ahmadnursanto

Senin, 18 Februari 2013

REVIEW HASIL KAJIAN ISLAM PENDEKATAN FILOLOGI / BAHASA


REVIEW HASIL KAJIAN ISLAM PENDEKATAN FILOLOGI / BAHASA
AHMAD NUR SANTO



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Clifford Geertz pernah mengatakan bahwa Islam membawa rasionalisme dan ilmu pengetahuan serta menegaskan suatu sistem masyarakat yang berdasarkan orang-perorangan, keadilan, dan membentuk kepribadian mulia.[1] Semangat rasionalisme dan intelektualisme Islam itu menyebar luas di kalangan elit kraton sampai rakyat kebanyakan. Semua ini dapat ditemukan dalam berbagai naskah yang berisi falsafah dan metafisika yang khusus ditulis untuk keperluan umum. Praktek mistik Budha, misalnya memperoleh nama-nama Arab seperti suluk, raja-raja Hindhu yang mengalami perubahan gelar untuk menjadi sultan Islam, dan masyarakat awam yang menyebut beberapa roh hutan dengan jin.
Sebagaimana terungkap dari pernyataan Geertz di atas, disadari atau tidak, khazanah peninggalan berupa naskah merupakan bagian penting dalam kajian suatu peradaban atau kebudayaan, tak terkecuali kajian keislaman. Ribuan naskah yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan sangat disayangkan jika tidak digali lebih lanjut sebagai sumber kajian dalam mempelajari kebudayaan yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pengetahuan tentang suatu kaum (peradaban) dapat dilihat dari karya yang dihasilkan oleh kaum tersebut. Sebagaimana dikutip oleh Nabilah Lubis, Prof. Baroroh Barried dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Bahasa Indonesia UGM mengatakan bahwa studi filologi merupakan kunci pembuka khazanah kebudayaan lama yang oleh karena itu perlu diperkenalkan pada masyarakat untuk menumbuhkan minat masyarakat terhadap kebudayaan lama.
Filologi merupakan satu kajian yang bertugas menelaah dan menyunting naskah untuk dapat mengetahui isinya. Cabang ilmu ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, terutama di kalangan masyarakat Islam. Kekayaan dan warisan intelektual Islam menjadi terabai, padahal warisan inteletual yang berupa karya tulis itu sedemikian banyaknya. Di Indonesia saja, banyak peninggalan kitab klasik yang ditulis oleh ulama nusantara. Misalnya Imam Nawawi al-Bantani yang telah menulis tidak kurang dari seratus kitab berbahasa Arab dalam berbagai bidang keilmuan. Contoh lain, Syekh Mahfudh at-Tarmasy yang menulis hingga 60 kitab meliputi tafsir, qiraah, hadits, dan sebagainya. [2]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pendekatan filologi dalam studi Islam sebagai bentuk pengenalan cabang ilmu filologi kepada komunitas Islam agar khazanah peninggalan berupa naskah-naskah kuno dapat dipelajari dengan lebih maksimal.
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah Pengertian Filologi ?
b.      Apa Obyek kajian Filologi ?
c.       Bagaimanakah pendekatan filologi dalam studi Islam ?
d.      Bagaimana review kajian filologi terhadap Islam oleh Orientalis ?
C.     Tujuan
a.       Mengetahui Pengertian Filologi.
b.      Mengetahui Obyek kajian Filologi.
c.       Mengetahui pendekatan filologi dalam studi Islam.
d.      Mengetahui review kajian filologi terhadap Islam oleh Orientalis.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filologi
Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau, seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini, naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah meneliti naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini, dan menyunting teks yang ada di dalamnya.
Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.[3]
Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley dalam Baroroh-Baried, 1985: 1). Arti tersebut kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, dan ‘senang kasustraan atau senang kebudayaan’ (Baroroh-Baried, 1985: 1).[4]
Filologi selama  ini  dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa   lampau   yang   berupa   tulisan.   Studi   terhadap   karya   tulis   masa   lampau dilakukan  karena  adanya  anggapan  bahwa  dalam  peninggalan  aliran  terkandung nilai-nilai   yang   masih   relevan   dengan   kehidupan   masa   kini. Di bawah   ini disimpulkan   bahwa   lahirnya   filologi   dilator belakangi   oleh   sejumlah   faktor sebagai berikut :
  1. Munculnya informasi tentang masa lampau didalam sejumlah karya tulisan.
  2. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan   tulisan masa lampau yang dipandang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.
  3. Kondisi   fisik   yang   substansi   materi   informasi   akibat   rentang   waktu   yang panjang.
  4. Faktor  sosial  budaya   yang  melatarbelakangi  penciptaan  karya-karya  tulisanmasa  lampau  yang  tidak  ada  lagi  atau  tidak  sama  dengan  latar  sosial  budaya pembacanya masa kini.
  5. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.[5]
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. Pada saat itu, perpustakaan Iskandariyah mendapatkan banyak naskah berupa gulungan papyrus dari beberapa wilayah di sekitarnya. Sebagian besar naskah tersebut sudah mengandung sejumlah bacaan yang rusak dan korup, diantaranya adalah naskah-naskah Alkitab yang muncul dalam beberapa versi.
Keadaan ini mendorong para ilmuwan untuk mengadakan kajian untuk mengetahui firman Tuhan yang dianggap paling asli. Mereka menyisihkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut. Jika naskah yang mereka hadapi dalam jumlah besar atau lebih dari satu naskah, maka kajian juga dihadapkan pada bacaan-bacaan (varian-varian) yang berbeda.
Dalam perkembangan terakhirnya, filologi menitikberatkan pengkajiannya pada perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru) karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan varian-varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak tepat.

B.     Obyek Kajian Filologi
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Berikut ini naskah dan teks secara berurut-urut diuraikan.
1.      Naskah
Naskah adalah karangan yang masih ditulis tangan. Pengertian lain tentang naskah, yaitu naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya suatu bangsa masa lampau.
2.      Teks
Teks adalah (1) naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, (2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, (3) bahan tertulis untuk memberikan pelajaran, berpidato (KBBI, jilid 2; 1995: 1024). Teks juga berarti kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Wahana penyampaian teks dibagi menjadi 3 macam, yaitu: (1) teks lisan (tidak tertulis), (2) teks naskah atau tulisan tangan, (3) teks cetakan.
Filologi berbicara mengenai bagaimana sebuah naskah kuno yang bernilai atau mempunyai makna besar bagi kehidupan manusia itu dikaji dengan cara seksama dan dengan ketelitian yang tinggi. Ketika hendak melakukan prosesi penelitian naskah, kita sebagai seorang peneliti (filolog) akan melakukan beberapa langkah standar yang telah digunakan dan disepakati oleh para ahli untuk mencari atau menyunting sebuah naskah kuno agar selanjutnya bias dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Adapun   macam-macam   pengertian   tentang   pengetahuan   dalam   sejarah perkembangannya antara lain :
1.        Filologi sebagai ilmu tentang pengetahuan yang pernah ada.
Informasi   mengenai   masa   lampau   suatu   masyarakat,   yang   meliputi sebagai  segi  kehidupan  dapat  diketahui  oleh  masyarakat   masa  kini   melalui peninggalan-peninggalan   baik   yang   berupa   benda-benda   budaya maupun karya-karya   tulisan.   Karya   tulisan   pada   umumnya   menyimpan   kandungan berita masa lampau yang mampu memberikan informasi secara lebih terurai.
2.        Filologi sebagai ilmu bahasa.
Sebagai hasil budaya  masa  lampau,  peninggalan tulisan perlu dipahami dalam  konteks  masyarakat  yang  melahirkannya  pengetahuan  tentang  sebagai konvensi  yang  hidup  dalam  masyarakat  yang  melatarbelakangi  penciptaanya mempunyai   peran  yang  besar   bagi   dari  karya   tulisan  masa   lampau  berupa bahasa.
3.        Filologi sebagai ilmu sastra tinggi.
Dalam    perkembangannya  karya-karya   tulisan    masa    lampau   yang didekati   dengan   filologi   berupa   karya-karya   yang   mempunyai   nilai   yang tinggi   di   dalam   masyarakat.   Karya   itu   pada   umumnya   dipandang   sebagai karya-karya   sastra   ’adhiluhung’   misalnya   karya   Homerus.   Perkembangan sasaran   kerja   ini   kemudian   melahirkan   pengertian  tentang   istilah   filologi sebagai study sastra atau ilmu sastra.
4.        Filologi sebagai study teks.
Filologi    dipakai   juga   untuk   menyambut  ilmu   yang   berhubungan dengan  study teks,  yaitu study  yang  dilakukan dalam rangka  mengungkapkan hasil     budaya    yang     tersimpan    didalamnya.    Hal     ini     bertujuan    yaitu mengungkapkan   hasil   budaya   masa   lampau   sebagaimana   yang   terungkap dalam teks aslinya.
Adapun langkah-langkah atau metodologi dalam penelitian filologi adalah sebagai berikut:[6]
  1. Inventarisasi atau mengumpulkan naskah
  2. Deskripsi naskah
  3. Pertimbangan dan pengguguran
  4. Menentukan kesalian sebuah naskah
  5. Membuat ikhtisar isi dari naskah tersebut
  6. Transliterasi atau pengalihan bahasa
  7. Menyunting teks asli
  8. Membuat glosari atau daftar kata-kata yang di anggap tidak umum, dan
  9. Mengomentari teks
  10.  
C.     Pendekatan Filologi dalan Studi Islam
Az-Zamakhsyari, sebagaimana dikutip Nabilah Lubis,[7] mengungkapkan kegiatan filologi sebagai tahqiq al-kutub. Ungkapan itu secara lengkap sebagai berikut:
حققت الأمر وأحققته: كنت على يقين منه، وحققت الخبر فأنا أحقه .
وقفت على حقيقته. ويقول الرجل لأصحابه إذا بلغهم خبر فلم يستيقنوه: أنا أحق لكم هذا الخبر، أي أعلمه لكم وأعرف حقيقته.
Secara bahasa, tahqiq berarti tashhih (membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara istilah, tahqiq berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan pengarangnya, baik bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa tahqiq bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari kesalahan-kesalahan dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks atau nash adalah melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam teks tersebut.
Bangsa Arab pra-Islam dikenal dengan karya-karya syair maupun sastra prosanya. Karya yang paling terkenal adalah “Muallaqat” (berarti “yang tergantung), karya-karya yang berupa qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan pada dinding Ka’bah dengan tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy yang harus senantiasa dijaga. [8]
Setelah Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol pada abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa Arab kemudian kembali ke Eropa dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis al-Ghazali, Fariduddin Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju di wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik pelajar di Eropa.
Dalam konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di Indonesia.
Menilik dari sangat banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara, merupakan sebuah pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan ulama klasik tersebut.

D.    Review studi Islam oleh orientalis dengan pendekatan Filologi
Dalam kajian ini akan dejelaskan bagaimana kegiatan orientalis dalam studi hadist[9] sebagai salah satu dari pendekatan filologi untuk memahami Islam yang seringkali bersifat subyektif dan berlatar belakang kebencian terhadap Islam.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia orientalisme adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Sementara itu dalam buku " Pembahasan Tentang Misionarime dan Orientalisme " karangan Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata ‘Orientalisme’ secara umum diberikan kepada orang-orang non-Arab yang mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu disebut Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab, China, Persia dan India. 
Dr. Hasan Abdul Rauf memberi batasan bahwa sebutan Orientalis diberikan kepada setiap ilmuwan Barat yang mempelajari segala sesuatu tentang ketimuran. Utamanya, istilah Orientalis diberikan kepada orang-orang Nasrani yang ingin mempelajari ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan percobaan bagi seluruh dunia.
Hal ini kemudian berkembang , antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa yang mapan terhadap kebudayaan luar. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang murni ilmiah tanpa mempunyai maksud, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil.
Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al Qur'an sekaligus juga sebagai penjelas dari Al Qur'an itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang Al Qur'an, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan Al Qur'an karena Al Qur'an adalah sumber transendental dari Tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
Inilah dua tokoh orientalis yang meragukan kesahihan hadis. Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadis :
  1. Aspek Perawi. Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
  2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW. Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
  3. Aspek Pengklasifikasian hadis. Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini: "Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.
Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam.  
Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Anbi Muhammad. Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
  1. Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad.
  2. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir  dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
  3. Ketiga melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih.
Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa anda bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180 % derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. 
Dalam hal ini seorang pemuda asal India berhasil membalikkan pemikiran yang keliru dari para orientalis yang mengkritisi hadis yakni Muhammad Mustafa Al A'zami dengan desertasi " Studies in Early Hadith Literature" pada tahun 1966 di Universitas Cambridge, Inggris. Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis desertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul berasal dari Nabi Muhammad Saw. Bahkan sebelum kemunculan karya dari A'zami tersebut telah ada karya dari Mustafa As Siba'i dalam bukunya " Assunnah wakannatuha "





BAB III
KESIMPULAN

Filologi selama  ini  dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa   lampau   yang   berupa   tulisan.   Studi   terhadap   karya   tulis   masa   lampau dilakukan  karena  adanya  anggapan  bahwa  dalam  peninggalan  aliran  terkandung nilai-nilai   yang   masih   relevan   dengan   kehidupan   masa   kini
Filologi berbicara mengenai bagaimana sebuah naskah kuno yang bernilai atau mempunyai makna besar bagi kehidupan manusia itu dikaji dengan cara seksama dan dengan ketelitian yang tinggi. Ketika hendak melakukan prosesi penelitian naskah, kita sebagai seorang peneliti (filolog) akan melakukan beberapa langkah standar yang telah digunakan dan disepakati oleh para ahli untuk mencari atau menyunting sebuah naskah kuno agar selanjutnya bias dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Pendekatan filologi dipergunakan dalam kajian studi Islam dalam rangka memperoleh informasi dari sebuah teks melalui penelitian terhadap berbagai naskah keislaman yang ada. Mengingat banyaknya khazanah intelektual Islam, tentu membutuhkan banyak waktu untuk melakukan penelitian terhadap berbagai turats tersebut. Pendekatan filologi menjadi sangat penting sepenting kandungan teks itu sendiri.
Pendekatan ini memang belum banyak digunakan, meskipun oleh pihak-pihak pengguna kitab-kitab klasik itu sendiri, seperti pesantren-pesantren di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi dan penyadaran terhadap pentingnya pendekatan filologi dalam studi Islam.
Justru selama ini kajian filologi terhadap Islam banyak dilakukan oleh para orientalis yang seringkali tidak bersikap obyektif dan justru mengarah untuk melemahkan umat islam melalui kajiannya. Memang sekilas kajian mereka Nampak ilmiah tetapi sesungguhnya keilmiahan mereka tidak lebih besar dari latar belakang kebencian terhadap Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996
http://dodiilham.blogspot.com/, diakses 2 Juni 2012



[1] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hal. 5
[4] http://dodiilham.blogspot.com/, diakses 2 Juni 2012
[7] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), hal. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar