pada perintah Alloh, mengingat anak masih berada dalam tahapan fitrah, sedangkan setan masih lemah pengaruhnya. Maka anak yang tidak shalat menjadi bukti adanya kekuasaan setan padanya sedikit demi sedikit.
Oleh karena itu, anak tersebut perlu diobati dengan terapi nabawi, yaitu pukulan. Tidak ada salahnya memberikan pemahaman tentang sebab pukulan itu kepada anak, dengan membacakan hadits Rasulullah saw.
Muncul suatu  pertanyaan, mengapa Rasulullah saw menekankan pendidikan shalat pada anak sejak usia 7 tahun dan usia 10 tahun perlu dipukul jika meninggalkanya? Abdul Hafidz menulis jawaban dari Syaikh Ad Dahlawi dalam memberikan interpretasi terhadap masalah semacam ini dengan menyatakan bahwa anak dianggap sudah memasuki usia baligh bisa dilihat dari dua sisi; Pertama, pola pikir anak sudah mulai berjalan atau logika percakapannya sudah relatif bagus. Keberadaan anak seperti ini pada lazimnya ketika anak telah memasuki usia tujuh tahun. Pada usia tujuh tahun, anak sudah mulai bisa berfikir tentang keadaan di sekitarnya, dan perasaan ingin tahu terhadap sesuatu apa pun yang dilihatnya cukup tinggi. Sedangkan anak berusia sepuluh tahun, logika berfikirnya sudah tampak dewasa, serta sudah bisa menilai perilaku dirinya sendiri dan orang lain, apakah tindakan dirinya (atau orang lain) ada manfaatnya atau merugikan orang lain? Anak yang sudah bisa menilai baik dan buruk sesuatu, maka anak yang bersangkutan dianggap sudah bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi diinya sendiri maupun kepada orang lain, seperti berjualan, ikut berjihad dan mengadakan transaksi lainnya.
Kedua, pola pikir dan bentuk fisik anak dinilai sudah relatif sempurna ketika mereka memasuki usia lima belas tahun ke atas. Tanda-tandanya adalah mereka sudah mengalami mimpi basah (keluar mani) dan sekitar alat kelaminnya sudah mulai tumbuh bulu. Maka anak yang sudah berusia lima belas tahun ke atas harus dipisahkan tempat tidurnya antara laki-laki dan perempuan.
Adapun makna shalat bagi mereka memegang peranan penting bagi perjalanan hidup mereka, setidak-tidaknya ada dua; Pertama, shalat berfungsi sebagai sarana bagi seorang hamba untuk berhubungan secara batin dengan Sang Maha Pencipta, agar hamba yang bersangkutan tidak mudah jatuh ke derajat makhluk ciptaan Alloh swt yang paling rendah. Kedua,shalat berfungsi sebagai salah satu bentuk syiar Islam kepada seluruh umat manusia. [111]
4.      Melatih anak-anak menghadiri shalat jum’at
Menurut Al ‘Akk, melatih anak kecil untuk melaksanakan shalat Jum’at, memberikan banyak manfaat, diantaranya:
a.       Ketika berusia baligh, anak menjadi terbiasa untuk melaksanakannya
b.      Mendapat pengaruh dari mendengarkan khutbah, karena fitrah anak adalah sensitif terhadap nasihat, hadits-hadits keimanan dan sirah Nabi saw., sebagaimana bisa menjadi latihan baginya untuk mendengarkan ilmu.
c.       Senang terhadap umat Islam, dan merasa masuk kedalam komunitas masyarakat. Karena ia harus berkenalan dengan orang-orang yang dikenal oleh ayahnya, sahabat-sahabat dan kawan-kawan dekatnya
d.      Shalat Jum’at membangkitkan seseorang merasakan nikmatnya iman yang tertanam  dalam hatinya dan menambah kekhusyukan dirinya dalam setiap melaksanakan shalat lima waktu, serta menambah ketaatan kepada Alloh swt.
e.       Shalat Jum’at bisa membentuk pribadi anak yang baik dan sempurna dari segala unsur, baik bidang aqidah, ibadah, sosial kemasyarakatan, perasaan, pola pikir, kesehatan dan pengembangan kepribadian

B. Persiapan Orang Tua dalam Pendidikan Shalat
Persiapan menentukan hasil, begitulah kata yang tepat sebelum memulai mendidik dan memerintahkan anak untuk melakukan shalat. Orang tua perlu memiliki persiapan yang sangat matang agar hasil pendidikan lebih efektif dan efisien.  Perintah orang tua (ayah dan ibu) terhadap anak usia 6-11 tahun untuk gemar menjalankan shalat fardhu dapat diwujudkan dengan baik oleh anak, manakala sebelum perintah itu secara lisan disampaikan misalnya terlebih dahulu orang tua meiliki pemahaman tentang teori mendidik anak, memiliki persiapan yang baik dan mengkondisikan anak agar paham mengenai keimanan, thaharah, menguasai bacaan dalam shalat, menguasai gerakan dalam shalat dan orang tua juga menyediakan tempat shalat berjama’ah bagi seluruh anggota keluarga serta peralatan shalat.
Dengan demikian, perkara yang harus dipersiapkan oleh orang tua sebelum menyampaikan pengajaran dan perintah shalat terhadap anak dalam lingkungan rumah tangga adalah relatif banyak, antara lain adalah :
1.  Siap memberikan keteladanan
Semua orang sepakat bahwa mengajar dengan praktik dan memberi contoh secara langsung jauh lebih berpengaruh positif pada pemahaman anak daripada hanya teori semata. Karena itulah hendaknya para murobbi, terutama orang tua tidak lalai dari metode pengajaran ini sebab inilah yang dicontohkan Nabi saw. dan para sahabatnya.
Suatu ketika, Ustman bin Affan ra meminta air wudhu dan mengajak para sahabat untuk memperhatikan cara wudhu beliau dari awal hingga akhir lalu berkata, “ Seperti inilah aku melihat Nabi saw. berwudhu “.
Dalam kisah yang lain, salah seorang sahabat pernah mempraktikkan shalat dari awal hingga akhir dihadapan para sahabat yang lain, seraya mengatakan, “ Kemarilah kalian! Akan aku perlihatkan kepada kalian sifat shalat Nabi saw. “.
Rasulullah saw. terkadang juga melakukan shalat (sebagai imam) dengan berdiri dan ruku’ di atas mimbar untuk memperlihatkan shalatnya kepada para sahabat, beliau mengatakan, “ Aku melakukan ini agar kalian mengikutiku dan mengetahui shalatku”.[112]
Contoh metode pengajaran seperti ini sangat sering diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Demikian itu karena teori semata sulit untuk dipahami dan membutuhkan waktu yang lama bahkan mudah terlupakan, berbeda dengan apa yang dialami dan dilihat secara langsung. Ini berarti orang tua dan para orang tua tidak cukup hanya menyediakan buku-buku bacaan seputar wudhu dan shalat atau hanya memerintahkan anak untuk menjalankan shalat, namun mereka juga dituntut untuk memberikan keteladanan berupa praktik amali di hadapan anak-anak mereka seperti yang dicontohkan Rasulullah  saw., sebaik-baik pendidik, dan para sahabat beliau. Untuk itu orang tua harus belajar melakukan shalat dengan baik dan tertib sehingga dapat memberi teladan. Perlu diingat bahwa sebelum sepuluh tahun, kegiatan shalat anak lebih sering karena mengikuti dan meniru orang tua dan lingungan sekitar.
2.  Siap mengajarkan shalat dengan benar
Para orang tua dan orang tua harus  mengajarkan shalat yang benar kepada anak-anak mereka. shalat yang benar artinya shalat yang sesuai dengan shalat Rasulullah  saw. , sebagaimana sabda beliau, “ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Oleh karena itu, sebelum melakukan pengajaran, para orang tua harus memiliki ilmu tentang sifat shalat Nabi saw. dan tidak cukup dengan mengikuti shalat kebanyakan orang zaman sekarang, sebab diantara mereka masih banyak yang melakukan bid’ah dalam shalat, baik dengan mengurangi atau menambahi sebagaian dari shalat mereka yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw. Padahal shalat merupakan amal yang paling utama yang pelakunya sangat berharap agar shalatnya bisa diterima oleh Alloh, sementara Alloh tidak akan menerima sebuah amal kecuali yang ikhlas karena Alloh semata dan sesuai dengan sunnah (petunjuk/contoh ) dari Rasulullah  saw.
3.  Tidak membiarkan kesalahan
Sebagian orang beranggapan bahwa tidak mengapa membiarkan anak shalat dalam keadaan tidak benar, toh juga masih anak-anak, misalnya membiarkan anak shalat tanpa berwudhu atau berwudhu hanya dengan membasuh telapak tangan, wajah dan kaki saja dengan alasan bahwa anak masih kecil dan belum baligh. Ada juga orang tua yangmembiarkan anak shalat sekedarnya saja, bahkan jauh dari yag dicontohkan Raslulullah saw. Anggapan ini jelas salah. Perlu diketahui bahwa meskipun hukum-hukum syari’at belum berlaku bagi anak, namun Allah swt. memerintahkan dan memberi beban kepada orang tua untuk memberlakukan hukum-hukum syari’at kepada anak-anak mereka. Anggapan yang salah ini jelas bertentangan dengan perintah Rasulullah  saw. :
“ Perintahkan anak-anak kalian untuk menunaikan shalat ketika mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika mereka telah berusia 10 tahun “.
Maksud dari perintah Rasulullah  tersebut adalah agar para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk thoharoh dan berwudhu dengan sempurna, berpakaian menutup aurat dan pundak, berdiri menghadap kiblat, di tempat yang tidak haram untuk shalat di dalamnya, melakukan tata cara shalat dari takbirotul ihrom hingga salam lengkap dengan rukun-rukunnya, fardhu dan sunnah-sunnahnya.
Rasulullah pernah melakukan shalat malam, lalu Abdulloh bin Abbas datang mengikuti dan berdiri di sebelah kiri beliau. Maka beliau saw. memutarnya dari arah kiri lewat belakang ke arah kanan beliau
Pernah salah seorang Arab Badui datang ke masjid lalu melakukan shalat. Setelah selesai dari shalatnya, Rasulullah  saw. bersabda, “ Ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau belum shalat “. Maka orang tersebut mengulangi shalatnya seperti shalatnya yang semula hingga 3 kali, sampai akhirnya orang itu berkata, “ Wahai Rasulullah , ajarilah aku shalat, sebab aku tidak bisa shalat kecuali dengan cara yang seperti ini (yakni shalat dengan gerakan yang sangat cepat, tanpa thuma’ninah). Maka Rasulullah  saw. mengajarinya shalat seraya menyampaikan bahwa wajib baginya untuk thuma’ninah pada setiap gerakan shalat.
Rasulullah saw. menganggap shalat orang ini batal karena meninggalkan salah satu rukun shalat, yaitu thuma’ninah. shalat yang dianggap batal oleh Nabi saw. yang dilakukan oleh orang ini banyak sekali dilakukan oleh anak-anak.Sehingga kewajiban para orang tua dan para orang tua adalah membenarkan shalat mereka yang masih salah ini.[113]
Pelaksanaan shalat anak adalah pembiasaan, karena itu jika biasa shalat dalam keadaan salah maka seterusnya akan terbiasa dalam kesalahan. Perlu diingat jika merubah kebiasan salah lebih sulit dari pada menanamkan kebiasaan yang benar. Untuk hal ini, tugas orang tua adalah selalu menemani anak ketika mereka shalat sembari memberi penilaian dan petunjuk yang benar.
4.  Melatih dengan berulang-ulang
Melatih gerakan dan bacaan shalat pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan cara berulang-ulang. Semakin sering anak usia dini mendapatkan stimulasi tentang gerakan shalat, apalagi diiringi dengan pengarahan tentang bagaimana gerakan yang benar secara berulang-ulang maka anak usia dini semakin mampu melakukannya. Begitu juga dengan bacaan shalat. Semakin sering didengar oleh anak, maka semakin cepat anak hafal bacaan shalat tersebut. Sekalipun pemberi teladan yang utama adalah ayah dan ibu, diharapkan orang dewasa lainnya yang tinggal bersama anak juga bisa menjadi teladan bagi anak. Sehingga disaat ayah tidak di rumah dan ibu berhalangan memberikan teladan, maka pemberian latihan tetap bisa berlangsung oleh orang dewasa lainnya yang tinggal bersama anak.
5.  Menciptakan suasana yang nyaman dan aman
Menghadirkan suasana belajar shalat yang memberikan rasa aman dan menyenangkan bagi anak dalam menerima seluruh proses pendidikan shalat yang diselenggarakan. Saat anak usia dini mengikuti gerakan-gerakan orang tua dalam shalat, pada tahap awal terkadang bisa mengganggu kekhusyukan shalat orang tua. Orang tua harus dapat memahami bahwa tindakan anak meniru gerakan orang tua adalah sebagai proses belajar, sehingga sekalipun anak dapat mengganggu kekhusyukan shalat orang tua, anak tidak boleh dimarahi atau dilarang dekat dengan orang tua saat shalat. Pengarahan tentang bagaimana tata cara shalat yang benar diajarkan kepada setelah proses shalat berlangsung. Dalam tahap lanjut, anak tidak hanya bisa meniru gerakan shalat, tapi juga memiliki kebanggaan untuk mengenakan simbol-simbol Islami baik dalam ucapan maupun perilaku dalam shalat dan sebagainya.
Orang tua ysng menyadari pentingnya pendidikan shalat pasti akan mamberikan fasilitas terbaik agar benar-benar sukses dan berhasil shalat dengan benar dan baik. Kenyamanan dan keamanan akan benar-benar diberikan melalui suasana yang kondusif serta alat pendidikan yang memadai.
6.  Tidak memaksa
Tidak melakukan pemaksaan dalam melatih anak usia dini melakukan shalat. Menurut candra, Perkembangan kemampuan anak melakukan gerakan shalat adalah hasil dari pematangan proses belajar yang diberikan. Pengalaman dan pelatihan akan mempunyai pengaruh pada anak bila dasar-dasar keterampilan atau kemampuan yang diberikan telah mencapai kematangan. Kemudian, dengan kemampuan ini, anak dapat mencapai tahapan kemampuan baru yaitu dapat melakukan gerakan shalat sekalipun belum berurutan. Pemaksaan latihan kepada anak sebelum mencapai kematangan akan mengakibatkan kegagalan atau setidaknya ketidakoptimalan hasil. Anak seolah-olah mengalami kemajuan, padahal itu merupakan kemajuan yang semu. [114]Di samping itu, latihan yang gagal dapat menimbulkan kekecewaan pada anak atau rasa tidak suka ada kegiatan yang dilatihkan. Dengan demikian, saat anak usia dini tidak bersedia diajak shalat bersama, maka orang tua tidak harus memaksakan anak.
7.  Tidak membanding-bandingkan
Menurut Rosyidah, .[115] secara fisik, semakin bertambah usia anak maka semakin mampu melakukan gerakan-gerakan motorik dari yang sederhana sampai yang komplek. Namun perlu diperhatikan adanya keunikan setiap anak. Bisa jadi tahapan perkembangan gerakan motorik antara anak pertama lebih cepat dibandingkan anak kedua. Oleh karenanya, penting bagi orangtua untuk memperhatikan perkembangan perseorangan, dan tidak membanding-bandingkan dengan sang kakak atau anak lain yang seusia dengan anak. Bisa jadi sang kakak lebih cepat bisa mencontoh gerakan shalat dibandingkan dengan sang adik. Dalam kondisi ini orang tua tidak boleh langsung menilai bahwa sang adik tidak pintar seperti sang kakak. Setiap anak harus mendapatkan perhatian dari orang tua hingga muncul penghargaan atas diri anak dan antar sesama anak
8.  Mendirikan shalat fardu secara berjama’ah
Dikaitkan dengan pahala dan fadilah yang diperoleh, mendirikan shalat lima waktu secara berjama’ah memang diakui berlipat 27 kali jika dibandingkan dengan mendirikan shalat fardu secara munfarid (sendirian).
Orang tua sebaiknya berjamaah ketika melaksanakan shalat sunnah, seperti, dhuha, tahajjud, witir, tasbih serta shalat sunnah yang dapat dikerjakan dengan berjamaah. Ketika itu, anak ditempatkan disamping orang tua sehingga mereka terbiasa melihat orang tuanya shalat dengan berjamaah. Dan jika telah sanggup mengikuti orang tua, maka sertakan anak dalam jamaah sehingga mereka dapat merasakan ketenangan dan kenikmatan shalat secara bersama.
Orang tua, terutama ayah sebaiknya membawa anak dalam jamaah fardhu di masjid, terlebih jika anak laki-laki karena mereka nantinya wajib untuk memenuhi shalat fardhu dengan berjamaah di masjid.
Ketika telah dikaruniai anak oleh Allah swt harus diupayakan sehari-hari anak dapat menyaksikan orang tua (ayah dan ibu) yang tengah mendirikan shalat fardu secara berjama’ah baik di masjid maupun di rumah. Perlakuan ini dapat membantu orang tua (ayah dan ibu) dalam mengenalkan aneka bacaan dan gerakan dalam shalat fardu.

9.  Menyediakan peralatan shalat untuk anak
Pengenalan aneka bacaan dan gerakan salaf fardu dapat lebih meningkatkan motivasi anak untuk belajar mendirikan shalat fardu bilamana orang tua (ayah dan ibu) di rumah menyediakan peralatan shalat khusus untuk anak dan diupayakan dengan mutu barang yang terbaik karena peralatan itu dikenakan ketika akan menghadapkan diri pada Allah swt. Untuk anak laki-laki disediakan sarung, baju taqwa, kopiah, sajadah. Untuk anak perempuan disediakan mukena dan sajadah. Sehari-hari seusai mendirikan shalat fardu, anak diserahi tugas menyimpan peralatan shalat ini pada tempat masing-masing secara rapi seperti mukena dan sarung harus dilipat, agar bila waktu shalat fardu berikutnya datang tanpa dicari sudah siap pakai.

C.  Tahapan Mendidik dan Menanamkan Kegemaran Shalat
  1. Mengajarkan keimanan
Sebelum mendidik anak shalat, orang tua wajib mengajarkan keimanan (akidah) terlebih dahulu.
Dalam berbagai literarur tentang pendidikan shalat kepada anak, hampir semua pendapat menyatakan bahwa penanaman nilai keimanan merupakan pendidikan awal yang menuju pendidikan shalat. Ibarat akan memasuki dunia yang luas, penanaman keimanan adalah kunci sekaligus gerbang pertama yang harus dimiliki setiap anak. Jika ia tidak memiliki keimanan maka ditengah jalan ia akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan pendidikan.
Karena shalat adalah bentuk pengabdian kepada Alloh dan pengagungan kepada-Nya, maka anak perlu mengenal siapa Tuhannya, siapa Nabinya dan untuk apa dan siapa melakukan shalat. Jika anak telah mengenal Tuhannya maka ia akan memiliki rasa senang saat menjalakan badah.
Hubungan antara penanaman keimanan terhadap pendidikan dan kegemaran shalat sangat erat, seperti yang dijelaskan oleh Layla :
Pada usia dini, anak harus diajak belajar memahami bahwa dirinya sendiri, orang tua, keluarga, manusia dan seluruh alam ini diciptakan oleh Alloh. Karena itu, manusia harus beribadah dan taat kepada Alloh. Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Alloh sehingga anak mengetahui betapa Alloh Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak memahaminya dengan baik, insya Alloh akan tumbuh kesadaran untuk senantiasa mengagungkan Alloh dan bergantung hanya kepada-Nya. Lebih dari itu, kita berharap akan tumbuh benih-benih cinta anak kepada Alloh. Cinta yang kelak akan mendorongnya gemar melakukan  amal shaleh.[116]

Sementara itu Dr. Said Ramadhan al Buthi menjelaskan hubungan antara penanaman akidah dengan pembinaan ibadah terhadap anak. Ia berpendapat bahwa proses penanaman akidah pada anak agar terus berkembang dan tumbuh dengan kokoh dalam jiwanya adalah hendaknya anak yang bersangkutan diarahkan untuk selalu mengerjakan ibadah sesuai dengan kemampuannya. Langkah semacam ini diharapkan bahwa akidah yang sudah tertanam dengan kokoh di hati mereka itu bisa menahan gempuran gelombang arus kehidupan yang negatif dan destruktif.[117]
Jadi terdapat hubungan yang erat antara penanaman keimanan dengan pelaksanaan ibadah seperti shalat.
Beberapa tahapan yang bisa dilakukan dalam menanamkan nilai-nilai keimanan adalah sebagai berikut:[118]
Pertama, ajarkan kepada mereka kalimat  لا إله إلا الله
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda :
افْتَحُوا صِبْيَانَكُمْ أَوَّلَ كَلِمَةٍ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
“Perdengarkanlah لا إله إلا الله  kepada bayi-bayi kalian sebagai kalimat pertama kali yang didengar oleh mereka.” (HR. Al Hakim)
Ibnu Qayim menyebutkan dalam Tuhfatul Maudud, hendaknya kalimat pertama yang didengar oleh manusia adalah kalimat panggilan tertingi yang di dalamnya mencangkup kebesaran Rabb dan keagungan-Nya serta kalimat syahadat yang merupakan ungkapan pertama kali bagi orang yang hendak masuk Islam.
Kedua, ajarkanlah nilai-nilai keimanan kepada Alloh swt.
Dalam mengajari anak tentang nilai keimanan kepada Alloh, perlu dilakukan secara sederhana dan mudah sehingga dapat dipahami oleh anak-anak. Di sinilah anak-anak diajarkan bahwa manusia dan seluruh yang ada di alam adalah makhluk ciptaan Alloh yang harus tunduk patuh pada-Nya. Selain itu anak dikenalkan dengan asma dan sifat Alloh swt.anak juga sudah dipahamkan untuk tidak menyekutukan Alloh seperti halnya yang dilakukan Lukman al Hakim ketika memberi pelajaran anaknya yang pertama diajarkan adalah ketauhidan dan larangan menyekutukan Alloh swt.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu mengangkat tongkat kepada keluargamu, namun tanamkanlah rasa takut kepada Alloh swt. pada diri mereka.” Diriwayatkan oleh Tabhrani  dalam As Shaghir dan Al Ausath dengan isnad Jayyid. [119]
Dengan pengenalan kepada Alloh, anak akan memiliki pengetahuan tentang Tuhannya sehingga memiliki rasa takut dan tunduk pada perintah-Nya. Salah satu fungsi menanamkan rasa Takut kepada Alloh adalah anak merasa selalu diawasi Alloh sehingga mereka akan terbiasa melaksanakan ibadah hanya karena Alloh swt.
Ketiga,  Ajarkanlah untuk mencintai Nabi saw. dan keluarga beliau
Mengimani dan mencinyai Nabi saw sangat penting dalam Islam, karena hal itu adalah salah satu pilar dari dua kalimat Syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim. Ajarkanlah pada anak-anak semenjak mereka belum mengenal idola duniawi dengan menghadiran sosok panutan dalam hidup yaitu Rasulullah saw,  sebagaimana disebutkan dalam QS Al Ahzab ayat 21 bahwa Rasulullah saw adalah suri tauladan bagi orang yang beriman. Alloh swt berfirman,” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Menanamkan kecintaan kepada Nabi saw bisa dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:
a)            Bergegas menjawab panggilan Nabi dan segera melaksanakan perintah-perintah beliau
b)            Mencintai apa yang dicintai Nabi
c)            Selalu menghafal hadits-hadits Nabi[120]
d)            Sering dibacakan kisah hidup dan perjuangan Nabi
e)            Menghadirkan ingatan tentang beliau dan meneladaninya disetiap kesempatan.
Keempat, mengajarkan al Quran kepada anak
Al quran memiliki pengaruh yang kuat terhadap yang mempelajarinya. Jiwanya akan bersih, tenang dan bercahaya. Jiwa yang bersih inilah yang memudahkan manusia untuk cenderung tunduk dan patuh pada perintah Alloh swt. Jiwa anak yang sudah disinari cahaya al quran akan mudah menerima nasihat dan pengajaran agama serta memiliki semagat dalam setiap melakukan ibadah. Karena itu sebelum anak mulai diperintah untukmengerjakan shalat, perlu kiranya jiwa mereka diisi dengan cahaya al Quran. Jiwa anak yang seperti iniilah yang akan mudah menerima palajaran dan senantiasa memiliki kecenderungan untuk giat melaksanakan ibadah.
  1. Mengajarkan tata cara Thaharah (bersuci)
Ketika akan mengajarkan tata cara shalat, orang tua wajib memulainya dengan mengajarkan tata cara thaharah dan wudhu kepada anak. hal ini semestiya diajarkan terlebih dahulu sehingga anak memahami bahwa sebelum shalat mereka wajib bersuci karena diantara syarat sah shalat adalah suci dari hadats (besar maupun kecil) dan suci dari najis.[121]
Thaharah ialah “kebersihan dan kesucian dari kotoran dan najis”[122], hukumnya adalah wajib atas seorang muslim, terutama ketika akan shalat sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,” Tidak diterima shalat yang dilakukan dengan tanpa bersuci.” (HR. Muslim 1/ 140 ).[123]
Oleh karena itu orang tua wajib mengajari anak tentang thaharah dan harus selalu diulang-ulang. Adapun diantara cara mengajarinya adalah seperti yang disebutkan al Ma’athi sebagai berikut:
a)      Mengajarkan agar anak selalu mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke kamar mandi. Ketika keluar mendahulukan kaki kanan lalu membaca.”Ghufranaka” (Semoga aku mandapatkan ampunan-Mu).
b)      Mengajari anak untuk mengucapkan basmalah dan ta’awudz dengan suara keras ketika hendak memasuki kamar mandi dan menyingkap pakaian ketika akan buang air besar.
c)      Mengajari anak agar membersihkan kotoran yang keluar dari kemaluan dan dubur. Rasulllah saw begitu berhati-hati dan senantiasa bersuci dari najis karena jika tidak mau bersuci dari najis akan mengundang adzab yang sangat pedih, khususnya ketika dalam kubur.
d)     Hendaklah seorang anak diberitahu untuk tidak bersuci dengan tangan kanannya agar tidak terkena najis secara langsung. Hafshah ra meriwayatkan bahwa Nabi saw menjadikan tangan kanannya untuk makan, minum, memakai pakaiannya, mengambil dan memberi. Adapun tangan kirinya untuk selain itu. (HR. Abu Dawud)
e)      Usahakan agar anak tidak berbicara sama sekali ketika sedang berada di dalam kamar mandi atau ketika buang air besar maupun kecil, baik untuk berdzikir atau selainnya; menjawab salam atau menjawab adzan, kecuali pembicaraan itu dibutuhan untuk suatu hal yang sangat penting, seperti mengarahkan orang buta yang ditakutkan celaka. Dan jika ia bersin ketika sedang berada di dalam kamar mandi atau buang air besar maupun kecil, ia boleh bertahmid dalam hatinya dan tidak melafalkan dengan lisannya. 
f)       Hendaklah anak belajar menghormati kiblat, ia tidak boleh buang air menghadap atau membelakanginya. Berdasarkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra yang meriwayatkan bahwa Nabi saw. Bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian duduk untuk membuang hajatnya, janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya. (HR. Muslim)
g)      Hendaklah anak belajar untuk mencuci tangannnya setelah bercebok dengan air dan sabun atau sejenisnya untuk menghilangkan bau yang tidak sedap.[124] 
h)      Mamperkenalkan anak pada benda-benda yang dapat dipergunakan untuk bersuci dan benda-benda najis.
  1. Mengajarkan tata cara wudhu dan keutamaannya
Wudhu ialah “menggunakan air yang suci atas anggota tubuh tertentu dan hukumnya adalah wajib bagi seorang muslim yang hendak shalat.”[125]hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidak diterima shalat seorang di antara kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu.”( HR Al Bukhari no 1/135 dan Muslim no 1/225 dari sahabat Abu Hurairah)  [126]
Sejak dini seharusnya orang tua benar-benar serius mengajarkan wudhu sehingga ketika akan melaksanakan shalat, anak terbiasa untuk berwudhu terlebih dahulu. Memang sangat sering dijumpai di masyarakat bahwasannya orang tua membiarkan anak melakukan shalat tanpa berwudhu yang apabila kebiasaan semacam ini dibiarkan tentu tidak akan baik. Tanamkan keyakinan pada anak bahwa tanpa berwudhu shalatnya tidak sah. Tanamkan kecintaan anak terhadap wudhu sejak dini, dan hal ini bisa di lakukan dengan mengajarkan tentang keutamaan-keutamaan wudhu.
Diantara cara mengajarkan wudhu kepada anak adalah sebagai berikut:
a)      Bawalah anak-anak ke tempat wudhu
b)      Singsingkan lengan baju anak
c)      Kemudian tuangkan air kepada anggota wudhu mereka satu demi satu dibarengi dengan penjelasan tentang tata cara wudhu.
d)     Lalu ulangi lagi dengan membaca basmallah
e)      Kemudaian cuci kedua telapak tangan
f)       Lalu berkumur dan menjelaskan tata caranya dihadapan anak, lalu mempraktikanya dengan benar.
g)      Setelah itu, lanjutkan dengan memasukkan aor ke dalam hidung. Lalu mengeluarkan kembali
h)      Setelah itu membasuh wajah disertai penjelasan batasan wajah yang harus dibasuh kepada anak-anak; yaitu antara dua cuping telinga dan dari bawah antara janggut sampai tempat tumbuhnya rambut di kepala juga harus diperhatikan bahwa air sudah benar-benar sampai kepadanya
i)        Kemudian membasuh kedua tangan sampai siku-siku dengan memulainya dari yang sebelah kanan dan berakhir pada yang kiri sebanyak tiga kali. Untuk lebih berhati-hati hendaknya basuhan air sampai mengenai bagian atas siku.
j)        Lalu mengusap rambut kepala
k)      Dilanjutkan dengan mengusap telinga
l)        Setelah itu membasuh kedua kai dimulai dari yang sebela kanan dan diakhiri dengan yang kiri disertai keyakinan bahwa air memang benar-benar sudah mengenai semua bagian kaki sampai mata kaki.
m)    Kemudian ajarkan kepada mereka doa sesudah berwudhu.
Semakin sering dan konsisten dia ajarkan, anak akan semakin mengenal dan mencintai wudhu, karena didalamnya ada ketenangan, kedamaian,  kesejukan dan kebersihan. Ajarkan kepada mereka tentang perkara yang membatalkan wudhu, diantaranya adalah keluar sesuatu dari dubur dan kemaluan. Jika mereka merasa wudhunya telah batal, maka ia harus mengulanginya sebelum shalat.
Kecintaan terhadap wudhu harus ditanamkan sejak dini seiring dengan pelajaran ibadah yang lain. Sangat banyak sekali keutamaan dari wudhu yang perlu dipahami oleh orang tua yang dapat dijadikan motivasi untuk bersungguh-sungguh mengajarkan wudhu kepada anak. Orang tua juga perlu memberi pemahaman akan keutamaan wudhu dengan bahasa sederhana yang dapat dipahami anak. Ma’athi menyebutkan keutamaan wudhu diantaranya:
Wudhu adalah kesucian. wudhu adalah mensucikan diri ketika akan menghadap Alloh swt. dalam shalat. Kesucian badan ini akan mengantarkan kepada kesucian hati. Rasulullah saw. pun berdoa agar termasuk orang yang suci melalui perantara wudhu sebagaimana ketika selesai berwudhu beliau selalu berdoa,” Ya Alloh, jadikanlah aku termasuk orang yang bertaubat dan jadikan pula aku termasuk orang yang bersuci.” Orang tua yangmencintai kebersihan dan kesucian tidak akan meremehkan wudhu sehingga benar-benar serius mengajarkan wudhu sejak dini dan senantiasa memotivasi anaknya agar selalu berdoa supaya termasuk orang yang bersuci sebagaimana Rasul memberi contoh tentang hal itu.
Wudhu dapat menggunggurkan dosa dari badan. Dengan berwudhu, dosa-dosa akan keluar dari seluruh anggota badan, sebagaimana diriwayatkan Muslim bahwa Utsman bin Affan ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Barang siapa yang berwudhu dengan baik, niscaya dosa-dosanya akan keluar dari badannya, sampai-sampai dari bawah kuku-kukunya.”(HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)[127]
Wudhu membersihkan diri dari dosa. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu hurairah ra bahwa Rasulllah saw bersabda, “Jika seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, lalu ia membasuh wajahnya niscaya setiap dosa yang dilakukan kedua matanya akan keluar dari wajahnya bersama tetesan air, atau bersama tetesan terakhir dari air. Jika ia membasuh tangannya, niscaya setiap kesalahan yang diperbuat kedua tangannya akan keluar dari keduanya bersama air, atau bersama tetesan terakhir dari air. Jika ia membasuh kedua kakinya, niscaya semua dosa yang dikerjakan kedua kakinya akan keluar dari keduanya bersama air, atau bersama tetesan terakhir dari air, sehingga iapun selesai dari wudhu dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Muslim 1/215 )[128]
Wudhu menjadi penyebab dihapuskannya dosa. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Maukah kalian aku beritahu tentang amalan-amalan yang menyebabkan Alloh menghapus dosa-dosa kalian dan mengangkat derajat-derajat kalian?”  Para sahabat menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “Menyempurnakan dan membaguskan wudhu pada situasi yang berat dan memperbanyak langkah kaki menuju masjid serta duduk menungu shalat di masjid, itu semua merupakan ribath.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah 1/219 )[129]
Wudhu menjadi penyebab diampuninya dosa yang telah lalu. Abu Hurairah ra meriwayatkan, “Saya melihat Rasulullah saw berwudhu seperti wudhu saya ini, lalu beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti ini, pastilah dosa-dosanya yang telah lalu diampuni. Adapun shalat dan langkah kakinya ke masjid dianggap sebagai amalan sunnah.” (HR. Muslim)
Bekas wudhu adalah tanda pengenal umat Muhammad saw. Wudhu menjadi secercah cahaya yang menjadi tanda agar dikenali Rasulullah ketika melewati telaganya pada hari kiamat kelak. Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa kening orang mukmin akan bercahaya karena bekas wudhunya.  Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesunguhnya pada hari kiamat besuk, umatku akan dipangil dalam keadaan kening-kening mereka bercahaya karena bekas wudhu. Oleh sebab itu siapa saja diatara kalian yang mampu memanjakan (malamakan) cahayanya, hendaklah ia lakukan.” (HR. Muslim 1/217 )[130]
Beri pemahaman pula kepada mereka tentang tayamum, yaitu ketika seseorang tidak mendapati air ketika masuk waktu shalat, dalam perjalanan atau karena ‘uzur (misalnya sakit) maka boleh bersuci dengan menggunakan debu atau tanah yang suci sebagai pengganti wudhu. Ajarkan kepadanya tentang tata cara tayammum yang benar sesuai dengan petunjuk Nabi saw.
  1. Mengajarkan Adzan dan memberitahu keutamaannya
Sebagai permulaan, anak diakenalkan dengan adzan dan sebab disyariatkannya serta keutamaannya di sisi Alloh swt. Seorang anak harus dikenakan bahwa disetiap shalat ada adzan yang dikumandangkan. Dia juga harus dipahamkan bahwa wajib mendatangi panggilan itu bagi laki-laki, sehingga sejak dini seorang anak memiliki ketertarikan dan ketundukan pada panggilan shalat.
Orang tua harus menerangkan bahwa shalat wajib ada lima kali, sehingga dalam sehari dikumandangkan adzan sebannyak lima kali. Adzan merupakan pertanda masuk waktu shalat sehingga ketika ada adzan berarti dia harus segera mendatanginya dan melaksanakan shalat. Terangkn pul bahwa adzan berkaitan dengan panggilan shalat berjamaah dan bagi laki-laki diwajibkan memenuhinya dengan ikut berjamaah di masjid.
Orang tua wajib mengajarinya tentang lafazh - lafazh adzan dan memperdengarkannya pada anak. Anak juga harus diajarkan bagaimana menjawab panggilan adzan, sehingga ketika dikumandangkan adzan ia akan sungguh-sungguh mendengarkan dan menjawab panggilan tersebut.
Menurut Ma’athi, lafazh adzan ibarat nasyid yang disenangi bagi anak kecil dan ia senang pula menjawabnya. Hal itu juga akan mendorong mereka untuk mengumandangkan adzan untuk shalat. Alangkah bahagianya ketika sejak kecil anak sudah berani dan mau mengumandangkan adzan dengan baik.
Selain mengajarkan lafazh-lafazh adzan, jelaskan pula tentang berbagai keutamaan seputar adzan dan adab-adabnya.
a)      Hal yang sangat utama
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Seandainya manusia mengetahui pahala yang ada pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mungkin mendapatkannya kecuali dengan mengadakan undian niscaya mereka akan mengadakan undian."[131]
b)      Menjawab panggilan adzan
Usahakan agar anak senantiasa menjawab adzan ketika mendengarnya, karena hal itu memiliki keutamaan yang sangat besar. Terangkan bahwa dengan menjawab adzan, kita berhak utuk mendapatkan syafaat dari Nabi saw pada hari kiamat kelak dan juga dosa-dosanya akan diampuni.[132]
c)      Berdoa antara adzan dan iqomah
 Beritahukan kepada anak bahwa doa yang dilantunkan diantara adzan dan iqomah akan dikabulkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw..”Doa yang dilantunkan pada waktu adzan dan iqomah tidak akan tertolak. (HR. Muslim)
d)     Adzan dapat mengusir syetan
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika Adzan untuk shalat telah dikumandangkan, setan akan lari mengingkir dan ia akan mengeluarkan kentut sampai tidak bisa mendengar suara adzan. Jika adzan telah selesai, ia akan kembali (untuk menggoda) sampai jika iqomah shalat telah dikumandangkan, ia akan lari menjauh. Jika iqomah telah selesai, ia pun kembali untuk membisikkan antara seseorang dengan dirinya sendiri. Ia berkata,’Ingatlah ini dan ini,’ terhadap hal-hal yang sebelumnya tidak ia ingat, sehingga seorang lelaki tidak menyadari sudah berapa rakaat ia shalat.” (Muttafaq ‘alaih)[133]
e)      Keutamaan para muadzin
Para muadzin adalah orang-orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat besuk. Abdullah bin Abdurrahman bin Sha’ash’ah meriwayatkan bahwa Abu Sa’id al Khudri ra berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku melihatmu menyenangi kambing dan tempat-tempat penggembalaan terpencil. Oleh karena itu, jika kamu sedang menunggui kambing-kiambingmu atau berada di tempat penggembalaan, kumandangkanlah adzan untuk shalat. Keraskan suaramu, karena setiap jin dan manusia atau makhluk lain yang mendengar kumandang adzanmu, ia pasti akan bersaksi untuk adzanmu tersebut pada hari kiamat. Laksanakan nasiharku ini karena aku mendengarnya langsung dari Rasulullah saw.” (HR. Bukhori)[134]
Dari Muawiyah ra , dia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Orang yang paling panjang lehernya pada Hari Kiamat adalah para muadzin." (HR Muslim)[135]
  1. Mengajarkan tata cara dan keutamaan shalat
Disinilah inti dari pengajaran shalat, yaitu orang tua mengajarkan tata cara melaksanakan shalat. Pengajaran tata cara shalat ini melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan praktis-aplikatif dan pendekatan teoritik. Pendekatan praktis-aplikatif dilakukan orang tua dengan memberi contoh secara langsung sehingga anak melihat sendiri tata cara shalat. Hal ini akan mudah dilakukan jika orang tua sering mengajak anak pergi ke masjid dan melaksanakan shalat berjamaah. Melalui pendekatan ini anak akan lebih mudah mempraktekan tata cara shalat ketika mereka belajar teori shalat.
Pendekatan teoritik yaitu orang tua memberi pelajaran shalat secara teori sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. Orang tua harus benar-benar menguasai materi tentang tata cara shalat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam mengajari anak. Apabila kedua pendekatan ini dipergunakan dengan baik maka pengajaran akan efektif dan efisien.
Selain memberi pengajaran tentang tata cara shalat, orang tua juga perlu memberi pemahaman tentang keutamaan shalat dan ancaman bagi orang yang meningggalkannya dengan sengaja. Dalam hal ini orang tua harus sering berdiskusi dengan anak, membiarkan mereka bertanya dan menjawab pertanyaan dengan benar dan tepat.
  1. Melatih anak melaksanakan shalat malam.
Anak-anak para sahabat tidak merasa cukup puas jika hanya melaksanakan kewajiban shalat lima waktu saja, maka  mereka membiasakan melaksanakan shalat-shalat sunah, sebagaimana yang pernah dilakukan Abdullah bin Abbas ra ketika ia masih kanak-kanak.
Pelaksanaan shalat malam bagi anak akan menambah kekhusyukan dan kejernihan serta ketenangan batin mereka. Shalat malam dapat sebagai mediasi yang sangat kuat antara anak dengan Alloh karena suasana yang hening dan sepi. Anak dapat bercakap dalam samudra kebeningan jiwa.
  1. Membiasakan anak melaksanakan shalat istikharah
Sahabat Anas bin Malik ra mengikuti Rasulullah saw mulai sejak kecil da dia banyak melayani kebutuhan beliau. Pada suatu ketika Rasulullah saw bersabda kepada Anas, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sunni, “Hai Anas jika kamu menginginkan sesuatu (tetapi kamu merasa bingung untuk menentukannya) maka shalatlah istikharah, minta petunjuk kepada Alloh swt sebanyak tujuh kali, keudian lihatlah (condongkan) kepada sesuatu yang lebih cenderung menurut hatimu karena kebaikan terdapat dalam sesuatu yang kamu cenderungi.[136]
Membiasakan shalat istikharah juga akan melatih sikap tawakal bagi anak. Setiap perbuatan hasilnya selalu diserahkan kepada Alloh karena merasa bahwa hanya Alloh yang memberi kekuatan untuk berbuat. Anak juga tidak akan merasa bingung ketika dalam pilihan sulit, karena istikharah adalah jalannya. Dan jika menemui kegagalan dalam usaha ia tidak akan mengalami depresi karena yakin semua itu adalah atas kehendak Alloh dan pasti ada hikmah dibalik semua itu.
  1. Membawa dan mengikat anak dengan masjid
Masjid adalah tempat terbaik dan potensial untuk melahirkan generasi yang agamis, sebuah generasi yang mengabdikan dirinya hanya kepada Alloh, menjunjung nilai-nilai kebenaran dan selalu berusaha menikuti petunjuk Rasulullah saw.
Kehadiran anak kecil ikut berjamaah di masjid bersama orang-orang dewasa secara tidak langsung mengajarkan mereka tata cara shalat dan jumlah rakaat shalat.lima waktu.
Mengikat anak dengan masjid adalah sebuah usaha untuk mencegah mereka dari perbuatan yang  tidak baik di masyarakat, hal ini karena tidak ada perbuatan buruk yang dilakukan di masjid. Mengikat anak di masjid juga merupakn satu usaha agar anak di akhirat kelak mendapat perlindungan di padang masyhar karena disebutkan dalam sebuah hadits bahwa diantara golongan yang mendapat naungan dari terik matahari di padang masyhar adalah pemuda yang taat kepada Alloh dan yang memiliki keterikatan batin dengan masjid. 

D.  Pemberian Reward dan Punishment dalam Pendidikan Shalat
Dalam al Quran banyak ayat yang mengisyaratkan tentang pengharapan atau ganjaran dan hukuman, sanksi atau ancaman sebagai metode  pendidikan. Dalam psikologi terdapat metode reinforcement (peneguhan atau penguatan) yang berarti “setiap konsekuensi atau dampak tingkah laku yang memperkuat tingkah laku tertentu.” [137]
Reinforcement diklasifikasikan ke dalam dua macam:
1.      Peneguhan (reinforcement) positif, yaitu sesuatu rangsangan (stimulus) yang memperkuat atau mendorong suatu respon (tingkah laku tertentu). Peneguhan positif ini berbentuk reward (ganjaran, hadiah, atau imbalan), baik secara verbal (kata-kata atau ucapan pujian), maupun secara non verbal (isyarat, senyuman, hadiah berupa benda-benda, dan makanan)
2.      Peneguhan (reinforcenment) negatif, yaitu suatu rangsangan (stimulus) yang mendorong seseorang untuk menghindari respon tertentu yang konseluensi atau dampaknya tidak memuaskan (menyakitkan atau tidak menyenangkan). Peneguhan negatif ini bentuknya hukuman atau pengalaman yang tidak menyenangkan atau juga berupa ancaman.
Seperti disebutkan di depan bahwa anak usia 6-7 tahun memiliki dunia dan karakteristik sebagai anak dalam masa latens. Karena itu pelaksanaan shalat bagi mereka kebanyakan adalah hasil meniru dari kedua orang tua. Sementara untuk usia 8-12 tahun pelaksanaan shalat bisa berupa kesadaran akan pentingnya shalat. Ketika berusia 6 tahun anak semetinya sudah diberi pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti kewajiban melaksanakannya, rukun, wajib dan sunnahnya, bentuk pelaksanaan dan sebagainya. Di usia ini pun seharusnya orang tua selalu memberi dorongan (motivasi) serta memberi pemahaman tentang ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya, dan sebagainya. Sementara itu di usia 8 tahun keatas, anak seharusnya sudah melaksanakan kewajiban shalat ini, baik dalam kesadaran sendiri ataupun karena perintah orang tua. Tetapi mengingat masa ini merupakan masa labil dalam melaksanakan kegiatan rutin (seperti shalat) maka perlu pemahaman orang tua terkait memerintah anak melaksanakannya.
Perlu dipahami bahwa orang tua sangat perlu memiliki dan memahami berbagai metode/cara dalam perintah shalat bagi anak. Najib Khalid al Amir menerangkan bahwa kekerasan dan kesalahan dalam mendidik dapat berakibat tidak baik.
Dalam etnik keluarga tertentu serng ditemukan sikap dan perilaku orang tua yang memarahi, menghardik , mencela bahkan memberi hukuman fisik sekehendak hati kepada anak apabila melakuka kesalahan. Padahal, penggunaan cara-cara seperti diatas secara psikologis mendatangkan efek negatif bagi perkembangan jiwa anak. Efek negatif dari celaan misalnya, dapat melahirkan kedengkian dan dendam bagi anak yang dicela dan melahirkan sikap takabur bagi orang tua yang melakukan celaan.[138]

Banyak dijumpai di masyarakat kesalahan dalam mendidik anak terutama shalat, baik dalam memberi perintah, memberi motivasi sampai memberi hukuman yang tidak tepat. Karena itu orang tua perlu memahami pentingnya penggunaan metode mengajar bagi anak. Penggunaan metode yang tepat akan memberi dampak positif, tidak hanya pada hasil pendidikan yakni berupa pelaksanaan shalat, tetapi juga dalam perkembangan psikologisnya. Untuk itu perlu dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan metode Reward dan Punishment
Dalam pengajaran shalat, pemberian hadiah sebagai motivasi serta hukuman (bila diperlukan) mempunyai pengaruh dan penting diberikan. Dr. Adnan Ali Ridha An Nahwi mengatakan bahwa reward dan punishment keduanya merupakan perkara yang telah ditetapkan dalam Islam, dalam kehidupan maupun dalam dunia pendidikan. Tetapi masing-masing memiliki aturan dan kaidah-kaidah tertentu. [139]
Reward (hadiah) merupakan efek yang dilakukan seorang orang tua terhadap anak didiknya, sehingga perilaku sang anak menjadi positif, jiwa dan fisik merasa nyaman, terdorong untuk mengulangi perilaku positifnya kembali dan ingin terus melakukannya. Reward juga bisa sebagai motivasi yaitu menumbuhkan kesadaran untuk maju, untuk menentukan niat, rencana, serta tujuan yang akan dicapai.
Menurut Ma’athi, salah satu manfaat terpenting dari pemberian hadiah dan penghargaan kepada anak adalah lahirnya keadaan emosianal yang tenang dalam diri anak.[140] Kondisi yang seperti ini akan membawa ketentraman dalam keadaan yang penuh keridhaan, kenikmatan dan kegembiraan, sehingga menyebabkan penguatan faktor pendorong yang bekerja untuk menjadikannya disiplin dan rajin dalam menetapi perilaku serta mengarahkannya dalam jangka waktu yang lama. Kondisi seperti ini akan sangat berpengaruh dalam kesuksesan dalam pelaksanaan shalat anak.
Lebih dari itu, menurut para penganut behavioristik, reward merupakan pendorong utama dalam proses belajar mengajar. Reward dapat berdampak positif bagi anak, yaitu (1) menimbulkan respon poeitif; (2) menciptakan kebiasaan yang relatif kokoh di dalam dirinya; (3) menimbulkan perasaan senang dalam melakukan pekerjaan yang mendapat ombalan; (4) menimbulkan antusiasme, semangat untuk terus melakukan pekerjaan; dan (5) semakin percaya diri.[141]
 Reward ini bisa berupa pemberian penghargaan (penghormatan), pujian dan juga bisa berupa hadiah.
Pemberian penghargaan (ta’ziz) ini diberikan karena anak telah melakukan ibadah shalat walaupun belum sepenuhnya keinginan mereka sendiri. Pemberian penghargaan ini secara psikologis dapat memberi efek positif berupa kebanggaan, kepercayaan diri dan terlebih keinginan untuk kembali melakukan shalat.
Pemberian penghargaan dapat dilakukan melalui dua teknik, yaitu verbal dan non verbal. Penghargaan verbal bisa berupa pujian dan sanjungan akan kemauannya melakukan shalat. Sedangkan non verbal bisa berupa senyuman yang tulus, pelukan yang hangat, maupun ciuman dari orang tua.
Pujian yaitu keluarnya kata-kata baik yang merupakan respon dari kemauan anak melakukan shalat. Kata-kata yang baik akan berdampak positif terhadap psikologis anak karena dia akan merasa dihargai dan dihormati sehingga yang dilakukannya tidak sia-sia. Walaupun pujian dan sanjungan merupakan kebanggaan anak terhadap usahanya tetapi sejak dini harus ditegaskan bahwa setiap perbuatan baik, termasuk ibadah hanya wajib diperuntukkan karena Alloh Ta’ala, bukan untuk mengharap pujian dan sanjungan dari makhluk. Dalam  Sukses Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, terdapat beberapa tips dalam memberikan pujian, yaitu : (1) Pujian yang diberikan harus jelas dan sesuai dengan tingkah laku dan kegiatan yang dilakukannya, (2) hargai dan nilailah keberhasilan yang diraihnya, (3) muliakan prestasi anak atas keseriusan dan kemampuan yang dimilikinya, (4) mintalah dari orang lain untuk mengungkapkan problematika yang menghalangi kesuksesannya dan kemudian jelaskan jalan keluarnya, dan (5) buatlah anak selalu konsentrasi terhadap aktivitas dan prestasi yang diraihnya.[142]
Seorang anak, sebelum dia dewasa,  yaitu hingga usia sepuluh tahuan atau tiga belas tahun mereka membutuhkan pelukan ibunya disaat dia akan melakukan perbuatan yang membutuhkan keseriusan. Pelukan seorang ibu atau orang yang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menggambarkan hangatnya kasih sayang. Mungkin pada usia setelahnya, sikap tersebut bisa dilanjutkan dengan kecupan pada pipi, kata-kata yang baik dan doa yang mengandung kebaikan.
Perlakuan semacam ini akan memberikan motivasi yang kuat kepada anak untuk bahagia, aktif dan kreatif. Jika anak telah bahagia, dia akan sengan melakukan kebaikan dan hal-hal yang diperintah orang tua. Hal ni pun telah dicontohkan Rasulullah saw terhadap anak-anak kecil, diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa suatu saat beliau saw pergi bersama para sahabatnya ke ujung Madinah hanya untuk mencium anak-anak keil disana, yang ada di dalam rumah-rumah di kota tersebut, kemudian setelah itu beliau kembali kepada pekerjaan dan jihadnya. [143]
Semantara itu hadiah dikategorikan sebagai pujian atas sebuah kesuksesan atau perilaku yang baik, meskipun hanya sekedar simbolik. Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian hadian yaitu, hendaklah hadiah yang akan diberikan itu dikaitkan dengan perilaku baik atau kesuksesan, hadiah diberikan sesuai dengan usia dan kebutuhan anak, hendaknya berupa barang yang sederhana dan awet (kecuali berupa makanan atau minuman), hendaknya diberikan pada momen-momen tertentu agar tidak menjadi hal yang biasa karena sering dan mudah dalam mendapatkannya sehingga tidak lagi berpengaruh.  Hadiah merupakan sunnah dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi saw dari Abu Hurairah ra, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah agar saling mencintai.”[144]
Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua  hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:[145]
a)      Pendidik tidak terburu-buru.
b)      Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
c)      Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
d)     Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
e)      Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
f)       Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
g)      Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
h)      Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya
Rasulullah Saw menjelaskan tahapan bagi orang tua untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan dengan:[146]
a)      Pengarahan
b)      Ramah tamah
c)      Memberikan isyarat
d)     Kecaman
e)      Memutuskan hubungan (memboikotnya)
f)       Memukul
g)      Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa orang tua tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika orang tua menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika orang tua tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.
Islam memang membolehkan orang tua untuk memberi hukuman kepada anak, tetapi tidak perlu menghukum anak kecuali sudah benar-benar terpaksa. Hukuman pun harus disesuaikan dengan keadaan anak dan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan. Ibnu Khaldun menetapkan bahwa kekerasan yang diberlakukan terhadap anak justru akan membiasakannya bersifat penakut dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Dia berkata, “Jika orang yang mendidik anak suka bersikap keras dan memaksa, maka sikap keras dan paksaan ini akan menekan jiwanya, sehingga menghilangkan semangatnya, mendorongnya bersikap malas, suka berdusta dan berkilah, karena dia takut tamparan tangan yang dijatuhkan kepadanya. Pola kekerasan ini juga mengajarinya untuk melakukan tipu muslihat dan mencari-cari alasan, yang akhirnya hal ini menjadi kebiasaannya dan merusak makna-makna kemanusiaan dalam dirinya.” [147]
Rasulullah saw membolehkan orang tua untuk memukul anak jika telah berusia sepuluh tahun dan ia meninggalkan shalat. Memukul di sini bukan berarti memberi hukuman fisik dengan kekerasan atas kemauan orang tua. Memang hukuman fisik diperbolehkan tetapi itu adalah jalan terakhir apabilan hukuman ringan sudah tidak berhasil. Beberapa pendapat dibawah ini memberikan gambaran tentang efek buruk dari hukuman berbentuk memukul secara berlebihan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:[148] (1) Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab. (2) Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh pendidik. (3) Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:[149] (1) Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri. (2)Anak akan selalu merasa sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum). (3) Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:[150]
a)      Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi anak secara keseluruhan.
b)      Guru dan anak akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan membekas pada keduanya secara bersamaan.
c)      Adanya bekas yang merugikan pada diri anak yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
d)     Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi anak yang dihukum
e)      Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga dan penyidik
f)       Terbuangnya waktu anak untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
g)      Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar anak dan guru.
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu:  (1) Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan (2) Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun (3) Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Karena itu tidak diperbolehkan menghukum anak dengan berlebihan terutama memukul karena kesewenang-wenangan orang tua. Rasulullah Saw harus dicontoh oleh orang tua dalam bersikap kepada anak,  yaitu tidak terburu-buru memberi pukulan dan sedapat mungkin menghindari pukulan.
Pemberian hukuman terhadap keteledoran anak dalam melakukan shalat memang diperlukan selama hal itu sesuai dengan keadaan dan tidak bertentangan dengan sifat agama Islam yang memberikan kemudahan kepada umatnya. Berikut ini pendapat tentang sisi positif dari pemberian hukuman yang efektif.
Armai Arief mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain: (1) Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid. (2) Anak tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.(3) Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu: 1)      Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
2)      Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
Perlu diingat bahwa pelaksanaan shalat bagi anak belum sebuah kewajiban tetapi lebih kepada pembiasaan sehingga jangan sampai meniggalkan prinsip kemudahan dalam pendidikan dan pelaksanaan shalat.
Untuk meningkatkan kegemaran dan kesungguhan anak dalam melakukan shalat, maka orang tua juga perlu untuk memberikan motivasi. Motivasi yang bersifat materi mauupun maknawi sangatlah baik. Ia juga merupakan salah satu unsur penting diantara unsur-unsur pendidikan Islam yang sangat dibutuhkan. Alangkah banyaknya penyebutan tentang motivasi dan ancaman dalam al quran, khususnya pada setiap dosa besar, selalu diiringi dengan ancaman neraka agar kita meninggalkannya dan kabar gembira dengan surga bagi siapa yang menjauhi dosa besar. Dalam upaya menumbuhkan minat anak untuk gemar shalat, maka metode pemberian motivasi ini sangat penting, sebagaimana yang dikatakan Ma’athi:
Kita harus memotivasi anak-anak untuk shalat, hal itu bisa dilakukan dengan menjelaskan keutamaan shalat dan bahwa orang yang shalat akan menjadi penduduk surga.
Kita juga harus memberikan gambaran-gambaran tentang surga beserta istana, sungai, pepohonan, buah-buahan, daging burung dan madu yang disaring yang ada di dalamnya.[151]

Namun jangan sampai memberikan motivasi secara berlebihan. Motivasi itu diharapkan bisa memberi peran yang besar terhadap jiwa anak dan juga terhadap kemajuan gerakannya yang positif dan membangun dalam menyingkap potensi-potensi dan kecondongan-kecondongan yang dimilikinya.
Di sinilah perlunya orang tua untuk memberi pemahaman tentang keutamaan shalat dan keutamaan menjalankannya, ancaman bagi yang meninggalkannya sebagai upaya untuk memotivasi anak agar selalu diingat dalam hidupnya kelak.
Ingatlah bahwa shalat adalah nafas kehidupan seorang muslim, dimana wajib selalu dilaksanakan sampai nafas badan berhenti. Seorang muslim yang sengaja meninggalkan shalat sesungguhnya ia ibarat mayat berjalan karena nafas Islam telah hilang dari dalam dirinya.

BAB VI
KESIMPULAN

1.      Shalat secara bahasa berarti doa, menurut syara’ adalah suatu amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, yang sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Hukum shalat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah berusia baligh dan sehat akal. Barangsiapa yang dengan sengaja meninggalkannya, maka ia adalah kafir. Bagi anak (sebelum baligh) shalat adalah latihan dan pembiasaan, bukan pelaksanaan kewajiban. Walaupun begitu, orang tua wajib memerintahkan anak untuk menjalankan shalat ketika mereka mulai mampu membedakan kanan dan kiri. Shalat memiliki banyak keutamaan diantaranya: Shalat menjadi pembeda antara yang mukmin dan kafir, orang yang shalat akan menjadi penduduk surga, shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, shalat dapat menghapuskan kesalahan-kesalahan, shalat adalah tiang agama, shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah saw., shalat adalah amalan yang dihisab pertama kali, dan shalat adalah ibadah yang istimewa. Alloh mengancam orang yang malas untuk mengerjakan shalat dengan ancaman yang keras, diantaranya: Menjadi Kafir, berdosa besar, menjadi orang yang munafiq, dapat menjadi orang yang berbuat zhalim di dunia, mati dalam keadaan su’ul khatimah, mendapat azab kubur,menjadi penghuni neraka saqar, tenggelam ke jurang hawa nafsu, mendapat musibah dan bencana, dapat dikuasai setan, berkhianat terhadap amanat, dan mendatangkan azab Alloh swt.. di dunia dan di akhirat.
2.      Orang tua memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap pendidikan keluarga karena mereka diperintah untuk membawa keluarganya terbebas dari siksa api neraka. Tanggung jawab tersebut meliputi tanggung jawab pendidikan iman, moral, jasmani, rasio, kejiwaan, sosial dan sosial. Peran orang tua dalam pendidikan anak adalah sebagai madrasatul awal, pembiming langsung, figur keteladanan dan penyedia fasilitas belajar.dalam pedidikan keluarga, orang tua harus memberi kenyamanan dan kemudahan kepada anak dengan memberi pola asuh yang terbaik dan interaksi yang komunikatif.
3.      Secara umum anak usia 6-12 tahun digolongkan sebagai masa sekolah dan masa intelektual, yaitu masa untuk anak memiliki keingintahuan yang besar terhadap suatu hal, mulai tumbuh rasa sosial dalam dirinya, dan telah siap untuk menerima pelajaran dalam hidup. Usia ini juga digolongkan dalam fase tamyis, yaitu dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, dimana tugas perkembangan keagamaannya adalah perubahan persepsi kongkrit menuju pada persepsi yang abstrak, misanya persepsi tentang ide ketuhanan, alam akhirat, dan sebagainya dan pengembangan normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Keberagamaan anak ditandai dengan ciri-ciri: Sikap keberagamaan anak masih bersifat reseptif namun sudah disertai dengan pengertian, pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman kepada indikator-indikator alam semesta sebagai manifestasi keagungan-Nya, dan penghayaran secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
4.      Anak mulai diperintah untuk menjalankan shalat ketika mereka mulai mampu membedakan tangan kanan dan kiri dengan cara memperkenalkan dan mengajak mereka dalam shalat berjamaah. Kemudian ketika berusia 7 tahun, mereka harus diperintah untuk tertib melaksanakan shalat dan boleh di pukul ketika mereka berusia 10 tahun dan sengaja meninggalkan shalat. Langkah pertama untuk mengawali pendidikan shalat adalah persiapan dari orang tua, diantaranya: Siap memberikan keteladanan, siap mengajarkan shalat dengan benar, tidak membiarkan kesalahan, melatih dengan berulang-ulang, menciptakan suasana yang nyaman dan aman, tidak memaksa, tidak membanding-bandingkan, mendirikan shalat fardu secara berjama’ah, dan menyediakan peralatan shalat untuk anak. Tahapan dalam mendidik dan menanamkan kegemaran shalat adalah: Mengajarkan keimanan, mengajarkan tata cara Thaharah (bersuci), mengajarkan tata cara wudhu dan keutamaannya, mengajarkan adzan dan memberitahu keutamaannya, mengajarkan tata cara dan keutamaan shalat, melatih anak melaksanakan shalat malam, membiasakan anak melaksanakan shalat istikharah, dan membawa dan mengikat anak dengan masjid. Dalam pendidikan shalat ada metode reward-punishment sebagai bagian dari reinforcement (peneguhan dan penguatan). Reward ini bisa berupa pemberian penghargaan (penghormatan), pujian dan juga bisa berupa hadiah. Punishment diberikan mulai yang ringan dengan memperhatikan kesalahan dan kesiapan anak dalam menerimanya.

DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem, Tamparan-Tamparan Super Pedas Bagi yang Malas ShalatJogjakarta: Diva Press, 2011.

al ‘Akk, Khalid bin Abdurrahman, Tarbiyah al Abna’ wa al Banat fi Dhau’ al Quran wa al Sunnah (Cara Islam Mendidik Anak) terj. Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta: Ad Dawa’, 2006.

al Albani, Muhammad Nashiruddin, Rahasia sifat Shalat Nabi, Riyadh:Dar al Ma’arif,1996.

--------, Irwa’ul Ghalil, Beirut: Maktab Islami, 1405 H.

Al Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhori, Beirut: Darul Kutb, 2007.

Al Qusyairi, Abul Hasan al Hajaj, Shahih Muslim, Kairo: Darul Hadits, 1997.

Al-Sijistaniy, Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 2007.

Amin, Samsul Munir, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami, Jakarta : Amzah, 2007.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan, Jakarta: Rineke Cipta, 1988.

At Tirmidzi, Muhammad bin Isa, sunan at Tirmidzi, Beirut: Darul Kutb, 2007.

Azwar, Saifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Bahresi, Hussein, Al Jami’ush Shahih Bukhori-Muslim, Surabaya: Karya Utama, t.t.

Bahtiar, Deni Sutan, Mengapa Shalatmu Tak Mampu Menjauhkanmu Dari Kekejian dan Kemungkaran?, Jogjakarta: Gara Ilmu, 2009.

Baryaghisy, Muhammad Hasan, Adab al Athfaal Ahdaafuh wa Simaatuh (Wahai Ummi Selamatkan Anakmu), terj. Slamet Riyadi Sami, Jakarta : Arina, 2005.

Candra, “Cara Mengajarkan Shalat Pada Anak” dalam http://ustadchandra.wordpress.com/, diakses 1 Juni 2011

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang : Karya Toha Putra, 2002.

Departemen Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Pedoman Penyusunan Skripsi, : Departemen Agama, 2010.

Dinata, Arda, “Tahapan - Tahapan Dalam Mendidik Anak” dalam http://hwaiting.dagdigdug.com/category/tarbiyatul-aulad/htm, diakses 7 April 2011

Djamarah, Syaiful Bahri, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
el Moekry, Mukhotim, Membina anak beraqidah kokoh, Jakarta: Wahyu press, 2004.

Faridh, Miftah, Rumahku Surgaku:Romantika dan Solusi Rumah Tangga, Jakarta: Gema Insani, 2005.

Hadi, Sutrisno, Metode Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1999.

Hafid, Mohammad Nur Abdul, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, Yogyakarta: Darussalam, 2004.

Huda, Miftahul, Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Islam, Nisa i, “Hukuman dalam Pendidikan Islam” dalam http://insansalsabila.wordpress.com, diakses 01 Juni 2011

Kartono, Kartini, Psikologi anak, Bandung : Mandar Maju, 2007.

Kazhim, Muhammad Nabil, Sukses Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, Solo: Pustaka Arafah, 2011.

Labib MZ, Etika Mendidik Anak Menjadi Shaleh, Surabaya: Putra Jaya, 2007.

Laily, Asrina, “Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan Islam” dalam http://asrinalaily.wordpress.com, diakses 7 April 2011

Ma’athi, Mushthafa abul, Kaifa Nurabbi Auladana ‘alas Shalah: ‘amaliyan wa ilmiyyan (Membimbing Anak Gemar Shalat: kiat praktis menjadikan shalat sebagai kegemaran anak), terj. Abu Abdullah, Surakarta: Insan Kamil, 2008.

Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting, Jogjakarta : Diva Press, 2009.

Mubarrok, Abdulloh, Tuntunan Shalat Madzab Syafii, Surabaya: Arkola, 2005.

Muchtar, Heri Jauhari, Fikih Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Muhyidin, Muhammad, Menanam Tauhid, Akhlaq, dan Logika si Mungil, Jogjakarta: Diva Press, 2009.

Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Musthofa, Aziz, Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal, Jogjakarta: Diva Press, 2009.

Musthofa, Yasin, EQ Untuk Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Islam, t.t.p.:Sketsa, 2007.

Nafsin, Abdul Karim, Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan Realita, Mojokerto: Al Hikmah, 2005.

Najati, Muhammad Utsman, Al Hadits an Nabawi wa ‘Ilm an Nafs (The Ultimate Psychology:Psikologi Sempurna ala Nabi saw),terj. Hedi Fajar, Bandung: PustakaHidayah, 2008.
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: At Thahitiyah, 1976.

Rosyidah, Faizatul, “Mendidik Anak Shalat” dalam          http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/. Diakses 1 Juni 2011

Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak Bersama Nabi saw., Solo: Pustaka Arafah, 2006

Ulum, Arif Fathul, Sudah Benarkah Sholat Kita, Gresik: Majelis Ilmu Piblisher, 2008.

Ulwan, Abdullah Nashih, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami, Jogjakarta : Darul Hikmah, 2009.

Warsidi, Edi, Pentingnya Pendidikan Agama Sejak Dini, Bandung: Pustaka Madani, 2006.

Yaman, Askar, “Perkembangan Anak Usia TPA (7-12 tahun) Serta Implikasinya Dalam Pendidikan” dalam http://www.fajaronseven.co.cc, diakses 15 Mei 2011

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.

Yusuf , Syamsu, Psikologi Belajar Agama, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005

Zulfajri, Em dan Ratu Aprilia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, t.t.p.: Difa Publisher, t.t.
Zullkifli L., Psikologi Perkembangan, Bandung: RemajaRosdakarya, 2003.

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN


Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama         : AHMAD NUR SANTO
NIM          : 3211073004
Jurusan      : Tarbiyah
Prodi         PAI
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di kemudian hari terbukti dan dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Tulungagung, Juli 2011
Penulis



AHMAD NUR SANTO
NIM. 3211073004

DAFTAR RIWAYAT HIDUP



Nama            : Ahmad Nur Santo
TTL              : Tulungagung, 06 Maret 1990
Agama          :  Islam
Alamat         : RT./RW. 01/01 Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, Tulungagung
Orang Tua    :   Tuwat dan Bingatun
Saudara        :   Siti Nur Aminah dan Siti Nur Khasanah

Riwayat Pendidikan :
·                     TK Darma Wanita Nglurup : Tamat tahun 1995
·                     SDN Nglurup I                    : Tamat tahun 2001
·                     SMPN 02 Tulungagung       : Tamat tahun 2004
·                     SMAN 01 Boyolangu          : Tamat tahun 2007




[1] Hussein Bahresi, Al Jami’ush Shahih Bukhori-Muslim,  (Surabaya: Karya Utama, t.t.), hal 50
[2] DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang : Karya Toha Putra, 2002), hal. 495
[3] Rizem Aizid, Tamparan-Tamparan Super Pedas Bagi yang Malas Shalat, (Jogjakarta: Diva Press, 2011), hal. 11
[4] Hussein Bahresi, Al Jami’ush Shahih Bukhori-Muslim,  (Surabaya: Karya Utama, t.t.), hal 50
[5] DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang : Karya Toha Putra, 2002), hal. 820
[6] Ibid, hal. 446
[7] Abdullah Nashih Ulwan, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami. (Jogjakarta : Darul Hikmah, 2009), hal. 83
[8] Samsul Munir Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami, (Jakarta : Amzah, 2007), hal. 2
[9] Mushthafa abul Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana ‘alas Shalah: ‘amaliyan wa ilmiyyan (Membimbing Anak Gemar Shalat: kiat praktis menjadikan shalat sebagai kegemaran anak), terj. Abu Abdullah, (Surakarta: Insan Kamil, 2008), hal. 50
                                                                                                                  
[10] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 2003) hal. 41
[11] Mohammad Nur Abdul Hafid, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 125
[12] Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua …,hal. 33
[13] Ibid., hal. 34
[14] Muhammad Hasan Baryaghisy, adab al Athfaal Ahdaafuh wa Simaatuh (Wahai Ummi Selamatkan Anakmu), terj. Slamet Riyadi Sami, (Jakarta : Arina, 2005), hal . 23
[15] Em Zulfajri dan Ratu Aprilia, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (t.t.p.: Difa Publisher, t.t.),  hal. 273
[16] ibid., hal. 251
[17] Baryaghisy, Adab al Athfaal…, hal. 4
[18] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.105
[19] Sutrisno Hadi, Metode Research. (Yogyakarta: Andi Offset, 1999), hal. 2
[20] Departemen Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Pedoman Penyusunan Skripsi. (Tulungagung: Departemen Agama, 2010), hal. 39
[21] ibid.
[22] Saifudin Azwar, Metode Penelitian. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 91
[23] Ibid., hal. 91
[24] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan. (Jakarta: Rineke Cipta, 1988), hal. 236
[25] Hadi, Metode Research…, hal. 40
[26] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: At Thahitiyah, 1976), hal 64
[27] Abdulloh Mubarrok, Tuntunan Shalat Madzab Syafii, (Surabaya: Arkola, 2005), hal 49
[28] Deni Sutan Bahtiar, Mengapa Shalatmu Tak Mampu Menjauhkanmu Dari Kekejian dan Kemungkaran?, (Jogjakarta: Gara Ilmu, 2009), hal 42
[29] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal. 18
[30] Bahresi, Al Jami’ush Shahih …, hal 50
[31] Bahtiar, Mengapa Shalatmu Tak Mampu…, hal. 43
[32] Muhammad Nashiruddin al Albani, Rahasia sifat Shalat Nabi, (Riyadh:Dar al Ma’arif,1996), hal. xi
[33] Muhammad Nashiruddin al Albani, Irwa’ul Ghalil, (Beirut: Maktab Islami, 1405 H )
[34] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana.., hal. 18
[35] Arif Fathul Ulum, Sudah Benarkah Sholat Kita, (Gresik: Majelis Ilmu Piblisher, 2008),hal. 29
[36] DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya…, hal. 425
[37] Ibid, hal. 352
[38] Mukhotim el Moekry, Membina anak beraqidah kokoh. (Jakarta: Wahyu press, 2004), hal. 4
[39] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal. 50
[40] ibid.
[41] Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), hal. 133
[42] Hafid, Manhaj at Tarbiyah …, hal. 123-124
[43] Ibid., hal. 125
[44] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…hal. 24-25
[45] Ibid., hal 25.
[46] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa …, hal 75
[47] DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya…, hal. 837
[48] Hussein Bahresi, Al Jami’ush Shahih …, hal 2
[49] DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya…, hal.566
[50] Bahtiar, Mengapa Shalatmu Tak Mampu…, hal. 84
[51] Hussein Bahresi, Al Jami’ush Shahih …, hal 51
[52] Abdul Karim Nafsin, Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan Realita. (Mojokerto: Al Hikmah, 2005), hal. 6
[53] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal 18.
[54] Nafsin, Menggugat Orang Shalat…, hal 6
[55] Rizem Aizid, Tamparan-Tamparan Super Pedas…,hal. 11
[56] Edi Warsidi, Pentingnya Pendidikan …, hal. 38
[57] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana …, hal. 11
[58] Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak… , hal. 2.
[59] Imam al Bukhori, Shahih Bukhori, Surabaya: Al Asriyah, 1989), hal. 9
[60] Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak… , hal.4
[61] Asrina Laily, “Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pendidikan Islam” dalam http://asrinalaily.wordpress.com, diakses 7 April 2011
[62] Warsidi, Pentingnya Pendidikan Agama…, hal. 50
[63] Arda Dinata, “Tahapan - Tahapan Dalam Mendidik Anak” dalam http://hwaiting.dagdigdug.com/category/tarbiyatul-aulad/htm, diakses 7 April 2011
[64] Hussein Bahresi, Al Jami’ush Shahih…, hal. 30
[65] ibid,…hal. 4
[66] Abdullah Nashih Ulwan, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami, (Jogjakarta : Darul Hikmah, 2009), hal. 83
[67] Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting, (Jogjakarta : Diva Press, 2009), hal. 42
[68] Ibid., hal 45
[69] Ibid., hal. 54
[70] Muallifah, Psycho Islamic…, hal. 62
[71] Ibid.,hal 60
[72] Yasin Musthofa, EQ Untuk Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Islam, (t.t.p.:Sketsa, 2007), hal. 96
[73] Muallifah, Psycho Islamic…, hal. 63
[74] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal 344-345
[75] ibid., hal 348
[76] ibid., hal 353
[77] ibid., hal 356
[78] Zullkifli L., Psikologi Perkembangan. (Bandung: RemajaRosdakarya, 2003), hal. 18-21
[79] Kartini Kartono, Psikologi anak. (Bandung : Mandar Maju, 2007), hal. 34
[80] Muhammad Utsman Najati, Al Hadits an Nabawi wa ‘Ilm an Nafs (The Ultimate Psychology:Psikologi Sempurna ala Nabi saw),terj. Hedi Fajar, (Bandung: PustakaHidayah, 2008), hal. 278-280
[81] Mujib, Nuansa-Nuansa …, hal.105
[82] Askar Yaman, “Perkembangan Anak Usia TPA (7-12 tahun) Serta Implikasinya Dalam Pendidikan” dalam http://www.fajaronseven.co.cc, diakses 15 Mei 2011
[83] Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan,. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 68
[84] Miftah Faridh, Rumahku Surgaku:Romantika dan Solusi Rumah Tangga, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal 254
[85] Ibid., hal 255
[86] Mujib, Nuansa-Nuansa…, hal. 97
[87] Imam al Bukhori, Shahih Bukhori, Surabaya: Al Asriyah, 1989), hal. 9
[88] DEPAG RI, Al Quran dan Terjemahnya…, hal.574
[89] Muhyidin, Menanam Tauhid…,hal 45
[90] Najati, Al Hadits an Nabawi…,hal. 296
[91] Musthofa, EQ Untuk Anak …, hal. 72
[92] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa …, hal. 45
[93] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 51
[94] ibid., hal. 52
[95] Amin, Menyiapkan Masa Depan…, hal. 155
[96] ibid.,hal. 125
[97] Labib MZ, Etika Mendidik Anak Menjadi Shaleh, (Surabaya: Putra Jaya, 2007), hal. 10
[98] Miftah Faridh, Rumahku Surgaku…, hal 257
[99] Mohammad Nur Abdul Hafid, Manhaj at Tarbiyah an Nabawiyyah li ath Thifli (Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah), terj. Mohammad Asmawi, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 123-124
[100] Miftah Faridh, Rumahku Surgaku…,hal. 260
[101] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal. 50
[102] ibid.
[103] Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), hal. 133
[104] Khalid bin Abdurrahman al ‘Akk, Tarbiyah al Abna’ wa al Banat fi Dhau’ al Quran wa al Sunnah (Cara Islam Mendidik Anak) terj. Muhammad Halabi Hamdi, (Yogyakarta: Ad Dawa’, 2006), hal. 145 - 150
[105] Hafid, Manhaj at Tarbiyah…, hal. 134

[106] Sulaiman ibn al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), hadits no. 494 dan Muhammad bin Isa at Tirmidzi, sunan at Tirmidzu, (Beirut: Darul Kutb, 2007), hadits no. 407
[107] Ibid.
[108] Azaz Musthofa, Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal. (Jogjakarta: Diva Press, 2009), hal 41.
[109] Al ‘Akk, Tarbiyah al Abna’…, hal. 150
[110] Mukhtim el Moekry, Membina anak beraqidah kokoh. (Jakarta: Wahyu press, 2004), hal. 4
[111] ibid., hal 140
[112] Candra, “Cara Mengajarkan Shalat Pada Anak” dalam http://ustadchandra.wordpress.com/, diakses 1 Juni 2011
[113] Ibid.
[114] ibid.
[115] Faizatul Rosyidah, “Mendidik Anak Shalat” dalam http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/. Diakses 1 Juni 2011
[116] Layla TM, Anak Bertanya Anda Kelabakan, (Solo: Aqwam, 2009), hal. 21
[117] Hafid, Manhaj at Tarbiyah …, hal. 123
[118] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal. 41
[119] Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi saw., (Solo: Pustaka Arafah, 2006), hal 122
[120] ibid. hal. 135
[121] Rasyid, Fiqh Islam…, hal. 76
[122] Ulum, Sudah Benarkah…, hal. 14
[123] Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Hadits, 1997), no. 1/ 140
[124] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal. 53-56
[125] Ulum, Sudah Benarkah…, hal. 20
[126] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Darul Kutb, 2007) no. 1/135 dan Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Hadits, 1997), no. 1/ 225
[127] Hussein Bahresi, Al Jami’ush Shahih…, hal. 35
[128] Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Hadits, 1997), no. 1/ 215
[129] Ibid, no. 1/219
[130] Ibid, no. 1/217
[131] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori…, no. 2/96,; dan Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim…, no, 1/325
[132] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana…, hal. 71
[133] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori…, no. 2/84; dan Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim…,  no 1/294
[134] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori, Shahih Bukhori…, no 2/87
[135] Abul Hasan al Hajaj al Qusyairi, Shahih Muslim…, no 1/290
[136] ibid., hal. 148
[137] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 92
[138] Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak….hal. 33
[139] Muhammad Nabil Kazhim, Sukses Mendidik Anak Tanpa Kekerasan. (Solo: Pustaka Arafah, 2011), hal. 82
[140] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana.., hal. 200
[141] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar …, hal. 94
[142] Kazhim, Sukses Mendidik.., hal. 89
[143] ibid., hal. 92
[144] ibid., hal. 93
[145] Nisa Islami, “Hukuman dalam Pendidikan Islam” dalam http://insansalsabila.wordpress.com, diakses 01 Juni 2011
[146] Ibid.
[147] Haya binti Mubarok. Ensiklopedi Muslimah, (Jakarta : Darul Falah, 2006), hal. 267
[148] ibid.
[149] Ibid.
[150] Ibid.
[151] Ma’athi, Kaifa Nurabbi Auladana.., hal. 181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar