ahmadnursanto

Selasa, 29 Januari 2013

STRUKTUR ILMU TAUHID


STRUKTUR ILMU TAUHID

Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang Alloh swt, sifat-sifat yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan sifa-sifat yang sama sekali harus ditiadakan daripada-Nya serta tentang Rasul-Rasul Alloh untuk menetapkan kerasulan mereka, hal-hal yang wajid ada pada diri mereka, hal-hal yang boleh dikaitkan (dinisbahkan) kepada mereka, dan hal-hal yang terlarang mengaitkannya kepada mereka.[1]
Kata Tauhid berasal dari bahasa Arab tawhid yang berarti mengesakan. Berarti Tauhid adalah meyakini bahwa ALLOH SWT itu esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat Tauhid, Laa Ilaaha Illallah (Tiada Tuhan selain Alloh).mentauhidkan berarti “mengakui keesaan Alloh; mengesakan Alloh”.[2]
Para ulama sependapat, mempelajari ilmu tauhid hukumnya wajib bagi setiap muslim. Kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alasan rasio bahwa aqidah merupakan dasar pertama dan utama dalam Islam, tetapi juga didasarkan pada dalil-dalil naqli, al Quran dan hadits.[3]
Secara ontologis, ilmu tauhid arau ilmu kala iala ilmu tentang relasi (hubungan) antara makhluk (manusia) dengan Tuhan. Dalam ilmu tauhid diteliti tentang pola hubungan tersebut sehingga akan menimbulkan berbagai macam aliran pemikiran.

NAMA-NAMA ILMU TAUHID
Ilmu tauhid mempunyai beberapa nama. Penamaan itu muncul sesuai dengan aspek pembahasan yang ditonjolkan oleh tokoh yang memberikan nama tersebut.
Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya yang paling penting adalah menetapkan keesaan (wahdah) Alloh swt  dalam dzat-Nya, dalam menerima peribadatan dari makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya tujuan. Keyakinan tauhid inilah yang menjai tujuan paling utama bagi kebangkitan Muhammad Rasululloh SAW.[4]
Ilmu ini dinamakan pula ilmu kalam karena dalam pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan logika atau mantik.[5]
Secara lebih rinci Prof. Dr. T.M. Hasby Ash Shidiqqy menyebutkan alasan mengapa ilmu ini disebut ilmu kalam, yaitu:
1.      Problema yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat islam terpecah dalam beberapa golongan adalah masalah Kalam Alloh atau Al Quran; apakah ia makhluk atau qadim.
2.      Materi-materi ilmu ini adalah teori-teori (kalam); tidak ada diantaranya yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.
3.      Ilmu ini di dalam menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil-dalil pokok akidah serupa dengan ilmu mantik.
4.      Ulama-ulama mutaakhirin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan tentang pengertian qadha’, kalam, dan lain-lain.[6]
Ketika ilmu tauhid dinamakan ilmu kalam, paraahli dibidang ini disebut mutakallimin. Penamaan ilmu tauhid dengan ilmu kalam sebenarnya dimaksudkan untuk membedakan antara mutakalllimin dan filosof Islam. Mutakallimin dan filosof Islam mempertahankan atau memperkuat keyakinan mereka sama-sama menggunakan metode filsafat, tetapi mereka berbeda landasan awal berpijak. Mutakallimin lebih dahulu bertolak dari al Quran dan hadits, sementara filosof berpijak pada logika. Meskipun demikian, tujuan yang ingin mereka capai adalah satu, yaitu keesaan dan kemahakuasaan Alloh swt. Dengan kata lain, mereka berbeda jalan untuk mencapai tujuan yang sama.[7]
Ilmu tauhid dinamakan juga ilmu ushuluddin, karena obyek bahasan utamanya adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah esensial dalam ajaran Islam.[8]
Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, namun inti pokok pembahasan ilmu tauhid adalah sama, yaitu wujud Alloh swt dan hal-hal yang berkait dengan-Nya. Karena itu, aspek penting dalam ilmu tauhid adalah keyakinan akan adanya Alloh Yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan memiliki sifat-sifat kemahasempurnaan lainnya. Keyakinan yang demikian pada gilirannya akan membawa kepada keyakinan terhadap malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul, hari akhir, dan melahirkan kesadaran akan tugas dan kewajiban terhadap Khaliq (pencipta).[9]

OBYEK BAHASAN ILMU TAUHID
Obyek bahasan atau lapangan yang dibahas oleh ilmu tauhid, pada garis besarnya, dapat dibagi dalam tiga masalah utama:Tentang Ilah (Tuhan), Tentang Nubuwat (kenabian), Tentang sam’iyat (sesuatu yang diperoleh lewat pendengaran dari sumber yang meyakinkan, yakni al Quran dan hadits, misalnya tentang alam kubur, azab kubur, bangkit di padang mahsyar, alam akhirat, tentang ‘arsy, lauh mahfudz, dll)[10]
1.      Tentang Ilah (Tuhan)
Masalah yang dibahas di sini adalah tentang sifat-sifat Tuhan dan af’alnya. Masalah yang dibicarakan adalah apakah sifat-sifat dan af’al Tuhan itu adalah zat atau sesuatu yang bukan zat tetapi tidak lepas dari zat
2.      Tentang Nubuwat (kenabian)
3.      Tentang sam’iyat
Disamping masalah ketuhanan dan kenabian yang untuk keduanya memungkinkan dibangun hujjan secara akliah, psikologi maupun sosiologi, ada masalah yang bisa dikategorikan ke dalam al sam’iyyat seperti istilah-istilah lauh mahfudz, ‘arsy, sidrah al muntaha, pertanyaan malaikat munkar dan nakir dalam kubur. Masalah-masalah tersebut didasarkan atas berita yang dating dari Alloh yang kita yakii adanya meskipun akal merasa kesulitan untuk menegakkan hujjah akliah yang mendasar.

SUMBER ILMU TAUHID
Data yang digunakan untuk membangun ilmu tauhid diambil dari sumbernya. Ada dua sumber data bagi membangun ilmu tauhid, yaitu:
1.      Sumber yang ideal
2.      Sumber historic
Yang dimaksud sumber ideal adalah al Qur’an dan al hadits dimana di dalamnya banyak memuat data yang berkaitan dengan obyek kajian dalam ilmu tauhid, yakni masalah ketuhanan, kenabian dan hal-hal yang sam’iyyat.
Sedangkan yang dimaksud ddengan sumber historic ialah perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan obyek kajian ilmu tauhid, baik yang terdapat dalam kalangan internal umat Islam maupun pemikiran eksternal yang masuk dalam rumah tangga Islam. Sebab, setelah Rasululah saw wafat, islam menjadi tersebar, dan ini memungkinkan umat Islam berkenalan dengan ajaran-ajaran, atau pemikiran-pemikiran dari luar Islam, misalnya dari Persia dan Yunani.[11]
Pemikiran yang berkembang dalam kalangan internal umat Islam antara lain:
1.      Pelaku dosa besar
2.      Al Quran, makhluk atau qadim
3.      Melihat Tuhan
4.      Sifat-sifat Tuhan
5.      Kepemimpinan setelah Rasulullah saw
6.      Takwil terhadap ayat mutasyabihat
Sedangkan pemikiran eksternal yang masuk dalam rumah tangga Islam adalah pemikiran dari Zoroaster dan filsafat Yunani. Ini yang pada saat itu nampaknya lebih domonan disbanding dari pemikiran-pemikiran lainnya.
Pemikiran eksternal Zoroaster berkaitan dengan kebaikan dan keburukan. Pemikiran ini  masuk dalam rumah tangga Islam saat itu, dan melahirkan persoalan teologi yang berkenaan dengan perbuatan baik dan buruk. Apakah tuhan Alloh menciptakan baik dan yang terbaik saja (al salah wa al aslah) untuk manusia? Atau, Tuhan wajib menciptakan yang baik dan yang terbaik saja bagi manusia sebab jika tidak demikian maka Dia tidak adil (dhalim), dan itu mustahil bagi-Nya. Pendapat di atas diteruskan dengan pendapatnya bahwa Tuhan tidak menciptakan yang jahat. Jahat dan buruk pada hakikatnya, ciptaan manusia sendiri dan dia harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya.
Dari pemikiran yunani, yang nampaknya masuk dalam bahasan teologi adalah masalah atom (jauhar aradl), apakah jauhar aradl itu nanti hancur atau tidak.[12]


METODE PEMBAHASAN
Salah satu dari kajian pokok dalam Ilmu tauhid adalah masalah ketuhanan, yakni suatu bidang yang amat prinsip did lam agama. Di dalam disiplin filsafat, masalah ketuhanan juga menjadi kajian obyek utama. Hanya saja, metode yang ditempuh para filsuf dalam menjelaskan adanya Tuhan adalah metode rasional murni, sedangkan yang ditempuh oleh ulama ilmu tauhid dalam menjelaskan ketuhanan menggunakan metode nakli, namun tidak mengesampingkan penggunaan metode rasional.
Dengan demikian, ada dua metode atau cara pembahasan ilmu tauhid, yakni:
1.      Menggunakan dalil nakli
2.      Menggunakan dalil akli[13]
Dalil akli oleh al Sanusi dikaitkan dengan konsep hokum akal, dan ia membaginya menjadi tiga, yaitu:
1.      Al wujud (wajib)
Yang wajib menurut akal ialah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal (mustahil menurut akal) tidak adanya. Singkatnya, ia wajib ada dan mustahil tidak ada. Misalnya, satu adalah separoh dari dua. Ini wajib ada menurut dalil akal.
2.      Al istilah (mustahil)
Yang mustahil ialah sesuatu yang tidak dapat diterima akal adanya, atau sesuatu yang wajib tidak adanya. Misalnya, seseorang berada di dua tempat pada saat yang sama. Atau, satu adalah separoh dari tiga.
3.      Al jawaz (jaiz)
Ialah sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak ada.
Kemudian, ia membagi wajib akal itu kepada wajib badihi (mudah ditangkap, dan tidak membutuhkan pemikiran dan perenungan) dan wajib nazari (membutuhkan pemikiran dan perenungan yang mendalam).[14]
Penggunaan metode rasional (dalil akli) adalah salah satu usaha untuk menghindari keyakinan yang didasarkan atas taklid saja.

ASPEK-ASPEK DALAM ILMU TAUHID
Bagian-bagian tauhid sebagai suatu ilmu dapat dibagi dalam lima aspek:
1.      Tauhid rububiyah,
2.      Tauhid uluhiyah,
3.      Tauhid sifat,
4.      Tauhid qauli dan
5.      Tauhid amali.

MANFAAT ILMU TAUHID
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar. Apabila tauhid telah dimiliki, dimengerti, dan dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Alloh akan muncul dengan sendirinya. Hal ini Nampak pada pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap , perbuatan dan perkataan sehari-hari.
Maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengaku bertauhid saja, tetapi lebih jauh dari itu, sebab tauhid mengandung sifat-sifat:
1.      Sebagai sumber motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan
2.      Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan ibadat dengan penuh keikhlasan
3.      Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan, dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan
4.      Mengantarkan umat manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.[15]
Dengan demikian tauhid sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ia tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Adlan, Abd. Jabbar, Dirasat Islamiyah:Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995
Ash-Shidieqy, Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Tauhid/kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Asmuni, Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993




[2] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 1
[3] Ibid, hlm. 3
[5] Asmuni, Ilmu Tauhid…., hlm.4
[6][6] Hasbi Ash-SHidieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Tauhid/kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 1-2
[7] Asmuni, Ilmu Tauhid…., hlm.5
[8] ibid
[9] ibid
[10] Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah:Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam (Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995), hlm. 37
[11] Ibid, hlm. 47-48
[12] Ibid, hlm. 48-49
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm. 49-50
[15]Asmuni, Ilmu Tauhid…., hlm.7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar